Mubadalah.id – Topik childfree belakangan ini sedang ramai diperbincangkan di dunia maya, setelah salah satu influencer asal Indonesia Gita Savitri Devi mengungkapkan secara terbuka tentang keputusannya untuk tidak memiliki anak. Keputusan tersebut adalah hasil kesepakatan bersama antara dirinya dengan sang suami Paul Andre Partohap. Keduanya saat ini tinggal bersama di Jerman. Pernyataan tersebut tentunya menuai banyak pro dan kontra dari banyak kalangan masyarakat di Indonesia.
Istilah childfree itu sendiri merupakan sebutan bagi suatu kondisi pernikahan tanpa anak dan atau keadaan dimana seorang maupun pasangan memilih keputusan untuk tidak memiliki anak secara biologis. Ada banyak faktor yang melatarbelakangi mengapa seorang perempuan atau pasangan seperti Gita Savitri dan suaminya, serta perempuan lain yang memilih untuk childfree.
Menurut Dr. Nur Rofiah, Bil. Uzm, Dosen sekaligus pengamat isu perempuan dalam acaranya pada webinar Lingkar Ngaji Keadilan Gender Islam (KGI) dengan tema “Childfree dan Childcare Perspektif Islam”, mengungkapkan berberapa alasan pasangan suami istri (pasutri) memilih untuk tidak memiliki anak baik itu anak kandung, tiri, maupun angkat.
Diantaranya adalah karena ketidaksiapan finansial, ketidaksiapan reproduksi, riwayat penyakit kronis, trauma, ketidaksiapan sebagai orang tua, semrawutnya konsep keluarga, ancaman kerusakan alam, konflik kemanusiaan dan lainnya.
Beliau juga mengatakan dalam mengambil keputusan untuk childfree, pasangan suami-istri perlu mempertimbangkan kemaslahatan agama (Islam) bukan hanya individu semata. Selain itu menurutnya ada tiga hal yang perlu menjadi pertimbangan pasutri kala memutuskan untuk childfree. Pertama, kualitas pasutri ditentukan juga oleh hubungan baik dengan Allah swt dan sesama mahluk-Nya.
Menurutnya keputusan punya anak atau tidak mesti dalam rangka berproses menjadi pribadi yang lebih baik dengan cara bermanfaat seluas-luasnya. Karena itu akan berbeda sekali jika pasutri memilih keputusan childfree supaya bisa me-time tanpa peduli dengan lingkungannya. Seperti misalnya seorang kiai yang memutuskan tidak menikah supaya lebih maksimal dalam memberikan manfaat untuk lingkungannya.
Kedua, memiliki anak atau tidak harus menjadi keputusan bersama terutama bagi perempuan, karena dialah yang akan menjalani masa reproduksi panjang. Ketiga, keputusan childfree tidak menggugurkan tanggung jawab sosial manusia dewasa pada anak secara sosial. Dalam konsep keadilan gender di dalam rumah tangga, pasangan suami istri diharapkan dapat terbebas dari nilai-nilai yang menganggap laki-laki lebih utama (patriarki) dibandingkan perempuan.
Sehingga tidak terjadi lagi pembedaan peran, posisi, tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan yang berdasarkan pada jenis kelamin. Melainkan hak dan kewajiban yang lebih diutamakan didalam kehidupan rumah tangga.
Seperti yang terjadi pada pasangan suami istri yaitu Ibu Widya dan Bapak Permana. Baginya keputusan untuk tidak memiliki anak bukanlah hal yang harus diperdebatkan. Karena mengutamakan kondisi kesehatan istrinya yang mengidap kanker, hingga saat ini adalah sebuah prioritas yang mereka pegang dan harus diperjuangkan. Pernikahan yang telah berjalan selama 29 tahun tanpa kehadiran anak dalam rumah tangganya tidak lantas membuat kebahagiaan mereka hilang begitu saja.
Saling support, saling menghargai , menghormati dan saling menjaga kesehatan satu sama lain adalah kunci kebahagiaan dan keharmonisan rumah tangga mereka. Beliau juga mengatakan, “kalau hidup rumah tangga tanpa anak kaya gini tetap bisa bahagia kok, semua tergantung kita yang memaknainya. Alhamdulilah aku gak merasa sepi.”
Walaupun tak jarang, stigma negatif untuknya sempat datang dari saudara dan tetangga yang belum memahami keputusannya. Pasangan tersebut hanya membalas jawaban dengan melempar senyuman saja. Karena menurutnya, keputusan untuk tidak memiliki anak masih tergolong tabu di lingkungannya. Seolah siklus hidup manusia yang telah menikah itu mutlak harus hamil punya anak dan seterusnya. Mereka lupa bahwa hidup manusia dalam perjalanannya memiliki pilihan masing-masing.
Di tengah kesibukan menikmati hari tua bersama, mereka juga masih aktif berkontribusi di sebuah komunitas yang bergerak dalam bidang sosial dan juga aktif dalam komunitas penggalangan dana untuk para cancer survivor yang mereka bangun bersama. Hal tersebut tentunya juga menjadi salah satu penyemangat hidup untuk tetap produktif, terus menebar manfaat dan kebahagiaan bagi sesama.
Terwujudnya keadilan gender di dalam rumah tangga itu sendiri ditandai dengan tidak adanya diskriminasi antara perempuan dan laki-laki. Dengan demikian perempuan dan laki-laki memiliki akses, kesempatan berpartisipasi, untuk memperoleh manfaat yang setara dan adil dalam sebuah tujuan membangun sebuah rumah tangga. Memiliki akses dan partisipasi berarti memiliki peluang atau kesempatan untuk menggunakan sumber daya dan memiliki kewenangan penuh untuk mengambil keputusan atas penggunaan dan hasil sumber daya sehingga memperoleh manfaat yang sama.
Di dalam Islam pun masa depan dan pembinaan generasi penerus sangat diperhatikan. Salah satunya ditegaskan oleh Allah SWT di dalam Alquran, Surat An-Nisa ayat 9, “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.”
Lemah yang dimaksudkan dalam ayat di atas menyangkut beberapa hal. Utamanya adalah jangan sampai kita meninggalkan generasi penerus yang lemah akidah, ibadah, ilmu, dan ekonominya. Generasi penerus atau anak di sini tidak hanya anak biologis, melainkan juga anak didik (murid) dan generasi muda Islam pada umumnya.
Satu hal yang paling penting pada sebuah rumah tangga yaitu, ketika memilih keputusan untuk memiliki anak satu, lebih dari satu atau bahkan tanpa anak sekalipun, bukanlah suatu keputusan yang egois. Selama hal tersebut dipikirkan secara matang dan merupakan kesepakatan bersama terutama pada pihak perempuan. Karena perempuan memiliki pengalaman khas biologis yang sangat jauh berbeda dengan kaum laki-laki.
Terkait dengan hal ini perempuanlah yang nantinya akan menjalani proses reproduksi dan kerja-kerja biologis yang panjang (mengandung, melahirkan, nifas, menyusui dan seterusnya) yang sakit dan lelahnya bertubi-tubi. Sehingga perempuan berhak menentukan pilihannya (untuk memiliki anak atau tidak).
Karena sejatinya visi dan misi terciptanya rumah tangga bahagia yang terpenting adalah, dapat memastikan hak dan kewajiban dalam rumah tangga tetap berjalan dengan semestinya, sesuai koridor hukum dan agama. []