Mubadalah.id – Perihal perubahan iklim atau pun krisis iklim akhir-akhir ini semakin mencuat. Ruang obrolannya bervariasi, dari tongkrongan di kafe, diskusi akademis, hingga tingkat internasional seperti COP26 dan G20. Meski bervariasi, tapi unsur obrolannya selalu bermula dari Paris Agreement, menekan suhu bumi 1,5ºC, dan mencairnya gunung es di Antartika.
Persoalan perubahan iklim selalu diambil dari imajinasi Barat, dengan penggambaran bumi yang sekarat dan ancaman kepunahan manusia yang semakin dekat. Misalnya kampanye pelepasan emisi karbon ke atmosfer bumi yang menjadi kontributor perubahan iklim, sehingga perlu mengurangi atau menemukan alternatif untuk mengurangi aktivitas penyumbang emisi karbon.
Namun pada akhirnya, persoalan emisi karbon ini malah memunculkan carbon trading bagi industri-industri besar untuk “mengakali” emisi karbon yang dihasilkan. Indonesia, dengan luas hutannya, direncanakan bisa menghasilkan ekonomi dari bisnis perdagangan karbon. Jelas saja rencana itu tidak menaruh komitmen pada pengurangan emisi karbon, karena industri bisa membeli ambang batas emisi karbon.
Pembahasan terkait perubahan iklim akhirnya menjadi milik korporasi dan pengusaha demi kepentingan ekonomi. Imajinasi kehancuran bumi dan kepunahan manusia akhirnya mengerucut kepada kekhawatiran pengusaha atas mandeknya aktivitas ekonomi.
Bagaimana dengan komitmen kepedulian terhadap masyarakat lokal-terpinggirkan jika pembahasan perubahan iklim ditarik menjauh dari pengalamannya? Seberapa mungkin mereka bisa menjangkau diskusi terkait perubahan iklim?
Dekolonisasi Perubahan Iklim Melalui Jalan Agama
Pengetahuan terkait perubahan iklim saat ini masih hierarkis dan etnosentris, seolah-olah hanya Barat dan kalangan intelektual yang legitimate untuk membahasnya. Pandangan ini menciptakan jarak bagi masyarakat lokal untuk menjangkaunya, bahkan meminggirkannya dari aksi untuk iklim.
Melakukan dekolonisasi atau membumikan pembahasan terkait perubahan iklim sangatlah perlu. Dekolonisasi perubahan iklim adalah usaha untuk mendekatkan fenomena perubahan iklim dengan pengalaman keseharian masyarakat, baik budaya, sosial, atau pun spiritual. Hal ini diyakini lebih mampun menyentuh masyarakat untuk turut bergerak, karena pengalamannya terwakili.
Indonesia, negara dengan mayoritas komunitasnya yang beragama, khususnya Islam, telah memiliki cara tersendiri untuk menyadarkan masyarakat peduli terhadap iklim, yakni melalui nilai-nilai keagamaan. Salah satu yang melakukannya adalah Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) pada tahun 2017. Para ulama perempuan yang ada di dalamnya telah menelurkan fatwa-fatwa terkait perusakan alam (No. 03/MK-KUPI-1/IV/2017) dan bagaimana sikap yang harus diambil oleh masyarakat, pemangku kebijakan, serta pelaku perusakan alam.
Ukhuwwah makhluuqiyyah (persaudaraan sesama makhluk) adalah salah satu fatwa yang coba dikembangkan oleh KUPI untuk memperbaiki hubungan manusia dengan alam. Fatwa ini merupakan upaya merevisi perihal kehadiran manusia di bumi untuk menggunakan yang tersedia di alam demi keberlangsungan hidup manusia, yang terpeleset pada perilaku eksploitatif.
Dengan adanya fatwa itu, manusia dan alam adalah saudara. Dan diciptakannya manusia di bumi adalah untuk mengemban amanat Allah sebagai penjaga keberlangsungan alam semesta, bukan mengeksploitasinya. Oleh karena itu, hubungan antara manusia dan non-manusia di bumi pada dasarnya setara dan harus berinteraksi secara mutualistik. Dalam pelaksanaannya, KUPI menekankan, pemanfaatan dan pengelolaan alam tidak boleh melampaui kebutuhan dan kepentingan diri sendiri (masyarakat) dan tidak memberi dampak pada rusaknya alam.
KUPI juga menetapkan fatwa haram secara mutlak terhadap perusakan alam yang berakibat pada kemadlaratan dan ketimpangan sosial, termasuk perusakan alam atas nama pembangunan. Di sini agama harus berperan dalam melestarikan alam untuk mencegah semakin parahnya perubahan iklim. Dan, memberi dorongan melalui spirit keagamaan untuk menggerakkan manusia supaya menempatkan diri setara dengan alam serta menjaganya (hifdlul bii’ah).
Melirik Masyarakat Lokal untuk Mitigaasi Perubahan Iklim
Agar fatwa KUPI tersebut terimplementasi dengan baik dalam mitigasi perubahan iklim, teknisnya harus menyertakan pandangan masyarakat lokal. Hal ini dikarenakan masyarakat lokallah yang mengalami langsung bagaimana dampak perubahan iklim dan menemukan cara-cara kreatif untuk melakukan mitigasi.
