Rabu, 22 Oktober 2025
  • Login
  • Register
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
    Nyai Badriyah

    Nyai Badriyah Fayumi: KUPI Tegaskan Semua Manusia Adalah Subjek Kehidupan, Termasuk Disabilitas

    Ulama Perempuan Disabilitas

    Nyai Hj. Badriyah Fayumi: Ulama Perempuan Harus Menjadi Pelopor Keulamaan Inklusif dan Ramah Disabilitas

    Hak-hak Disabilitas

    UIN SSC Gelar Konferensi Nasional KUPI untuk Memperkuat Peran Keulamaan bagi Hak-hak Disabilitas

    Disabilitas

    PSGAD UIN SSC Dorong Kolaborasi Akademisi, Komunitas, dan Pesantren untuk Advokasi Disabilitas melalui Tulisan

    Isu Disabilitas

    Zahra Amin: Mari Menulis dan Membumikan Isu Disabilitas

    Keadilan Gender

    SIKON CILEM UIN SSC Cirebon Angkat KUPI sebagai Gerakan Global Keadilan Gender Islam

    Metodologi KUPI

    Menelusuri Metodologi KUPI: Dari Nalar Teks hingga Gerakan Sosial Perempuan

    Trans7

    Pesantren di Persimpangan Media: Kritik atas Representasi dan Kekeliruan Narasi Trans7

    Gus Dur dan Daisaku Ikeda

    Belajar dari Gus Dur dan Daisaku Ikeda, Persahabatan adalah Awal Perdamaian

  • Kolom
    • All
    • Keluarga
    • Personal
    • Publik
    Moral Solidarity

    Makna Relasi Afektif di Pesantren: Collective Pride dan Moral Solidarity Santri

    Periwayatan Hadis

    Difabel dalam Periwayatan Hadis : Melihat Islam Inklusif di Zaman Nabi

    Hak-hak Disabilitas

    UIN SSC Gelar Konferensi Nasional KUPI untuk Memperkuat Peran Keulamaan bagi Hak-hak Disabilitas

    Kekerasan di Sekolah

    Kekerasan di Sekolah, Kekacauan di Media: Saatnya Membaca dengan Bijak

    Kekerasan Seksual

    Mengapa Kita Tidak Boleh Melupakan Kasus Kekerasan Seksual?

    Ekofeminisme di Indonesia

    Kajian Ekofeminisme di Indonesia: Pendekatan Dekolonisasi

    Trans7

    Merespon Trans7 dengan Elegan

    Banjir informasi

    Antara Banjir Informasi, Boikot Stasiun Televisi, dan Refleksi Hari Santri

    Refleksi Hari Santri

    Refleksi Hari Santri: Memoar Santri Putri “Nyantri” di California

  • Khazanah
    • All
    • Hikmah
    • Hukum Syariat
    • Pernak-pernik
    • Sastra
    Surga

    Menyingkap Lemahnya Hadis-hadis Seksualitas tentang Kenikmatan Surga

    Surga

    Surga dalam Logika Mubadalah

    Kenikmatan Surga

    Kenikmatan Surga adalah Azwāj Muṭahharah

    Surga Perempuan

    Di mana Tempat Perempuan Ketika di Surga?

    Surga

    Ketika Surga Direduksi Jadi Ruang Syahwat Laki-Laki

    Perempuan Lebih Rendah

    Ketakwaan Perempuan Tidak Lebih Rendah dari Laki-laki

    Keterbukaan Rumah Tangga

    Keterbukaan Adalah Kunci Utama Keharmonisan Rumah Tangga

    Keterbukaan

    Pentingnya Sikap Saling Keterbukaan dalam Rumah Tangga

    Rumah Tangga dalam

    Mencegah Konflik Kecil Rumah Tangga dengan Sikap Saling Terbuka dan Komunikasi

  • Rujukan
    • All
    • Ayat Quran
    • Hadits
    • Metodologi
    • Mubapedia
    Perempuan Fitnah

    Perempuan Fitnah Laki-laki? Menimbang Ulang dalam Perspektif Mubadalah

    Idul Fitri

    Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Menjadi Insan Bertakwa dan Mewujudkan Masyarakat Berkeadaban di Hari Kemenangan

    Idul Fitri

    Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Merayakan Kemenangan dengan Syukur, Solidaritas, dan Kepedulian

    Membayar Zakat Fitrah

    Masihkah Kita Membayar Zakat Fitrah dengan Beras 2,5 Kg atau Uang Seharganya?

