Khutbah Pertama
اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ وللهِ الحمدُ
الحمدُ للهِ نحمده ونسبحه وهو ذو الملك والملكوت، سبحانه وهو ذو العزة والجبروت، وهو الحي الذي لا يموت، سبوح قدوس ربنا ورب الملائكة والروح، ربنا الأعلى، ذو السلطة والعظمة، ذو والرحمة والمغفرة، نحمده ونسبحه أبدا أبدا.
نَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ، ونَشْهَدُ أَنَّ سيدَنَا مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ أرسله الله هدى للناس، ورحمة للعالمين، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ.
اللهم صل على سيدنا محمد، وعلَى آلِهِ وأصحابِهِ وأزواجه، ومَنْ تَبِعَهُمْ بإحسانٍ إلَى يومِ الدِّينِ.
Jamaah shalat Id yang dirahmati Allah Swt,
Mubadalah.id – Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah SWT, berkat nikmat dan karunia-Nya, kita semua dapat berkumpul di tempat ini guna menunaikan shalat Idul Fitri, menyaksikan kegembiraan hari raya segenap umat Muslimin di sini dan di berbagai belahan dunia. Setelah sebulan penuh kita ditempa bulan Ramadan, tiba saatnya kita di bulan Syawal ini, untuk kembali menjadi manusia utuh, yang sadar akan kebutuhan raga, jiwa, dan berkomitmen pada akhlak mulia.
Shalawat serta salam kita panjatkan kepada junjungan kita, Nabi Muhammad SAW yang diutus Allah Swt sebagai anugerah bagi kita semua, untuk mendakwahkan dan menegaskan prinsip kasih sayang, rahmatan lil ‘alamin, shallallahu ‘alihi wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam.
Pada hari raya idul Fitri ini, kita sama-sama berbahagia karena telah usai melewati bulan suci Ramadan, dimana sebulan penuh kita menunaikan ibadah puasa, menjalankan shalat malam atau tarawih, tadarus al-Qur’an, memperbanyak dzikir, mengeluarkan zakat dan sedekah, serta melakukan berbagai amalan-amalan sosial sesama manusia.
Semoga semua amal kita ini diterima Allah Swt, lalu membekas pada jiwa kita, dan sekaligus menginsipirasi kita untuk menjalani hari-hari sebelas bulan berikutnya, sepanjang tahun, sebelum bertemu kembali dengan Ramadan yang akan datang. Persis seperti yang digambarkan al-Qur’an dalam surat al-Baqarah, kita menjadi orang-orang yang bertaqwa karena puasa yang telah jalankan. Kita memiliki iman yang kuat, jiwa yang stabil, dan akhlak yang mulia. Amin ya rabbal alamin.
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, walillahilhamd….
Jamaah Shalat Id yang dimuliakan Allah…..
Hari ini kita merayakan hari raya Idul Fitri. Apakah makna Idul Fitri? Dan bagaimana kita memaknainya dalam kehidupan kita sehari-hari? Secara bahasa “Iid” artinya kembali dan “Fitri” bisa berarti dua hal. Yang biasa artinya adalah “berbuka atau tidak puasa”. Fitrun (berbuka atau tidak puasa) lawan kata dari shawmun (berpuasa). Kita mendengar sebuah teks hadits yang menyatakan: “shuumu li ru’yatih wa afthiruu li ru’yatih”. Artinya berpuasalah ketika sudah melihat bulan Ramadan dan makanlah (tidak perlu puasa lagi) ketika sudah melihat bulan Syawal.
Di hadits ini, kata “afthiruu” artinya tidak berpuasa, atau makan dan minum, setelah sebelumnya “shumuu” berpuasa sebulan penuh. Kata “Idul Fitri” berarti kita kembali pada momen sebelum Ramadan, dimana kita pada siang hari tidak lagi berpuasa. Kembali tidak berpuasa, atau kembali tidak makan dan minum, adalah bagian dari ajaran Islam, untuk memperhatikan kebutuhan material tubuh kita sebagai manusia, yang perlu energi, makan minum, istirahat, tidur atau yang lain, kesehatan, dan juga yang lain.
