Mubadalah.id – Pandemi Covid-19 yang bergulir sejak awal 2020 silam di Indonesia, tak menyurutkan angka kekerasan seksual. Komnas Perempuan menilai, RUU Pungkas mendesak untuk segera disahkan. Komnas mencatat, sepanjang 2020 sebanyak 4.849 orang mengalami kekerasan seksual. Angka kekerasan seksual memiliki kecenderungan untuk terus meningkat. Artikel ini akan membahas 6 nilai Islam dalam rancangan UU Pungkas.
Hal tersebut terungkap sebagaimana dilansir dari Kompas.com, Komisioner Komnas Perempuan, Maria Ulfah Anshor menilai bahwa RUU PKS penting untuk segera disahkan. Maria menjelaskan, usulan dari Komnas Perempuan relatif lebih lengkap. Bahwa ada enam elemen kunci yang ia sebut sebagai keunggulan RUU tentang penghapusan kekerasan seksual. Dari penjelasan Maria Ulfah Anshor tersebut, saya semakin percaya jika Rancangan UU Pungkas ini, jika ditelisik lebih jauh telah sesuai dengan nilai-nilai semangat Islam. Apa sajakah itu?
6 Nilai Islam dalam Rancangan UU Pungkas
Pertama, sebagai upaya untuk melakukan Pencegahan Kekerasan Seksual. Selama ini kekerasan seksual dipisahkan dalam 5 undang-undang yang berbeda. Kelimanya, yaitu UU Perlindungan Saksi dan Korban, UU Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT), UU Perlindungan Anak, dan UU Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA).
Menurut Komnas Perempuan, tindak pencegahan perlu dilakukan agar dapat menekan angka kekerasan seksual yang semakin tinggi. Maria menerangkan bahwa pencegahan dapat dilakukan dengan memberi pemahaman kepada masyarakat atau sosialisasi mengenai kekerasan dan pelecehan seksual.
Sedangkan dalam buku saku “Tanya jawab seputar RUU Pungkas dari pandangan Kongres Ulama Perempuan Indonesia”, mencatatkan bahwa RUU Pungkas ini mengambil peran prinsip dar’ul mafasid dalam hukum Islam, agar setiap warga negara tidak menjadi pelaku dan tidak juga menjadi korban kekerasan seksual.
Dalam kaidah fiqh, dar’ul mafasid muqadammun ‘ala jalbul mashalih, atau melindungi warga dari kerusakan lebih diutamakan daripada menghadirkan kebaikan untuk mereka. RUU Pungkas berperan agar yang menjadi pelaku akan dihukum dan direhabilitasi sehingga kembali menjadi pribadi yang tidak lagi sebagai pelaku kekerasan. Yang menjadi korban akan didampingi dan dipulihkan, untuk mengurangi dampak-dampak negatif dari kejahatan kekerasan tersebut.
Kedua, kekerasan seksual bentuk tindak pidana. Hukum yang diterapkan di Indonesia selama ini tidak mengkategorikan bentuk-bentuk kekerasan seksual secara menyeluruh. Jika mengacu pada sistem hukum Indonesia, dalam hal ini KUHP itu hanya mengenal istilah perkosaan, pencabulan, dan persetubuhan. Sementara kekerasan seksual yang masuk dalam laporan Komnas Perempuan, lebih beragam dari yang tercantum dalam KUHP.
Dalam Islam, martabat kemanusiaan adalah mulia (QS. Al-Isra, 17: 70) dan harus selalu dijaga serta dihormati (hifz al-‘irdh). Pelanggaran terhadap martabat kemanusiaan adalah sesuatu yang sangat serius, dilarang, dan haram hukumnya dalam Islam. Kata Nabi Saw, sesama muslim itu, dilarang mengganggu jiwa, harta, dan kehormatannya. “Sudah cukup seseorang dianggap buruk ketika sudah melecehkan saudara muslimnya sendiri. Sesama muslim itu diharamkan mengganggu darahnya, hartanya, dan kehormatannya”. (Sahih Muslim, no. hadits: 6706)
Ketiga, kekerasan seksual sebagai hukum acara pidana. Hukum acara pidana berkaitan erat dengan sikap para penegak hukum dalam menanganai kasus kekerasan seksual. Selama ini baik proses penyidikan maupun penyelidikan seringkali tidak berpihak pada korban, bahkan menyudutkan korban.
Selain itu melarang aparat penegak hukum untuk merendahkan, menyalahkan korban, membebankan misalnya pencarian alat bukti kepada korban, menggunakan latar belakang pengalaman korban sebagai alasan untuk tidak melanjutkan penyelidikan. Dalam RUU ini juga nantinya akan mengatur mengenai larangan kriminalisasi korban.