    Ibu menyusui tidak puasa apa hukumnya?

    Ibu Menyusui Tidak Puasa Apa Hukumnya?

    kerja domestik adalah tanggung jawab suami dan istri

    5 Dalil Kerja Domestik adalah Tanggung Jawab Suami dan Istri

    Menghindari Zina

    Jika Ingin Menghindari Zina, Jangan dengan Pernikahan yang Toxic

    Makna Ghaddul Bashar

    Makna Ghaddul Bashar, Benarkah Menundukkan Mata Secara Fisik?

    Makna Isti'faf

    Makna Isti’faf, Benarkah hanya Menjauhi Zina?

  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
    Nyai Badriyah

    Nyai Badriyah Fayumi: KUPI Tegaskan Semua Manusia Adalah Subjek Kehidupan, Termasuk Disabilitas

    Ulama Perempuan Disabilitas

    Nyai Hj. Badriyah Fayumi: Ulama Perempuan Harus Menjadi Pelopor Keulamaan Inklusif dan Ramah Disabilitas

    Hak-hak Disabilitas

    UIN SSC Gelar Konferensi Nasional KUPI untuk Memperkuat Peran Keulamaan bagi Hak-hak Disabilitas

    Disabilitas

    PSGAD UIN SSC Dorong Kolaborasi Akademisi, Komunitas, dan Pesantren untuk Advokasi Disabilitas melalui Tulisan

    Isu Disabilitas

    Zahra Amin: Mari Menulis dan Membumikan Isu Disabilitas

    Keadilan Gender

    SIKON CILEM UIN SSC Cirebon Angkat KUPI sebagai Gerakan Global Keadilan Gender Islam

    Metodologi KUPI

    Menelusuri Metodologi KUPI: Dari Nalar Teks hingga Gerakan Sosial Perempuan

    Trans7

    Pesantren di Persimpangan Media: Kritik atas Representasi dan Kekeliruan Narasi Trans7

    Gus Dur dan Daisaku Ikeda

    Belajar dari Gus Dur dan Daisaku Ikeda, Persahabatan adalah Awal Perdamaian

  • Kolom
    • All
    • Keluarga
    • Personal
    • Publik
    Moral Solidarity

    Makna Relasi Afektif di Pesantren: Collective Pride dan Moral Solidarity Santri

    Periwayatan Hadis

    Difabel dalam Periwayatan Hadis : Melihat Islam Inklusif di Zaman Nabi

    Hak-hak Disabilitas

    UIN SSC Gelar Konferensi Nasional KUPI untuk Memperkuat Peran Keulamaan bagi Hak-hak Disabilitas

    Kekerasan di Sekolah

    Kekerasan di Sekolah, Kekacauan di Media: Saatnya Membaca dengan Bijak

    Kekerasan Seksual

    Mengapa Kita Tidak Boleh Melupakan Kasus Kekerasan Seksual?

    Ekofeminisme di Indonesia

    Kajian Ekofeminisme di Indonesia: Pendekatan Dekolonisasi

    Trans7

    Merespon Trans7 dengan Elegan

    Banjir informasi

    Antara Banjir Informasi, Boikot Stasiun Televisi, dan Refleksi Hari Santri

    Refleksi Hari Santri

    Refleksi Hari Santri: Memoar Santri Putri “Nyantri” di California

  • Khazanah
    • All
    • Hikmah
    • Hukum Syariat
    • Pernak-pernik
    • Sastra
    Surga

    Menyingkap Lemahnya Hadis-hadis Seksualitas tentang Kenikmatan Surga

    Surga

    Surga dalam Logika Mubadalah

    Kenikmatan Surga

    Kenikmatan Surga adalah Azwāj Muṭahharah

    Surga Perempuan

    Di mana Tempat Perempuan Ketika di Surga?