Islam adalah agama yang memperhatikan kebutuhan tubuh material kita, sebagaimana kebutuhan jiwa spiritual kita. Bahkan di hari raya, berpuasa itu diharamkan, sebagai bentuk penghargaan dan perhatian pada pentingnya hak tubuh untuk makan, minum, istirahat, dan yang lain. Saat ini, dimana seluruh penduduk dunia sedang dilanda pandemi Covid-19, kita semua dituntut Islam untuk memperhatikan kebutuhan gizi tubuh kita semua, agar kita memiliki imunitas sebagai pertahanan diri yang cukup, sehingga tidak mudah tertular penyakit pandemik ini.
Hari raya Idul Fitri sekarang ini, kita juga harus menjaga diri agar penyakit ini tidak tambah mewabah, dengan rajin cuci tangan, jaga jarak sentuh, dan tidak berkumpul-kumpul terlebih dahulu. Ini semua untuk menjaga kehidupan kita semua, orang tua dan keluarga kita, dan orang-orang tercinta kita, kyai, nyai, guru-guru, sahabat, dan teman-teman. Kasus di India, dengan daya tular yang tinggi, karena rakyatnya abai dan pemerintahannya sangat kewalahan, harus kita jadikan pelajaran. Hal ini sudah merembet ke Malaysia. Mari kita jaga bersama, untuk kehidupan kita, untuk keberlangsungan kita, dan untuk kesehatan kita semua.
Berhari raya Idul Fitri dengan mengurangi aktivitas pertemuan dan perkumpulan adalah bentuk penghargaan atas hak tubuh dan pemeliharaan hak jiwa untuk tetap hidup dan sehat. Ini adalah hak tubuh dan jiwa kita semua, yang harus kita perhatikan dan penuhi. Sebagaimana dikatakan Sahabat Salman al-Farisi ra, dan disetujui Nabi Saw:
إِنَّ لِرَبِّكَ عَلَيْكَ حَقًّا وَلِنَفْسِكَ عَلَيْكَ حَقًّا وَلأَهْلِكَ عَلَيْكَ حَقًّا فَأَعْطِ كُلَّ ذِى حَقٍّ حَقَّهُ (صحيح البخاري).
“Bahwa untuk Tuhanmu, atas dirimu ada hak, untuk dirimu (kesehatan tubuhmu) atas dirimu juga ada hak, untuk keluargamu atas dirimu juga ada hak”. (Sahih Bukhari).
Allahu Akbar 3X walillahilhamd,
Hadirin jama’ah Id rahimakumullah…
Makna lain dari Idul Fitri adalah kembali kepada fitrah atau jati diri kita sebagai manusia. Setidaknya ada tiga hal tentang hakikat kita sebagai manusia, yang bisa dijelaskan dalam khutbah ini.
Hakikat yang pertama. Bahwa kita manusia adalah ciptaan Allah Swt yang hidup di dunia ini atas pemberian-Nya. Hidup ini hanya sementara dan hidup ini tidak lain adalah soal waktu belaka yang bergulir terus dan terus. Yang sekarang kecil, sebentar lagi tumbuh remaja. Yang remaja akan dewasa. Yang dewasa tentu saja pasti beranjak tua dan kemudian menjadi lemah dan tidak lagi bisa berbuat lebih banyak.
Kita adalah makhluk Allah Swt, diciptakan oleh-Nya untuk menjalani kehidupan ini, dengan segala pernak-perniknya, lalu kita akan kembali kepada-Nya. Memang kita tidak tahu waktunya kapan, tetapi kembali itu pasti. Semua ini hanyalah soal waktu saja, dan kita semua akan pulang kembali kepada Allah Swt. Jika waktunya tiba: semua jabatan, setinggi apapun, akan hilang dari kita. Semua harta, sebanyak apapun, akan sirna. Semua fans, sahabat, teman, saudara, keluarga dekat, akan ditinggalkan. Hanya amal shalih-lah yang menjadi bekal kita kembali mudik bertemu Allah Swt.
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا فَلِنَفْسِهِ وَمَنْ أَسَاءَ فَعَلَيْهَا ثُمَّ إِلَى رَبِّكُمْ تُرْجَعُونَ
“Barangsiapa yang berbuat baik, maka (kebaikan itu akan kembali) untuk dirinya sendiri, dan barangsiapa yang melakukan keburukan, maka (keburukan itu) juga akan kembali kepada dirinya. Kemudian kepada Tuhan-mulah, kalian semua akan dikembalikan pulang”. QS. Al-Jatsiyah, 45: 15.
