Mubadalah.id – Dengan melihat banyaknya jumlah nama perempuan yang aktif di ruang-ruang publik, maka ada beberapa hal yang perlu kita tegaskan.
Setidaknya ada tiga hal yang perlu perspektif mubadalah tegaskan dalam hal ini.
Pertama, ini adalah preseden baik, teladan, dan—jika berada pada masa Nabi Muhammad Saw tentu saja termasuk sunnah taqririyah.
Yaitu, sesuatu yang dilakukan oleh para sahabat perempuan dan diakui oleh Nabi Muhammad Saw. sehingga menjadi sunnah yang otoritatif.
Kedua, perlu ada tindakan-tindakan apresiatif terhadap nama-nama tersebut untuk mengenang dan melestarikan nama mereka.
Demikian juga, menyandingkan nama-nama perempuan di samping nama-nama laki-laki adalah baik dan perlu. (Baca juga: 5 Pilar Keluarga Berencana dalam Perspektif Mubadalah)
Bagi kalangan yang biasa membaca tawasul (tradisi kirim doa al-Faatihah pada tokoh-tokoh dan guru-guru), seharusnya sudah kita mulai pembacaan tawasul dengan menyebut nama-nama seperti Khadijah Ra dan Sumayyah Ra.
Kemudian, membaca tawasul juga kepada Asma’ binti Abu Bakar Ra., Ummu Salamah Ra., Nusaibah binti Ka’ab Ra., Aisyah Ra., dan banyak lagi yang lain. Tawasul tidak hanya terhenti pada nama-nama laki-laki semata.
Ketiga, belajar dari inklusi generasi awal dan partisipasi para perempuan di ruang-ruang publik, harus ada gerakan yang komprehensif untuk merumuskan konsep-konsep kenabian, kewalian, dan keulamaan yang juga inklusif bagi perempuan.*
*Sumber: tulisan Faqihuddin Abdul Kodir dalam buku Qiraah Mubadalah.