• Login
  • Register
Minggu, 8 Juni 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Khazanah Hikmah

Kisah Kasih Seorang Ibu yang Tak Sampai

Kisah kasih seorang (Ibu) yang tak sampai pada anaknya. Walaupun sampai kasihnya diacuhkan. Doa kami semoga ibu diberikan kesabaran seluas samuderarang Kasih yang Tak Sampai

Miri Pariyas Miri Pariyas
30/01/2022
in Personal
0
Ibu

Ibu

491
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Tepat pukul 16.00 WIB, aku bergegas pergi ke terminal jurusan Malang-Bali. Saya duduk dibarisan nomer tiga dari pak supir. Tak sengaja suara perempuan tua berujar “Was, nak.” Ternyata suara seorang perempuan tua berumur sekitar 70-an sedang mengelus kakinya yang sedang sakit.

Saya hanya bisa menatap dengan rasa iba dengan kondisinya. Saya memberanikan diri untuk menanyakan keadaannya. Sekilas ketika melihat penyakitnya secara tidak langsung, ia memiliki penyakit semacam kencing manis “diabetes”. Tandanya kaki membengkak. Sebab, aku masih ingat salah satu temanku juga pernah mengidap penyakit itu dan tandanya seperti itu pula.

“Ibu, mohon maaf ibu perlu bantuankah,” tanya ku.

“Iya, nak saya perlu dengklek (tempat kecil untuk duduk) untuk kaki saya yang sakit ini,” ujarnya.

“Baik, ibu. Saya turun dulu dan saya carikan.”

Baca Juga:

Siti Hajar dan Kritik atas Sejarah yang Meminggirkan Perempuan

Jalan Tengah untuk Abah dan Azizah

Spirit Siti Hajar dalam Merawat Kehidupan: Membaca Perjuangan Perempuan Lewat Kacamata Dr. Nur Rofiah

Islam Berikan Apresiasi Kepada Perempuan yang Bekerja di Publik

Saya mencoba mencari alat tersebut. saya sebenarnya tidak terlalu optimis untuk menemukannya. Sebab, mana mungkin ada benda semacam itu. Tapi, tujuan saya “satu” untuk memberikan ketenangan bagi dirinya. Lalu, ada petugas bus yang berjaga di luar bus. Saya mencoba menayakan hal itu.

“Pak, adakah dengklek  untuk ibu yang sakit di dalam?” tanyaku.

“Coba tanyakan ke mas itu (sambil menunjuk orang laki-laki yang umurmya lebih muda dari pada bapaknya)?”

“Iya, mbak. Apakah ada yang bisa saya bantu” tanyanya

Saya menjelaskan kebutuhan ibu sakit itu. Selepas cerita usai, mas kondektur bus lagsung ke atas menemui si perempuan tua itu.

“Nak, katanya setelah bus berangkat akan diberikan,” jelasnya.

Aku hanya tersenyum untuk menimpalinya. Ada hal yang barang kali perlu saya tanyakan padanya. Tentu, mengapa dalam keadaan sakit iya sendiri tanpa orang yang menemaninya? Lalu, untuk apa iya ke Bali? Saya sebenaranya tak kuasa memandangnya. Teringat orang tua itu saja.

“Ibu, sendiri saja?” tanya ku degan penuh penasaran.

“Iya, anakku tidak sayang pada ku,” dengan tatapan kosong dan air mata di pelupuk matanya.

Terasa amat sakit saya mendengarnya. Saya hanya bisa berujar “astaghfirullah” di benak hati saya. Saya masih ingat pesan ibu saya “Orang tua itu bisa membiayai anaknya dengan jumlah banyak tapi untuk satu anak belum tentu acuh pada orang tuanya”. Kalimat itu sering terngiang.

Dulu saya tak pernah percaya. Bagi saya hanyalah sinetron yang mengada-ngada. Mana mungkin seorang anak tega melakukan hal tersebut pada orang tuanya. Ternyata itu kisah sinetron akan berpotensi menjadi kenyataan. Apakah ini yang dinamakan hidup dengan penuh drama yang berending kesedihan? Ah, sial aku menangis menulis ini. Terlalu pelik untuk menuliskan ceritanya.

Iya, melanjutkan ceritanya

“Saya punya anak tiga dan cucu satu. Anak pertama saya cantik, nak seperti Inul. Dan tinggal di perumahan elit di Kota Malang. Anak kedua saya kerja di Bank. Ketika musim PHK dulu di meminta doa pada saya. Tapi, setelah itu iya melupakan saya. Anak saya keduanya di Malang. Anak pertama tak pernah menanyakan keadaan atau bahkan menjenguk saya. Kemarin saya sempat bertemu dengan anak kedua saya. Dia tega mengatakan “Sampai habis materi tidak akan bisa menyembuhkan penyakitmu,” saya tak kuasa mendengarnya. Mereka memang lahir dari batu.”