Dalam Islam, fungsi negara melalui aparat pemerintahan adalah memberikan pembelaan dan perlindungan bagi warga yang terzalimi, seperti yang dialami para korban kekerasan seksual. Negara dalam hal ini pemerintah wajib memutus mata rantai kekerasan seksual dan melindungi seluruh warga Indonesia dari menjadi pelaku dan korban kekerasan seksual.
RUU Pungkas ini, karena akan menjadi legitimasi negara atau pemerintahan, merupakan cara yang tepat dan efektif untuk menghentikan kekerasan seksual yang merupakan kezaliman dan kejahatan yang telah menimpa banyak orang-orang yang lemah, terutama perempuan, anak, dan difabel.
Rasulullah Saw berpesan kepada mereka yang memperoleh kekuasaan agar memberikan perlindungan bagi mereka yang miskin dan terzalimi. “Barangsiapa yang memperoleh amanah kekuasan dan pemerintahan atas orang-orang, lalu menutup pintunya (tidak memberi perlindungan kepada) orang miskin, orang yang terzalimi, atau yang memiliki kebutuhan, maka Allah Swt akan menutup darinya pintu-pintu rahmat-Nya pada saat ia sangat membutuhkan– nya (Musnad Ahmad, no. 16187).
Keempat, merupakan perlindungan dan pemulihan terhadap korban. RUU Pungkas ini menitikberatkan pada pendampingan dan pemulihan korban. Karena seringkali cara pandang masyarakat masih menganggap korban justru sebagai pelaku, sehingga aparat hukum kemudian meletakkan korban pelacuran, perkosaan, juga kekerasan seksual yang lain justru sebagai orang yang disalahkan, seakan-akan menjadi pelaku, yang kemudian rentan menjadi korban lagi, alih-alih dilindungi dan didampingi.
Allah berfirman; “Janganlah kalian paksa perempuan-perempuan budak yang muda itu untuk melacur, ketika mereka justru ingin suci (dari pelacuran), agar kalian memperoleh harta benda kehidupan dunia. Ketika ada orang yang memaksa mereka, sesungguhnya, setelah mereka dipaksa, Allah Mengampuni (mereka yang dipaksa) dan Menyayangi (QS. An-Nur, 24: 33).
Kelima, melibatkan peran masyarakat dan tokoh daerah. Salah satu aspek yang dapat menghapus kekerasan seksual ialah peran masyarakat dan tokoh daerah dalam mengedukasi masyarakat soal kekerasan seksual. Masyarakat bisa lebih lantang menyuarakan keberpihakannya terhadap perempuan dan korban kekerasan seksual. Masyarakat juga perlu berhati-hati merespon berita yang beredar terutama mengenai kasus kekerasan berbasis gender.
Deskripsi negara yang aman (aminan) dan baik (thayyibah) ini, menurut buku saku KUPI, mengisyaratkan bagaimana pemerintah dalam Islam berkewajiban menghadirkan rasa aman bagi seluruh warganya, tanpa kecuali, dari segala bentuk keburukan dan ketakutan. Kekerasan seksual adalah sesuatu yang sangat menakutkan mereka yang lemah secara sosial, terutama perempuan dan anak-anak. Negara, dengan demikian, bertanggung jawab meloloskan RUU Pungkas ini untuk memastikan warganya merasa aman dari segala ketakutan, kezaliman, ketidakadilan, kekerasan, terutama kekerasan seksual.
Keenam, pemantauan bersama jika RUU Pungkas telah disahkan. Karena tidak ada undang-undang yang sempurna. Maka kedepannya saat RUU PKS disahkan, berharap masyarakat tetap turut serta memantaunya. Menolong orang yang berbuat zalim adalah dengan mencegahnya agar tidak berbuat kezaliman tersebut. Di samping juga kewajiban untuk menolong orang-orang yang menjadi korban kezaliman.
Dalam hadits lain, Nabi Saw juga meminta kita semua untuk mencegah kemungkaran dengan tangan (kekuasaan) yang kita miliki, lidah (tulisan), dan juga hati (komitmen penolakan) “Barang siapa yang melihat kemungkaran terjadi, maka ubahlah (ia agar tidak terjadi) dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka ubahlah dengan lisannya, jika tidak mampu, maka dengan hatinya”. (Sahih Muslim, no. hadits: 186).
Maka, semangat dari RUU Pungkas ini adalah untuk menjaga dan melindungi martabat kemanusiaan yang dianjurkan Islam di satu sisi. Di sisi yang lain juga mendorong agar tindakan-tindakan seksual umat, dapat dilakukan dengan cara dan situasi relasional yang sesuai prinsip-prinsip saling membahagiakan yang direstui Islam.
Semangat RUU ini tentu saja selaras dengan semangat al-Qur’an yang menegaskan bahwa Allah Swt itu memaafkan (ghafur) dan menyayangi (rahim) kepada korban kekerasan seksual. Demikian 6 nilai Islam dalam Rancangan UU Pungkas. []