    Surga

    Ketika Surga Direduksi Jadi Ruang Syahwat Laki-Laki

    Perempuan Lebih Rendah

    Ketakwaan Perempuan Tidak Lebih Rendah dari Laki-laki

    Keterbukaan Rumah Tangga

    Keterbukaan Adalah Kunci Utama Keharmonisan Rumah Tangga

    Keterbukaan

    Pentingnya Sikap Saling Keterbukaan dalam Rumah Tangga

    Rumah Tangga dalam

    Mencegah Konflik Kecil Rumah Tangga dengan Sikap Saling Terbuka dan Komunikasi

  • Rujukan
    • All
    • Ayat Quran
    • Hadits
    • Metodologi
    • Mubapedia
    Perempuan Fitnah

    Perempuan Fitnah Laki-laki? Menimbang Ulang dalam Perspektif Mubadalah

    Idul Fitri

    Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Menjadi Insan Bertakwa dan Mewujudkan Masyarakat Berkeadaban di Hari Kemenangan

    Idul Fitri

    Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Merayakan Kemenangan dengan Syukur, Solidaritas, dan Kepedulian

    Membayar Zakat Fitrah

    Masihkah Kita Membayar Zakat Fitrah dengan Beras 2,5 Kg atau Uang Seharganya?

    Ibu menyusui tidak puasa apa hukumnya?

    Ibu Menyusui Tidak Puasa Apa Hukumnya?

    kerja domestik adalah tanggung jawab suami dan istri

    5 Dalil Kerja Domestik adalah Tanggung Jawab Suami dan Istri

    Menghindari Zina

    Jika Ingin Menghindari Zina, Jangan dengan Pernikahan yang Toxic

    Makna Ghaddul Bashar

    Makna Ghaddul Bashar, Benarkah Menundukkan Mata Secara Fisik?

    Makna Isti'faf

    Makna Isti’faf, Benarkah hanya Menjauhi Zina?

  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Khazanah Pernak-pernik

Akankah Kata ‘Haihata’ untuk Budaya Toleransi di Bumi Indonesia saat Ini?

Urusan budaya toleransi, sejatinya tak lepas dari prinsip pepatah, “Di mana bumi dipijak, di sana langit dijunjung”

Ahmad Dirgahayu Hidayat Ahmad Dirgahayu Hidayat
30 November 2022
in Pernak-pernik
0
Budaya Toleransi

Budaya Toleransi

115
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Melihat apa yang sempat ramai akhir ini lantaran statement Menteri Agama Republik Indonesia, Yaqut Cholil Qoumas tentang pengaturan kadar volume Toa di masjid dan musala di seluruh Indonesia, membuat saya berkesimpulan bahwa budaya toleransi kita sangat jauh dari yang digariskan Walisongo.

Para ulama kita tempo dulu berhasil mencapai titik maksimal dalam mengejawantahkan budaya toleransi di bumi Nusantara. Setiap agama mampu berdamai dengan yang lain. Wayang salah satu contohnya. Di Jawa, wayang adalah media terampuh untuk melicinkan misi dakwah.

Sebelum Islam datang, Agama Hindu sudah menggunakannya terlebih dahulu. Dan, mereka sukses mendapatkan hasil maksimal untuk membumikan ajarannya. Demikian juga Islam, keberhasilan dakwahnya tak lepas dari media wayang di bawah tangan kreatif Sunan Kalijaga. Melalui pertunjukan wayangnya, ia berhasil menanamkan ajaran tasawuf, moral, dan lain-lain kepada masyarakat Jawa.

Bahkan, setelah Walisongo pun media ini tetap relevan di mata umat. Terbukti, dunia pewayangan mengenal istilah Wayang Krucil. Sebuah pertunjukan wayang yang menceritakan tokoh Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Gunung Jati, Sunan Giri dan Sunan Kalijaga.

Itu artinya, dahulu agama-agama di Indonesia hidup berdampingan dengan rukun, menyebarkan ajaran luhur mereka dengan media yang sama. Bukan berarti ketika wayang telah digunakan lebih dahulu oleh Hindu, kemudian Islam anti dan menjauhinya. Melainkan, justru semakin dikembangkan. Sebab, mereka semua tahu bahwa wayang hanyalah media. Umat Hindu mengisi konten wayang dengan cerita-cerita Ramayana dan Mahabharata, sedangkan Sunan Kalijaga mengisinya dengan ajaran-ajaran tasawuf dan kisah-kisah sufi.