Hakikat yang kedua adalah bahwa kita semua adalah hamba Allah Swt. Kita semua adalah hamba yang harusnya tunduk pada tatanan, nilai, norma, dan hukum yang diturunkan Allah Swt.
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Tidak sekali-kali Aku jadikan jin dan manusia, kecuali agar mereka beribadah (dan menghamba) kepada-Ku”. (QS. Adz-Dzariyat, 56).
Sebagai hamba, kita membutuhkan ibadah ini. Bukan Allah yang membutuhkan kita, tetapi kita membutuhkan-Nya. Kita membutuhkan ibadah-ibadah ini, untuk menempa kita menjadi individu yang salih, pribadi yang baik dan bermanfaat. Ibadah ini adalah jalan untuk melatih kita menjadi insan-insan yang kuat dan tangguh, untuk mengasah kita agar menjadi manusia yang simpatik dan empatik kepada orang lain.
Puasa, misalnya, seperti disebutkan dalam sebuah hadits, adalah untuk melatih kita menjadi pribadi yang anggun, tidak menyakiti orang lain dengan perkataan atau perbuatan. Di samping, tentu saja, untuk membiasakan kesederhanaan, dan menempa kesabaran. Dua hadits ini bisa menjadi dasar:
الصِّيَامُ جُنَّةٌ فَلاَ يَرْفُثْ وَلاَ يَجْهَلْ وَإِنِ امْرُؤٌ قَاتَلَهُ أَوْ شَاتَمَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّى صَائِمٌ
Rasulullah Saw bersabda: “Puasa itu perisai (seseorang dari perilaku buruk), maka yang berpuasa jangan berkata buruk dan bertindak buruk. Jika ia menghadapi seseorang yang mengajak bertengkar, atau menghardik dan mencaci, katakan padanya: “Aku sedang berpuasa”. (Sahih Bukhari, no. hadits: 1928).
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِى أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
Rasulullah Saw bersabda: “Seseorang yang masih saja tidak meninggalkan perkataan bohong dan menyakitkan, serta tindakan yang menistakan, maka Allah Swt sama sama sekali tidak membutuhkan puasanya, dengan meninggalkan makan dan minum”. (Sahih Bukhari, no. 1937).
Semua ibadah disyariatkan Islam untuk memperkuat kepribadian kita, sehingga tidak mudah goyah ketika diguncang berbagai percobaan hidup, tidak jumawa ketika berhasil, dan tidak terpuruk ketika gagal, dan menjadi individu yang baik dan memberi manfaat yang sebanyak mungkin kepada manusia dan alam sekitar, rahmatan lil ‘alamin.
Hakikat yang ketiga, dengan kesadaran bahwa kita semua hamba-hamba Allah Swt, dalam kehidupan sosial, tidak ada satupun di antara kita yang boleh menjadi tuhan atas yang lain. Merasa lebih mulia, lebih agung, dan lebih istimewa. Tidak. Kita semua adalah hamba dan karena itu kita adalah setara. Karena kesetaraan ini, Nabi Saw meminta kita semua agar hamba-hamba yang bersaudara satu sama lain, tidak saling membenci dan tidak juga saling mendengki.
إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيثِ وَلاَ تَحَسَّسُوا وَلاَ تَجَسَّسُوا وَلاَ تَحَاسَدُوا وَلاَ تَدَابَرُوا وَلاَ تَبَاغَضُوا وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا
Nabi Saw bersabda: “Janganlah kalian berburuk sangka (kepada orang lain), karena buruk sangka itu (bisa menyebabkan kita mudah mengeluarkan) pernyataan bohong secara berlebihan. Janganlah saling mengintip untuk menemukan keburukan orang lain di antara kalian, janganlah saling mencari-cari kesalahan di antara kalian, saling mendengki, saling memunggungi, atau saling membenci. Jadilah kamu hamba-hamba Allah yang bersaudara satu sama lain”. (Sahih Bukhari, no. Hadits: 2133).
كُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لاَ يَظْلِمُهُ وَلاَ يَخْذُلُهُ وَلاَ يَحْقِرُهُ التَّقْوَى هَا هُنَا وَيُشِيرُ إِلَى صَدْرِهِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ.
