Mubadalah.id – Dalam beberapa hari terakhir, timeline media sosial saya dipenuhi oleh berita buruk yang berkaitan dengan kaum perempuan: pembunuhan perempuan oleh polisi di Inggris, penembakan masal 6 orang perempuan keturunan Asia di Atlanta, Amerika Serikat, hingga peningkatan jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan selama setahun terakhir di Indonesia. Yang menyedihkan dari ketiga isu tadi, selain menjadi korban, posisi perempuan masih saja disalahkan.
Dalam kasus Sarah Everard, perempuan 33 tahun yang dikabarkan menghilang sebelum ditemukan meninggal dunia seminggu kemudian, ia hanya berjalan pulang ke rumah seperti biasanya. Tidak ada hal yang mencolok, ia tak mengenakan pakaian terbuka. She was just walking home.
Sayang seribu sayang, ia justru kemudian ditemukan terbunuh di tangan polisi, yang seharusnya memberikan perlindungan pada publik. Namun, sama halnya di belahan dunia lain, pun ketika perempuan sudah menjadi korban, ia masih saja tetap dipertanyakan kondisinya: Kenapa harus berjalan? Kenapa tak menggunakan transportasi umum? Kenapa sendirian?
She was just walking home!
Tapi, ternyata jawaban itu masih tak cukup. Publik di negara sekelas Inggris yang tingkat pendidikan dan perekonomian warganya jauh lebih baik di banding sebagian besar negara lain dunia ternyata masih belum memiliki tempat aman bagi perempuan. Itu baru di Inggris, di Amerika pun ternyata kondisinya sebelas dua belas, alias hampir sama.
Selasa lalu, seorang laki-laki kulit putih menembakkan peluru secara random di suatu kawasan di Atlanta, dari aksi brutalnya, 8 orang terbunuh, termasuk 6 perempuan keturunan Asia Amerika. Alih-alih bersimpati pada korban & keluarganya, petugas kepolisian justru mengasihani serta membela pelaku dengan menyatakan bahwa ia mengalami hari yang buruk dan itu bukan persoalan yang berkaitan dengan rasisme. Kejadian kekerasan di Atlanta tadi juga semakin mengukuhkan bahwa misoginis masih tumbuh dan berkembang di sekitar kita, tak terkecuali negara barat yang mengklaim sebagai kiblat paham kebebasan dan kesetaraan.
Namun, banyak orang kemudian melihat peristiwa-peristiwa tragis tadi hanya dengan kacamata timpang sebelah. Bukannya berpikir bagaimana menjadikan tempat umum sebagai ruang ramah bagi perempuan. Mereka lalu menggaungkan propaganda domestikasi perempuan: bahwa perempuan tidak perlu banyak berkiprah di luar, hanya fokus pada urusan rumah tangga karena hakikatnya rumah adalah tempat yang aman bagi kaum hawa.
Hmm.. tunggu, apakah benar demikian?
Sayangnya realita dan data berkata lain. Seperti yang sempat saya singgung di awal, dalam satu tahun terakhir, kasus KDRT yang dialami oleh perempuan terus naik. Spesifiknya, di Indonesia sendiri jumlahnya meningkat sebanyak 4%. Dan KDRT ini tentu tidak dilakukan di tempat umum, tapi di rumah! Sekali lagi, para perempuan yang melaporkan tindak kekerasan suaminya mengaku bahwa mereka merasa tidak aman di dalam rumah karena bila pasangannya sedang emosi, sang istri menjadi bulan-bulanan dan bahkan harus pasrah atas tindakan buruk laki-lakinya.
Contohnya terjadi pada pasangan suami istri dari Palembang. Perempuan berinisial RS yang beda 10 tahun dengan suaminya itu menjadi korban kekerasan ketika sang istri lupa memakai jilbab saat kakak suami datang berkunjung mendadak ke rumah. Selepas si kakak pulang, walau RS sudah minta maaf atas kelalaiannya, ia justru malah tetap ditendang dan dipukul tanpa ampun, bahkan sempat diancam akan disiram dengan air keras.
Bagaimana mungkin si laki-laki tersebut mendaku membela hukum Allah dan mengklaim telah menegur atas nama kebaikan, tapi justru berbuat seenak hati dengan kekerasan? Padahal, Allah Sang Maha Segalanya justru lebih toleran kepada manusia. Dalam QS An-Nuur (24: 22) sendiri disebutkan: “….Dan hendaklah mereka memaafkan (secara lahiriyah) dan berlapang dada (yaitu, memaafkan secara batin). Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Kejadian sepasang suami istri tadi justru memperlihatkan bahwa egoisme serta emosi sesaat yang melenceng dari nilai-nilai Islam sebenarnya. Secara historis, Islamlah yang justru mengangkat derajat perempuan. Bahkan Rasul sendiri mengingatkan umatnya untuk memuliakan perempuan, “Aku wasiatkan kepada kalian untuk berbuat baik kepada para perempuan,” dan dalam riwayat yang lain, “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istrinya, dan aku adalah yang paling baik terhadap istriku”.
Jika kemudian sang istri melakukan kesalahan, tentu bukan tindakan bijak untuk berkata kasar atau bahkan melakukan tindak kekerasan. Alangkah baiknya itu dibicarakan baik-baik, didiskusikan. Tidak main ancam apalagi dengan pukulan.
Intinya, ketika terjadi peristiwa buruk yang dialami perempuan, solusinya tentu bukan langsung menyalahkan si korban, lalu dengan semena-mena mengkritik pakaian, keputusan, atau bahkan kelalaiannya. Bandingkan bila kejadian itu menimpa laki-laki, pernahkan kita menanyakan pakaian yang dipakainya? Pernahkah kita bertanya mengapa ia memilih berjalan daripada naik mobil atau kendaraan lain?
Selain mendorong pemerintah dan pihak-pihak terkait untuk menciptakan ruang ramah bagi perempuan, baik itu di ranah publik dan privat, kita juga perlu terus mengkampanyekan narasi agama yang memuliakan perempuan, entah itu melalui mulut ke mulut atau media sosial. Bukan malah memperkeruh suasana dengan melanggengkan penyudutan perempuan dari segala aspek. Bila ini masih saja dilakukan, sampai kapan perempuan akan memiliki tempat aman? []