Mubadalah.id – Di era modern yang serba mudah ini, perihal perempuan pekerja masih saja diperdebatkan oleh sebagian pihak. Bahkan untuk memilih sesuai keinginannya saja seakan-akan sulit karena dogma dan kehendak orang lain. Sebagaimana satu pertanyaan yang masuk melalui direct massage instagram dari seorang perempuan dengan nama akun Um*********na.
Apakah benar suara suami suara Tuhan? Karena teman–teman salaf saya bilang harus jadi muslimah yang penurut, nggak boleh bantah. Kalau suami bersikeras larang berkarir ya ngikut aja, kalau melawan dilaknat Allah. Juga ada seorang Ikhwan salaf yang berkata kepada saya,
Perempuan lebih baik nggak usah bekerja, karena kodratnya memang memiliki derajat di bawah laki-laki. Dia bilang jika meneladani Khadijah yang memang berbisnis, maka sebenarnya Khadijah setelah menikah dengan Rasul, dia berhenti berbisnis dan menyumbangkan banyak hartanya untuk dakwah. Jadi sebaiknya tempat bagi perempuan adalah di rumah.
Begitu kata dia. Apakah memang begitu, Kak? Saya kurang memahami lebih dalam hakikat diri perempuan karna saya dibesarkan di lingkungan konservatif.
Istilah suara suami adalah suara Tuhan sempat viral beberapa bulan lalu karena diungkapkan oleh salah satu youtuber ternama di Indonesia. Pernyataan yang entah dia lontarkan secara tidak sadar atau sadar sekalipun tentu dikritik banyak orang, karena tidak senafas dengan hakikat dari pernikahan itu sendiri, yakni mu’asharah bi al-ma’ruf, yang tujuan utamanya adalah mencapai sakinah, mawaddah, dan rahmah.
Istilah mu’asharah bi al-ma’ruf diperkenalkan langsung di ayat al-Qur’an sebagai salah satu pedoman untuk berelasi, baik relasi dalam keluarga, rumah tangga, bahkan di lingkungan sosial masyarakat. Penggunaan mu’asharah dengan wazan mufa’alah tentu menjadi indikator bahwa berbuat baik itu harus dilakukan oleh kedua belah pihak. Maka dalam relasi pernikahan, laki-laki dan perempuan harus saling berbuat baik.
Salah satunya ya dengan tidak memaksakan kehendak pasangannya, apalagi mengklaim bahwa suara suami adalah suara Tuhan yang mutlak harus ditaati. Tentu tidak bisa menyetarakan kedudukan makhluk dengan khalik, apalagi sesama makhluk itu dianjurkan hanya beribadah dan tunduk pada khalik saja, dan sesama hamba sebagai makhluk dilarang merasa lebih unggul dan merasa harus dipatuhi dibanding lainnya. Bukankah ini inti dari ajaran Tauhid?
Lantas apakah benar perempuan sebaiknya tidak bekerja hanya karena anggapan bahwa kodratnya adalah di rumah? Siapakah yang menganggap itu kodrat? Benarkah ajaran Islam menyampaikan demikian? Tentu pernyataan-pernyataan tersebut harus dipertanyakan ulang.
Jika melihat dari nilai-nilai ajaran Islam, Agama Islam memandang bahwa perempuan bukan hanya sebagai makhluk domestik (rumahan) yang tidak diperbolehkan berkiprah di wilayah publik. Sebagai makhluk yang setara di hadapan Tuhan, sudah tentu laki-laki dan perempuan diberikan hak yang sama dalam segala bidang, baik sosial, politik, ekonomi, pendidikan, dan semacamnya.
An-Nahl ayat 97 telah menjelaskan bahwa perempuan dan laki-laki bebas memilih pekerjaan yang ia inginkan. Dan diperkuat dengan surat an-Nisa ayat 32 yang menjelasakan bahwa keduanya memiliki hak yang sama untuk bekerja sekaligus menikmati buah dari hasil jerih payah yang mereka usahakan, ‘Bagi laki-laki dianugerahkan hak dari apa yang diusahakannya, dan bagi perempuan dianugerahkan hak dari apa yang diusahakannya.’
Pernyataan bahwa Siti Khadijah berhenti berbisnis dan menyumbangkan hartanya untuk dakwah yang dikaitkan dengan karir terbaik perempuan yang harus di rumah tentu harus dipertanyakan kebenarannya. Bahkan itu tidak bisa menjadi alasan untuk mendomestikasi perempuan, karena kenyataannya Sayyidati Khadijah tetaplah perempuan berdaya yang berada di garis terdepan dakwah Rasulullah.
Bahkan di dalam surat al-Qasas ayat 23-28 juga dikisahkan mengenai dua puteri Nabi Syu’aib as yang bekerja menggembala kambing di padang rumput yang kemudian bertemu dengan Nabi Musa as. Begitupun dalam surat an-Naml ayat 20-44, al-Qur’an juga mengapresiasi kepemimpinan dan karir politik perempuan yang bernama Balqis, juga ayat-ayat lain yang mengisyaratkan bahwa perempuan boleh bekerja menyusukan anak, memintal benang, dan lainnya.
Dalam praktik kehidupan zaman Nabi saw, banyak juga riwayat yang menyebutkan bahwa beberapa sahabat perempuan bekerja baik di dalam maupun di luar rumah. Contohnya adalah Asma binti Abi Bakar, istri sahabat Zubair bin Awwam yang bekerja dan bercocok tanam.
Di Kitab Sahih Muslim Nomor 1483 Juz II halaman 1211 pun disebutkan bahwa ketika Bibi Jabir bin Abdullah keluar rumah untuk bekerja memetik kurma, dia dihardik oleh seseorang untuk tidak keluar rumah. Kemudian ia melapor kepada Nabi saw, dan dengan tegas beliau menjawab, “Petiklah kurma itu, selama untuk kebaikan dan kemaslahatan.”
Dari literatur-literatur di atas jelas sekali tidak ada yang mengatakan bahwa perempuan di larang bekerja ataupun yang mengatakan karir terbaik perempuan adalah di rumah. Tentu saja statement ini tidak bisa kemudian disimpulkan dengan kebalikan bahwa karir terbaiknya di publik, bukan begitu logikanya.
Tetapi baik di rumah maupun di publik, perempuan sendirilah yang sebaiknya memutuskan. Bahkan jika keduanya bisa dilakukan secara bersamaan, mengapa tidak? Tentu dengan catatan bahwa laki-laki pun harus melakukan kebaikan yang sama, yakni sama-sama bertanggungjawab dengan urusan domestik dan pengasuhan. Bukankah akan lebih indah jika menerapkan hal tersebut dalam relasi rumah tangga? []