Salah satu contohnya adalah cara adaptasi Orang Suku Laut dalam menghadapi krisis. Kerentanan yang dihadapi adalah penyakit, cuaca ekstrem, kelangkaan sumber air bersih, dan potensi kehilangan mata pencaharian. Dalam penelitian Wengky Ariando (2020) menyebutkan bahwa Orang Suku Laut memiliki tiga cara untuk bertahan di tengah krisis, yaitu praktek kebudayaan, kepercayaan adat, dan kemampuan adaptasi.
Meski cara-cara itu sudah dipraktekkan, tapi Orang Suku Laut masih harus menghadapi tantangan dari sistem yang belum mendukung langkah mereka, seperti arah kebijakan pemerintah yang belum memperhatikan kearifan ekologi lokal. Artinya, sistem masih belum melibatkan masyarakat lokal dalam membentuk kebijakan terkait perubahan iklim.
Samie Blasingame, peneliti dan organisator komunitas di bidang keadilan lingkungan dan sistem pangan global, dalam tulisannya Decolonizing the Climate Change Conversation, menyatakan bahwa saran yang wajib dipertimbangkan dalam membentuk kebijakan terkait iklim adalah masyarakat lokal.
Menurut Samie, masyarakat lokal telah mempraktekkan berbagai cara untuk keluar dari kerentanan dan sudah berpengalaman soal itu. Sebaliknya, saran dari pengusaha dan konglomerat mengandung perspektif yang bias, penuh dengan kepentingan ekonomi. Sehingga untuk mengatasi iklim harus dimulai dengan menengahkan (centered) pengetahuan lokal orang yang terpinggirkan (marginalized).
Imajinasi Kesetaraan Manusia dan Non-Manusia untuk Aksi Iklim
Perspektif antroposentris dalam mengelola sumber daya alam menempatkan manusia berada di puncak pemangsa. Perspektif ini juga menutup pintu dialog antara manusia dan non-manusia. Menganggap non-manusia sebagai objek yang disediakan untuk kepentingan hidup manusia.
Sebagaimana fatwa KUPI, manusia adalah salah satu organisme bagian dari alam. Dus, manusia masuk dalam rantai makanan. Ini adalah langkah untuk menghindari kepunahan, baik manusia atau selain-manusia. sebab, jika satu organisme menempatkan diri di puncak pemangsa, maka akan menimbulkan kepunahan, tak terkecuali predator puncak itu sendiri.
Untuk aksi iklim, Sophie Chao dan Dion Enari melalui penelitiannya: Decolonising Climate Change: A Call for Beyond-Human Imaginaries and Knowledge Generation (2021), menyarankan untuk menerapkan imajinasi “melampaui-manusia”. Adalah imajinasi yang tidak hanya berkutat untuk kepentingan manusia dan menganggap manusia sebagai satu-satunya bentuk “kehidupan”. Melainkan juga melibatkan, seperti, hewan, tanah, laut, pohon, dan gunung sebagai entitas yang turut membentuk dan memengaruhi kehidupan.
Persoalannya, bagaimana cara kita memahami selain-manusia (tumbuhan, hewan, hutan) yang tidak menghasilkan tulisan, bahasa yang dimengerti, dan aktif berkomunikasi?
Salah satu caranya adalah melalui imajinasi penceritaan masyarakat lokal sebagai medium memahami selain-manusia. Chao dan Enari mencontohkan kisah Burung Kasuari yang mereka dengar dari masyarakat adat Papua Barat: Kasuari menjadi sungai, lalu menjadi kanopi, lalu menjadi kanguru, lalu menjadi anak-anak, lalu menjadi pohon sagu, dan kemudian menjadi penutur cerita.
Dalam imajinasi penceritaan itu mengandung alam pikir manusia bahwa manusia terhubung dengan alam sekitarnya. Itulah kenapa masyarakat adat Papua tergerak melindungi pohon sagu dan hutan.
Kisah bukan sekadar fantasi dan pengantar tidur, ia memiliki makna kuat dan mampu mendorong aksi kolektif. Kisah telah turut membentuk pemahaman, perilaku, kepercayaan manusia, dan relasi satu sama lain beserta dunia sekitarnya. Masih dalam Choe dan Enari, ketika seorang pria dari Marind, Papua Nugini, ditanya bagaimana cara ia memahami hutan, pria itu menjawab: “[Melalui] mataku, telingaku, hidungku, mulutku, gigiku, kulitku, ayahku, tulangku.”
Ketika diskursus perubahan iklim digaungkan, sebenarnya masyarakat lokal sudah mengalami sendiri sebelum diskursus itu melambung. Mereka mengalaminya melampaui diskursus, sehingga tidak perlu menunggu mereka memahami istilah akademis perubahan iklim untuk terlibat dalam aksi iklim. Mereka sudah terlibat sejak mula, kesenjangan budaya-lah (etnosentrisme) yang membuat mereka seolah-olah tidak berkontribusi.
Tugas pemangku kebijakan dan para intelektual adalah lebih banyak mendengarkan kisah mereka dan mengakuinya sebagai subjek. Partisipasi masyarakat lokal sangat berpengaruh terhadap aksi iklim. Pengalaman mereka harus dilibatkan dalam menentukan kebijakan yang responsif terhadap perubahan iklim. []