“Jadilah kalian semua hamba-hamba Allah yang bersaudara (satu sama lain). Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain. Tidak boleh menzalimi, merendahkan, dan menghina”. (Kemudain Nabi Saw menyatakan): “Takwa itu di sini”, sambil Nabi Saw menunjuk pada dada baginda, (dan mengucapkan kalimat itu) tiga kali. “Cukup sudah seseorang itu dianggap buruk jika sudah merendahkan saudaranya yang muslim. Setiap muslim atas muslim yang lain, adalah haram darahnya, hartanya, dan kehormatannya”. (Sahih Muslim, no. 6706).
Jadi, kembali kepada yang fitrah pada hari raya Idul Fitri ini, adalah ketika kita menyadari jati diri kita sebagai manusia yang diciptakan Allah Swt yang harus bersyukur dengan penuh suka cita, sebagai hamba-Nya yang harus terus beribadah dalam segala suka dan duka, dan karena sebagai hamba, justru tidak akan memperhamba yang lain dalam relasi sosial kita antar sesama, menyudutkan, dan melemahkan, melainkan saling mencintai, kerjasama, dan tolong menolong.
Terakhir, jati diri kita juga sebagai khalifah Allah Swt di muka bumi ini, yang harus terus berkomitmen untuk menebarkan kebaikan, mewujudkan kesejahteraan dan kemaslahatan kepada sebanyak mungkin orang, mulai dari dalam rumah, lalu masyarakat, bahkan alam semesta.
Allahu Akbar 3X walillahilhamd,
Hadirin jama’ah Id rahimakumullah…
Mari kita pulang dari shalat Idul Fitri ini ke rumah masing-masing sebagai pribadi yang penuh fitri, memperhatikan kebutuhan tubuh dengan cukup gizi, menjaga kesehatan, tidak banyak kumpul-kumpul keluarga apalagi lebih besar dari itu, untuk menjaga kehidupan kita semua. Kita juga pulang sebagai pribadi yang sadar dengan jati diri sebagai manusia yang tidak mungkin hidup kecuali karena Allah Swt, menjadi hamba-Nya yang taat dan patuh beribadah, berahklak mulia, mulai dari dalam keluarga, anak kepada orang tua, orang tua kepada anak, suami kepada istri, istri kepada suami, sesama saudara, sesama warga, sesama bangsa dan sesama manusia.
Semoga Allah Swt memberkahi kita semua dengan keimanan, kesehatan, rizki yang halal dan melimpah, serta perilaku mulia di dalam keluarga maupun dalam kehidupan berwarga, berbangsa, dan bernegara. Amin ya rabbal ‘alamin.
نفعني وإياكم لما فيه من الآيات والذكر الحكيم. أقول قولي هذا وأستغفر الله العظيم لي ولكم، فيا فوز المستغفرين، فاسغفروه إنه هو الغفور الرحيم.
Khutbah Kedua:
اَللهُ اَكْبَرُ، اَللهُ اَكْبَرُ، اَللهُ اَكْبَرُ، اَللهُ اَكْبَرُ، اَللهُ اَكْبَرُ، اَللهُ اَكْبَرُ، اَللهُ اَكْبَرُ. الحمد لله حمدا كثيرا كما أمر. أشهد أن لا إله اله الله وحده لا شريك له. وأشهد أن محمدا عبده ورسوله. المبعوث رحمة للعالمين. اللهم صل على سيدنا محمد وعلى أله وصحبه وسلم ورضي الله عن كل الصحابة وتابعيهم بإحسان إلى يوم الدين. أيها المسلمون الكرام، أوصيكم ونفسي بتقوى الله، فاتقوه حق تقاته ولا تموتن إلا وأنتم مسلمون ((يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا، يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا))، الأحزاب، 70-71.
اللهم اغفر للمسلمين والمسلمات والمؤمنين والمؤمنات، الأحياء منهم والأموات، ووفق ولات أمور المسلمين لما فيه الرشاد والخير والرفاهية للعباد. واجعل بلدنا إندونيسيا وسائر البلاد التي فيها المسلمون في خير وأمان وسعة ورخاء، وسلام دائم إلى يوم الدين. إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ. سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُونَ. وَسَلَامٌ عَلَى الْمُرْسَلِينَ. وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ.
[] وتقبل الله طاعتكم، وكل عام وأنتم بخير، وأدام الله أفراحكم في دياركم العامرة والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته.