Mubadalah.id – Tepat pukul 16.00 WIB, aku bergegas pergi ke terminal jurusan Malang-Bali. Saya duduk dibarisan nomer tiga dari pak supir. Tak sengaja suara perempuan tua berujar “Was, nak.” Ternyata suara seorang perempuan tua berumur sekitar 70-an sedang mengelus kakinya yang sedang sakit.
Saya hanya bisa menatap dengan rasa iba dengan kondisinya. Saya memberanikan diri untuk menanyakan keadaannya. Sekilas ketika melihat penyakitnya secara tidak langsung, ia memiliki penyakit semacam kencing manis “diabetes”. Tandanya kaki membengkak. Sebab, aku masih ingat salah satu temanku juga pernah mengidap penyakit itu dan tandanya seperti itu pula.
“Ibu, mohon maaf ibu perlu bantuankah,” tanya ku.
“Iya, nak saya perlu dengklek (tempat kecil untuk duduk) untuk kaki saya yang sakit ini,” ujarnya.
“Baik, ibu. Saya turun dulu dan saya carikan.”
Saya mencoba mencari alat tersebut. saya sebenarnya tidak terlalu optimis untuk menemukannya. Sebab, mana mungkin ada benda semacam itu. Tapi, tujuan saya “satu” untuk memberikan ketenangan bagi dirinya. Lalu, ada petugas bus yang berjaga di luar bus. Saya mencoba menayakan hal itu.
“Pak, adakah dengklek untuk ibu yang sakit di dalam?” tanyaku.
“Coba tanyakan ke mas itu (sambil menunjuk orang laki-laki yang umurmya lebih muda dari pada bapaknya)?”
“Iya, mbak. Apakah ada yang bisa saya bantu” tanyanya
Saya menjelaskan kebutuhan ibu sakit itu. Selepas cerita usai, mas kondektur bus lagsung ke atas menemui si perempuan tua itu.
“Nak, katanya setelah bus berangkat akan diberikan,” jelasnya.
Aku hanya tersenyum untuk menimpalinya. Ada hal yang barang kali perlu saya tanyakan padanya. Tentu, mengapa dalam keadaan sakit iya sendiri tanpa orang yang menemaninya? Lalu, untuk apa iya ke Bali? Saya sebenaranya tak kuasa memandangnya. Teringat orang tua itu saja.
“Ibu, sendiri saja?” tanya ku degan penuh penasaran.
“Iya, anakku tidak sayang pada ku,” dengan tatapan kosong dan air mata di pelupuk matanya.
Terasa amat sakit saya mendengarnya. Saya hanya bisa berujar “astaghfirullah” di benak hati saya. Saya masih ingat pesan ibu saya “Orang tua itu bisa membiayai anaknya dengan jumlah banyak tapi untuk satu anak belum tentu acuh pada orang tuanya”. Kalimat itu sering terngiang.
Dulu saya tak pernah percaya. Bagi saya hanyalah sinetron yang mengada-ngada. Mana mungkin seorang anak tega melakukan hal tersebut pada orang tuanya. Ternyata itu kisah sinetron akan berpotensi menjadi kenyataan. Apakah ini yang dinamakan hidup dengan penuh drama yang berending kesedihan? Ah, sial aku menangis menulis ini. Terlalu pelik untuk menuliskan ceritanya.
Iya, melanjutkan ceritanya
“Saya punya anak tiga dan cucu satu. Anak pertama saya cantik, nak seperti Inul. Dan tinggal di perumahan elit di Kota Malang. Anak kedua saya kerja di Bank. Ketika musim PHK dulu di meminta doa pada saya. Tapi, setelah itu iya melupakan saya. Anak saya keduanya di Malang. Anak pertama tak pernah menanyakan keadaan atau bahkan menjenguk saya. Kemarin saya sempat bertemu dengan anak kedua saya. Dia tega mengatakan “Sampai habis materi tidak akan bisa menyembuhkan penyakitmu,” saya tak kuasa mendengarnya. Mereka memang lahir dari batu.”
Diam dengan seribu kata adalah jawaban terbaik baginya. Solusi? Saran? Ataupun menimpali jawaban lainnya bukan hal terbaik. Saya tak ingin menyimpulkan kisahnya dengan begitu cepat. Namun, saya ingat pesan Rasul kami yakni Rasulullah SAW. Begini sabdanya “Apabila anak adam meninggal dunia, maka terputuslah seluruh amalnya kecuali tiga hal, yaitu sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang terus mendokan kedua orang tuanya,” (HR at-Tirmidzi).
Anak yang saleh adalah warisan yang tak akan pernah terputus. Tapi, membentuk kesalehan dalam diri anak adam tak mudah. Tentu tidak seperti membalikkan telapak tangan yang begitu cepat. Pengetahuan menjadi sentral utamanya dalam menciptakan keadaban tersebut.
Ihwal, mengatakan bahwa pengetahuan hanya bertumpu dalam sebuah pendidikan formal yang kita sebut Sekolah. Padahal tak semua begitu. Pengetahuan bisa di dapati dengan pengalaman yang baik. Kualitas pengalaman mesti selalu bersanding dengan lingkungan yang baik. Lingkungan yang dimaksud adalah lingkungan yang baik. Artinya, manusia dan lingkungan merupakan dua faktor yang terus berinteraksi dan terus saling mempengaruhi.
Menurut Posumah “Lingkungan sosial merupakan lingkungan yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan manusia, karena tanpa adanya dukungan dari lingkungan sekitar seorang tidak akan berkembang dengan baik. Lingkungan sosial yang kurang yang baik akan mempengaruhi pola pikir, dan sikap seseorang menjadi tidak baik pula.”
Selanjutnya, si perempuan rentan itu berkata “Nak, boleh kah saya meminta tolong, untuk menghubungi anak saya,”
“Enggeh, ibu,” singkatku.
Secara langsung iya menyalurkan hp bermerk Nokia. Dia hanya berkata “Nak, carikan nomer anak saya di hp ini. Dia hanya satu-satunya anak saya yang sayang kepada saya,”
Ketika saya dapati nomernya dan mengirimkan pesan. Beberapa menit anaknya membalas, dan hanya berterima kasih. Selain itu, saya menawarakan kepada perempuan itu untuk menelpon anaknya. Jawabannya hanya “Ayo, nak ditelpon,” ku berikan hp mungil ini kepadanya.
Raut wajah yang menawarkan harapan pada anak ketiga terpancar darinya. Keinginan hanya satu “Anaknya menjemputnya ketika iya tiba. Katanya, anak ketika tak dapat ikut karena bekerja”.
Itulah kisah seorang kasih (Ibu) yang tak sampai pada anaknya. Walaupun sampai kasihnya diacuhkan. Doa kami semoga ibu diberikan kesabaran seluas samudera. Dan kelak keluargamu dapat berkumpul dengan harapan yang engkau idamkan. Salam bahagia. []
.