Mubadalah.id – Malam semakin pekat. Seorang ibu muda dengan wajah sembab tercenung di depan hape yang tergeletak di meja riasnya. Seakan-akan dia frustasi melihat sebuah pesan di sana. Berbagai rasa berkecamuk dalam dadanya. Campur aduk. Dia merasa senang, sedih, marah, dan merasa bersalah.
Senang karena dia merasa diprioritaskan. Sedih akan nasibnya yang sedemikian memilukan. Marah atas kelakuannya yang telah menyakiti perempuan lain, dan merasa bersalah kepada semua pihak yang seolah-olah dirugikan atas keterpurukan hidupnya.
Sang ibu muda melirik pesan chat di hapenya sekali lagi. Di sisi lain ia ingin itu hanya mimpi dan berharap pesan itu tak pernah ada. Tapi di sisi lain juga ia sangat merasa bahagia dengan isi pesan itu. Pesan yang kemudian membuatnya terharu dan seakan terbang.
Sekaligus takut. Juga sakit.
“Kalau kamu mau, aku akan memilihmu.”
***
Kaki jenjang dengan higheels setinggi 8 sentimeter itu masih berusaha mensejajari langkah kaki yang tak kalah panjang di depannya. Pemiliknya adalah seorang pria dan wanita. Berkejar-kejaran.
“Mas, kamu dulu pernah janji bakal ngebiarin aku kerja setelah menikah. Dan sekarang karir aku sudah melesat. Masa harus aku tinggalkan begitu saja?!” teriak wanita cantik dengan dress selutut yang terlihat anggun dikenakan oleh tubuhnya yang indah.
Si pria tiba-tiba berhenti mendadak. Sampai si wanita, yang ternyata adalah istrinya menabrak punggungnya. Dengan kasar si pria berbalik. Menghadap istrinya dengan wajah emosi.
“Apa kamu gak berpikir, kamu terlalu berkarir sampai nggak ngurusin anak kamu sendiri!!!” bentaknya geram.
Tangan si pria menunjuk-nunjuk wajah istrinya. Membuat wajah sang istri pias, kaget, sekaligus tak percaya suaminya membentaknya di kantornya. Untung saat itu kantornya sudah sepi. Sehingga pertengkaran tak beretika itu tidak jadi tontonan umum.
“Memang aku dulu membiarkanmu bekerja. Tapi tak kusangka akan lepas kendali begini!” lanjutnya.
Air mata berhasil luruh dari pipi istrinya. Lidahnya kelu entah harus menjawab apa. Seakan bentakan itu berhasil membuatnya bisu tak berkutik. Sang pria menarik nafas. Menurunkan intonasi suaranya.
“Sekarang begini saja, kamu pilih karir atau anak?”
Mata wanita membesar. “Mas! Jangan hadapkan aku pada pilihan yang sulit!”
“Ini bukan pilihan yang sulit. Akan lebih sulit kalau kamu tidak memilih.”
Wajah si wanita sudah memerah tetapi sejurus kemudian segera menghapus air matanya dengan kasar.
“Kalau begitu, aku minta cerai!!!”
Permintaan itupun dikabulkan.
***
Satu bulan setelah perceraiannya, Sahara hidup sendiri meninggalkan Rama dan Shinta, kedua anaknya yang duduk di kelas 3 dan 6 SD. Karirnya memang melesat cepat, namun bukannya gembira, dia malah berduka. Karena demi mempertahankan karirnya yang ia rintis sejak seumur jagung, sampai mampu melebarkan sayap ke luar negeri, ia harus berpisah dengan kedua buah hatinya. Tapi bisnis travelnya sukses dikenal sampai Eropa. Lalu orang mana yang dengan bodohnya melepas bisnis sebesar itu? Lagipula ia masih bisa menemui anaknya setiap akhir pekan.
Kerjasama dengan agen wisata mempertemukannya dengan seorang pria bernama Bara. Laki-laki yang ia taksir usianya sekitar 40 tahun itu sosoknya seperti pria dewasa berumur 20 tahun-an. Kabarnya juga dia mempunyai anak tunggal berumur 17 tahun. Pasti saat menikah usianya kira-kira 21 tahun. Usia yang dianggap ideal pada masa itu, sekaligus dianggap terlalu dini bagi para pengusaha-pengusaha di kota.
Wajar sajalah, dia sendiri pun ketika menikah sudah berusia 23 tahun. Ah, kenapa Sahara sepeduli itu dengan Bara sampai membanding-bandingkan usia pernikahan dengan dirinya. Tapi memang siapa pula yang tak tertarik memperhatikan pengusaha itu? Dia tampan. Badannya kekar dan tinggi. Dada bidangnya sungguh mempesona. Kulit putih dengan mata hitam tajam dan alis yang lebat. Bulu-bulu halus di atas bibir dan dagu menambah kerupawanannya.
Astaghfirullah. Sahara segera tersadar dari kelancangannya. Hanya saja, mudah tertarik pada orang yang ditemuinya apakah akibat dari emosi atas perceraiannya? Mungkin ini yang disebut sebagai kerinduan akan pasangan hidup. Dan rumah tangga Sahara yang telah kandas tentunya menjadikan Sahara bebas serta tidak terikat komitmen lagi dengan seseorang. Lalu perasaan-perasaan terbuka terhadap orang yang baru dikenal apakah disebut sebagai pelarian? Atau justru karena hati yang merasa kesepian?
Tidak. Tapi…
“Jadi bagaimana, Bu Sahara? Apakah Ibu juga berminat untuk mengikuti tour wisata keliling Eropa agen kami? Dengan ikut serta setidaknya Ibu bisa membuktikan sendiri kualitas tour kami.”
Kini pria bernama Bara itu tengah duduk di depannya. Berusaha membujuknya agar ikut perjalanan tour wisata ke Eropa yang dibina agennya.
“Kami, kan sudah menyediakan diskon untuk Ibu dan beberapa staf lain? Gak mungkin ditolak, kan?” katanya lagi dengan senyuman menawan yang cukup membuat Sahara mengangguk menyetujui. Sebenarnya cara pria ini terkesan memaksa. Tapi, ya sudahlah. Toh ia juga butuh liburan demi melupakan kegalauan akibat perceraiannya.
Hari-hari selanjutnya, komunikasi keduanya yang mulanya sebatas bisnis dan rekan perjalanan tour kini merambat ke hal-hal yang cukup membuat mereka menjadi akrab. Mereka juga hanya memanggil nama masing-masing tanpa embel-embel Pak atau Bu. Obrolan-obrolan dalam chat juga mulai rutin hampir setiap waktu. Walau seringnya Bara yang memulai percakapan.
“Gimana persiapannya?”
“11 hari lagi. Masih lama. Tapi keliling Eropa selama sebulan pastinya butuh persiapan ekstra, kan?”
“Tenang, aku yang akan jadi orang khusus mendampingimu di Eropa. Apalagi takutnya kamu kurang mengerti Bahasa Jerman, aku siap jadi penerjemah. Hahahaaa…”
“Di sana kamu juga bisa belajar cara mengelola agen travel yang menarik ala Eropa. Bahkan kamu bisa bekerjasama dengan para agen di sana.”
Sampai suatu hari, tanpa canggung Sahara bercerita perihal beberapa barang kebutuhannya untuk perlengkapan di Eropa, dan siapa sangka Bara justru menawarkan diri untuk mengantar.
“Aku temani. Aku tahu plaza berkualitas yang menjual barang-barang untuk tour ke Eropa. Lengkap.”
Tentu Sahara senang. Jika sudah seperhatian itu, apakah berarti Bara menyukainya? Dia bercermin sebentar. Dirinya cantik, langsing berisi, putih, pandai memadukan busana, berbadan molek dengan rambut panjang yang tergerai indah. Dia juga cerdas, bertalenta, berwibawa, gigih, serta menarik. Tak mungkin kalau Bara tidak terpikat.
Seusai belanja keduanya makan di restoran terdekat. Tempat yang di pilih adalah ruangan outdoor dengan pemandangan kolam ikan koi juga bunga-bunga segar yang ditata sedemikian indah. Pohon rindang menaungi keduanya.
“Ngelamunin apa?” tanya Bara saat menangkap Sahara yang terlihat diam tak menyentuh saladnya.
Sahara mendongak lalu menerawang sedih. “Aku kangen anakku.”
Dahi Bara mengernyit. “Memangnya anak kamu di mana?”
“Sama suamiku. Kami pisah setahun yang lalu.”
Bara menegakkan posisi duduknya. Terlihat kaget namun mulai penasaran juga dengan kehidupan Sahara. “Suami kamu emangnya gak ngijinin kamu ketemu mereka?”
“Boleh. Cuma aku segan.” Sahara mengungkapkan bahwa dia malu bertemu dengan mertua dan adik iparnya. Walau sebenarnya mereka bersikap biasa saja ketika di depan Sahara. Tapi siapa yang tahu di belakang mereka membicarakannya seperti apa. Ah, mungkin itu hanya perasaan Sahara saja.
“Kenapa mereka gak tinggal sama kamu? Bukannya sebagai ibu kamu lebih berhak?”
“Gak benar ungkapan itu. Yang benar siapa yang bertanggung jawab dan dianggap pantas buat ngerawat itulah yang berhak. Gak bergantung sama apakah dia Ibu atau Ayahnya,” tandas Sahira meluruskan pandangan Bara.
“Apa kamu ngerasa gak pantas?” Bara menyelidik.
“Belum. Aku Ibu yang buruk.” Sahara menunduk sedih. Memang kenyataannya, bahwa Cakra lebih bisa diandalkan dalam merawat Rama dan Shinta dibanding dirinya.
“Jangan bilang gitu.”
Obrolan pribadi keduanya mengalir dengan terbuka. Sahara bercerita tentang awal mula konflik yang menjadi sebab perceraiannya dengan Cakra. Bara juga tak segan menceritakan prahara rumah tangganya.
“Istriku sakit kanker rahim stadium 4. Sudah hampir dua tahun dia menjalani perawatan di rumah sakit. Biaya pengobatannya tidak murah. Aku bekerja keras sampai sejauh ini untuk pengobatannya sekaligus menabung untuk putraku yang akan kuliah tahun depan. Kesibukanku dikantor ditafsirkan keluarga istriku sebagai pelarian dan dianggap enggan mengurus istriku. Padahal aku mencari uang untuk keluarga. Bahkan aku ikut membiayai kedua adik istriku yang kuliah.” Bara berkisah panjang lebar. Ada gurat kesedihan dan rasa lelah di sana.
Kisah yang sungguh sangat pilu. Sahara iba mendengarnya. Ternyata kehidupan berbalut penderitaan tidak hanya menyergap dirinya. Masih banyak orang yang lebih menderita darinya. Di mata Sahara, Bara benar-benar sosok yang tegar dan bertanggung jawab. Juga setia tentunya. (bersambung)