Mubadalah.id – Pengetahuan sangat penting dalam kehidupan manusia lembaga pendidikan, baik formal maupun non formal, diselenggarakan karena pentingnya pengetahuan. Al-‘ilmu nur, ilmu adalah cahaya. Dengannya, hidup menjadi terang dan kita pun bisa melihat segala sesuatu dengan lebih jelas.
Pengetahuan bagaikan senjata. Dengannya, kita bisa melindungi diri sendiri dan orang lain dari kezaliman dalam banyak bentuknya, terutama dari kezaliman dalam bentuk rusa berbulu domba, yakni yang terlihat seperti kebajikan.
Namun, cahaya dan senjata juga bisa berfungsi sebaliknya. Cahaya yang langsung disorot ke mata membuat kita silau dan tidak bisa melihat. Senjata yang diarahkan kepada kita bisa menjadi sesuatu yang mengerikan.
Pertanyaannya adalah, bagaimanakah perempuan memperoleh pengetahuan? Bagaimana pengetahuan yang mereka peroleh menjadi cahaya yang menyinari atau justru membutakan? Menjadi senjata yang membuatnya aman atau justru mengancam?
Mary Belenky, Blythe Clinchy, Nancy Goldberger, Jill Tarule dari Ferris State University membuat sebuah penelitian terkait hal ini. Hasilnya adalah teori Womens Ways of Knowing. Menurut mereka, cara perempuan mengetahui terbagi menjadi tiga level, yaitu:
Pertama, diam (silent). Pada tahap ini, perempuan memiliki ketergantungan total kepada orang lain dalam memperoleh pengetahuan. Ia menghayati setiap kata sebagai senjata yang mengancamnya. Kata yang keluar dari pihak lain membuatnya terancam.
Sebaliknya, kata yang dia keluarkan pun bisa berbuah bentakan, tendangan, atau kekerasan lainnya. Perempuan dalam posisi ini tidak punya pilihan lain kecuali diam dan mengerjakan yang pihak lain perintahkan.
Hidupnya bagaikan robot yang bergerak sepenuhnya ditentukan oleh pihak lain. Perempuan dalam posisi ini sebetulnya tidak hanya a silent knower, melainkan a silenced knower, orang yang dibungkam.
Received Knowledge
Kedua, pengetahuan terterima (Received Knowledge). Pada tahap ini, perempuan menghayati pengetahuan sebagai kebenaran. Mereka menerima pengetahuan dari TV, media sosial, bangku kuliah, majelis taklim, sebagai sesuatu yang ia anggap selalu benar, langsung mereproduksinya.
Dengar langsung share. Tidak ada proses klarifikasi, apalagi refleksi. Ketika menerima informasi bahwa suami boleh memukul istri, lalu hal itu terjadi padanya, maka ia akan melihatnya sebagai sesuatu yang memang wajar ia alami.
Ketiga, pengetahuan subjektif (Subjective Knovledge). Pada tahap ini, perempuan mulai menghubungkan pengetahuan dengan hati dan pengalaman personalnya.
Ketika menerima informasi tentang bolehnya suami memukul istri sebagai ajaran Islam, sedangkan ia meyakini bahwa Islam hanya mengajarkan kebaikan. Maka ja mulai bertanya dalam hatinya: “Mengapa Islam yang mengajarkan kebaikan membolehkan suami memukul istri, bukankah memukul itu menyebabkan orang lain sakit dan itu tidak baik?”
Pada tahap ini, perempuan mulai muncul daya kritisnya. Dia mulai mempertanyakan sesuatu yang menurutnya tidak logis, tetapi dia baru menyimpan pertanyaan tersebut untuk dirinya sendiri. []