Diam dengan seribu kata adalah jawaban terbaik baginya. Solusi? Saran? Ataupun menimpali jawaban lainnya bukan hal terbaik. Saya tak ingin menyimpulkan kisahnya dengan begitu cepat. Namun, saya ingat pesan Rasul kami yakni Rasulullah SAW. Begini sabdanya “Apabila anak adam meninggal dunia, maka terputuslah seluruh amalnya kecuali tiga hal, yaitu sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang terus mendokan kedua orang tuanya,” (HR at-Tirmidzi).

Anak yang saleh adalah warisan yang tak akan pernah terputus. Tapi, membentuk kesalehan dalam diri anak adam tak mudah. Tentu tidak seperti membalikkan telapak tangan yang begitu cepat. Pengetahuan menjadi sentral utamanya dalam menciptakan keadaban tersebut.

Ihwal, mengatakan bahwa pengetahuan hanya bertumpu dalam sebuah pendidikan formal yang kita sebut Sekolah. Padahal tak semua begitu. Pengetahuan bisa di dapati dengan pengalaman yang baik. Kualitas pengalaman mesti selalu bersanding dengan lingkungan yang baik. Lingkungan yang dimaksud adalah lingkungan yang baik. Artinya, manusia dan lingkungan merupakan dua faktor yang terus berinteraksi dan terus saling mempengaruhi.

Menurut Posumah “Lingkungan sosial merupakan lingkungan yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan manusia, karena tanpa adanya dukungan dari lingkungan sekitar seorang tidak akan berkembang dengan baik. Lingkungan sosial yang kurang yang baik akan mempengaruhi pola pikir, dan sikap seseorang menjadi tidak baik pula.”

Selanjutnya, si perempuan rentan itu berkata “Nak, boleh kah saya meminta tolong, untuk menghubungi anak saya,”

“Enggeh, ibu,” singkatku.

Secara langsung iya menyalurkan hp bermerk Nokia. Dia hanya berkata “Nak, carikan nomer anak saya di hp ini. Dia hanya satu-satunya anak saya yang sayang kepada saya,”

Ketika saya dapati nomernya dan mengirimkan pesan. Beberapa menit anaknya membalas, dan hanya berterima kasih. Selain itu, saya menawarakan kepada perempuan itu untuk menelpon anaknya. Jawabannya hanya “Ayo, nak ditelpon,” ku berikan hp mungil ini kepadanya.

Raut wajah yang menawarkan harapan pada anak ketiga terpancar darinya. Keinginan hanya satu “Anaknya menjemputnya ketika iya tiba. Katanya, anak ketika tak dapat ikut karena bekerja”.

Itulah kisah seorang kasih (Ibu) yang tak sampai pada anaknya. Walaupun sampai kasihnya diacuhkan. Doa kami semoga ibu diberikan kesabaran seluas samudera. Dan kelak keluargamu dapat berkumpul dengan harapan yang engkau idamkan. Salam bahagia. []

.

 

 

 

Tags: Anak SolehKasih IbuKeluarganperempuan
Miri Pariyas

Miri Pariyas

Penyuka bunga mawar

Terkait Posts

Narasi Hajar

Pentingnya Narasi Hajar dalam Spiritualitas Iduladha

6 Juni 2025
Berkurban

Berkurban: Latihan Kenosis Menuju Diri yang Lapang

6 Juni 2025
Kekerasan Seksual

Perspektif Heterarki: Solusi Konseptual Problem Maraknya Kasus Kekerasan Seksual di Lembaga Pendidikan Agama  

5 Juni 2025
Kesehatan Akal

Dari Brain Rot ke Brain Refresh, Pentingnya Menjaga Kesehatan Akal

4 Juni 2025
Tubuh yang Terlupakan

Luka Cinta di Dinding Rumah: Tafsir Feminis-Spiritual atas Tubuh yang Terlupakan

3 Juni 2025
Kurban

Kurban Sapi atau Kambing? Tahun Ini Masih Kurban Perasaan! Refleksi atas Perjalanan Spiritual Hari Raya Iduladha

2 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Jam Masuk Sekolah

    Jam Masuk Sekolah Lebih Pagi Bukan Kedisiplinan, Melainkan Bencana Pendidikan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Iduladha: Lebih dari Sekadar Berbagi Daging Kurban

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kursi Lipat dan Martabat Disabilitas

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Siti Hajar dan Kritik atas Sejarah yang Meminggirkan Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Jalan Tengah untuk Abah dan Azizah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Bagaimana Sikap Masyarakat Jika Terjadi KDRT?
  • Siti Hajar dan Kritik atas Sejarah yang Meminggirkan Perempuan
  • Kursi Lipat dan Martabat Disabilitas
  • Jalan Tengah untuk Abah dan Azizah
  • 7 Langkah yang Dapat Dilakukan Ketika Anda Menjadi Korban KDRT

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID