Mubadalah.id – Waktu jelang maghrib ketika saya dan serombongan wartawan tiba di sebuah joglo teduh sederhana di Kesambi Cirebon. Ini kali kedua saya menginjakkan kaki di rumah itu, keteduhan dan kehangatannya tak pernah berbeda. Dua pohon besar di halaman rumah itu serupa gerbang rindang yang menyambut siapa saja yang bertandang ke sana.
Kami disambut oleh Mbak Nyai Nurul, begitu saya menyapa Nurul Bahrul Ulum, pegiat muslim feminis sekaligus penggagas Cherbon Feminist, beliau istri dari Kiai Marzuki Wahid, penulis beberapa buku yang menjadi pioneer kajian-kajian fikih di Indonesia, beberapa di antaranya: Fiqh Indonesia: kompilasi hukum Islam dan counter legal draft kompilasi hukum Islam dalam bingkai politik hukum Indonesia (2014), Fiqh Madzhab Negara; Kritik atas Politik Hukum Islam di Indonesia (2001), Fiqh Seksualitas: Risalah Islam untuk Pemenuhan Hak-hak Seksualitas (2011), Fiqh anti-traficking: Jawaban atas Berbagai Persoalan Perdagangan Perempuan (2005). Karya-karya beliau lainnya juga tak kalah banyak.
Kiai Jeki, begitu beliau juga kerap akrab disapa, adalah juga seorang aktivis yang banyak bergelut di berbagai organisasi keislaman dan lintas iman, beliau merupakan sekretaris di Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (LAKPESDAM) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, juga sebagai senior di jaringan Gusdurian Indonesia.
Beliau adalah salah satu sosok penting di balik beberapa naskah yang dilahirkan sebagai bentuk upaya pengarusutamaan gender (gender mainstreaming) serta mendorong pemenuhan hak-hak umat beragama yang berbeda terkait hukum di Indonesia. Beliau terlibat dalam penyusunan Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (2004), Rencana Aksi Nasional Hak-hak Konstitusional Perempuan (2009), dan Naskah Akademik RUU Perlindungan Umat Beragama (2011).
Ketika saya baru tiba berkunjung ke rumah beliau pada Ahad (22/08) lalu, beliau tengah berada di salah satu gereja di Cirebon untuk menghadiri undangan penasbihan Romo baru. Sembari menanti kepulangan beliau, saya berbincang banyak hal dengan Mbak Nyai Nurul serta tamu lain. Mata saya mengedar ke area ruang tamu yang sejuk dan tertata rapi, dua rak buku besar terbuat dari kayu tampak gagah melengkapi, kitab-kitab berbahasa Arab terlihat penuh di dalamnya.
Dari karya-karya besar seperti Al-Mawardi, Maqasyid Asy-Syariah al-Islamiyah, Naylul Wathar, Tafsir Al-Manar, hingga kitab-kitab ringkas seperti Kifayatul Akhyar semuanya ada di sana, yang paling menarik, adalah kitab berjudul Tahrir al-Mar’ah fi ‘Asr Risalah (Pembebasan Perempuan di Masa Kenabian). Menggambarkan betapa cakrawala keilmuan sohibul bayt begitu luas dan tak bisa disepelekan. Memandangi kitab-kitab itu, tak heran rasanya Kiai Jeki begitu aktif menulis dan diundang di mana-mana untuk bicara tentang Islam, kesetaraan gender dan kemanusiaan.
Sekira pukul 10 malam, Kiai Jeki tiba di rumah, lelahnya aktivitas sepertinya tak menjadi alasan beliau untuk tak menyambut dan melayani tamu dengan hangat. Cerita-cerita jenaka dan hikmah kehidupan melengkapi obrolan kami. Gelak tawa dan refleksi diri adalah perpaduan yang selalu hadir tiap kali mendengar beliau berbicara tentang berbagai hal. Waktu yang menunjukkan sudah tengah malam harus memotong perbincangan. Kami menginap malam itu karena esoknya beliau akan mengantarkan kami sowan ke pesantren Kebon Jambu al-Islamy, pesantren yang diasuh oleh seorang perempuan ulama, Ibu Nyai Masriyah Amva. Di pesantren itulah pada tahun 2017 menjadi tempat helatan bersejarah: Kongres Ulama Perempuan Indonesia.
Mengawali Senin pagi, Kiai Jeki tampak sibuk mondar-mandir dari dapur ke ruang tamu, kami tertegun melihat beliau mengangkat sendiri sebakul nasi dan piring-piring berisi lauk pauk untuk dihidangkan kepada kami.
“Baru kali ini saya melihat seorang Kiai menyuguhi tamu dengan tangannya sendiri,” begitu seloroh salah satu wartawan yang tengah melakukan liputan di sana.
Kami tentu menawarkan bantuan untuk membawa suguhan-suguhan itu.
“Lha kok malah jadi kerja bakti ya!” kata Kiai Jeki. Kami semua tertawa mendengarnya.
“Selama ini banyak stereotip yang dilekatkan bahwa laki-laki pasti jorok, sedangkan perempuan pasti rapi. Padahal tidak selalu begitu. Seperti halnya saya dan suami, suami saya lebih suka bersih-bersih dari pada saya. Lemari suami saya lebih rapi dari lemari saya,” jelas Mbak Nyai Nurul. Kami mengangguk dan tergelak lagi.
Saya pernah nyantri di tiga pesantren berbeda, sering bertandang ke pesantren maupun rumah-rumah kiai yang ada di Jawa Tengah, Jawa Barat hingga Jawa Timur, tetapi baru kali itu saya melihat seorang Kiai menyuguhi tamu dengan tangannya sendiri. Baru kali itu saya menyaksikan seseorang yang kealiman atau keilmuannya sungguh bagaikan langit dan bumi dengan saya yang cuma santri ini, tak menyuruh istri atau anak perempuan atau santri untuk menyuguhkan hidangan kehangatan dan kesederhanaan kepada tamunya.
Maka ketika mendengar kabar bahwa Kiai Marzuki Wahid diangkat sebagai rektor Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) periode 2021-2024 pada Rabu (25/8) lalu, saya ikut bergembira dan berharap besar bahwa akan lebih banyak ulama-ulama hebat dan membumi seperti Kiai Marzuki yang keislaman dan kealimannya tampil dengan cara memanusiakan manusia, menghormati sesama tanpa memandang latar belakang apa saja.
Kealiman yang Kiai Marzuki hadirkan adalah kealiman yang meneduhkan buat siapa saja, Islam dan ‘alim ala Kiai Marzuki hadir sebagai pembawa risalah keadilan untuk kemanusiaan. Kala Allah berfirman rahmatan lil ‘alamin (rahmat untuk semesta), maka Kiai Marzuki mencerminkan penghayatan atas pesan ilahi tersebut. Sehingga Islam betul-betul mampu menjawab kegelisahan ketika masih banyak narasi-narasi Islam justru merendahkan, membenci perempuan dan kelompok liyan.
Islam yang ditampilkan oleh Kiai Marzuki adalah Islam yang kita cari hari ini: Islam yang dijadikan rujukan untuk menghormati orang dan keragaman. Islam yang mengabarkan keteduhan dan kehangatan. Islam yang dihayati untuk membela keadilan dan kemanusiaan. Sehingga kehadiran Allah mampu dirasakan oleh semua orang lewat cinta dan penghormatan. []