Terlebih lagi, mereka tidak risih dengan aktivitas dan kegiatan satu sama lain. Saat Islam memainkan wayang, para pembesar Hindu tidak mengajak umatnya untuk mencibir. Demikian pula sebaliknya, cerita-cerita pewayangan Hindu tak pernah sekali pun membuat Sunan Kalijaga-misalnya-merasa terganggu, apalagi sampai mengajak kaumnya untuk mengolok-olok mereka.

Sekarang malah jauh berbeda. Caci maki antar sesama muslim saja tak bisa dibendung, datang dari pelbagai aliran dan kepentingan. Malah, sepertinya kita cenderung lebih akur dengan umat agama lain daripada dengan kaum muslimin sendiri lantaran berbeda paham dan teologi, padahal kita masih meyakini Tuhan dan nabi yang sama. Entah apa yang melatarbelakangi konflik berkepanjangan ini. Atau, apakah ini berarti bahwa misi perdamaian yang dibawa agama lain lebih besar dibandingkan ‘beberapa aliran’ dalam agama kita? Hanya bisa berucap wallahu a’lam.

Jika memang benar-benar demi perdamaian-salah satunya dengan memerdekakan budaya toleransi dari kungkungan stigma negatif, fanatisme; baik kelompok, keyakinan, dan kedaerahan, juga membebaskannya dari egoisme personal-maka kita akan akur dengan siapa saja. Kita bisa dengan lapang dada menoleransi budaya, ritual, paham, dan pola hidup masyarakat sekitar kita. Tanpa perlu diatur Kementerian Agama Republik Indonesia. Aturan itu sebenarnya muncul dari rasa risi kita terhadap sesama; personal maupun kelompok. Wallahu a’lam apakah bapak Menag juga termasuk.

Kalau mengikuti rasa risi, aturan demi aturan untuk menegakkan budaya toleransi tak akan pernah usai. Setiap orang punya rasa risi, jijik, jenuh dan seterusnya, dan rasa itu beranak pinak. Kita tidak bisa membebek itu terus. Kita harus mulai berlapang dada, menerima kondisi masyarakat kita yang multikultural. Selama apa yang mereka lakukan tidak bermaksud mengganggu, murni sedang menjalankan ritual adat, budaya, dan seterusnya.

Urusan budaya toleransi, sejatinya tak lepas dari prinsip pepatah, “Di mana bumi dipijak, di sana langit dijunjung”. Bila berkunjung ke sebuah kampung sampah di Malang, kita tak boleh tutup hidung berlagak sok bersih, sok higenis. Kita harus menghargai kampung mereka.

Jika ke terminal, jangan larang para sopir menyalakan mesin dengan alasan bau knalpot. Salah. Begitu pun kalau berkunjung ke Pulau Dewata, jangan risih dengan anjing piaraan mereka, posisinya sama seperti gaduh kambing kacang di rumah kita. Pepatah di atas adalah bahasa sederhana dari hakikat budaya toleransi dengan segenap dimensi maknanya.

Ada sebuah kaidah fikih yang cukup keren yang mungkin luput dipahami serius. Dalam I’anah at-Thalibin ‘ala Halli Alfadhzi Fathil Mu’in (juz 2, hal. 316) syekh Abu Bakr bin Muhammad Syatha ad-Dimyathi-seorang ulama kesohor kelahiran Makkah al-Mukarramah pada tahun 1226 H-1310 H-menulis:

أن حق الله مبني على المسامحة وحق الأدمي مبني على المشاحة

“Sungguh, hak Allah berdiri tegak di atas maaf, dan hak sosial itu berpangku di atas egoisme dan pertikaian.”

Dalam kitab-kitab fikih, berdasar pada kaidah ini, kita kerap diajarkan bahwa hak Allah itu bisa ditunda ketika berhadapan dengan hak sosial yang lebih mendesak. Seperti dalam al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu (juz 2, hal. 1053) Syekh Wahbah bin Musthafa az-Zuhaili, sang mufasir besar, faqih (pakar fikih), juga ushuli (pakar ushul fiqh) kelahiran Damaskus ini menjelaskan konsep perihal kebolehan memutus shalat bagi seseorang yang mengetahui keberadaan tunanetra atau anak kecil yang akan tercebur ke sumur. Alasannya, selain karena shalat bisa dikerjakan nanti, juga merupakan bagian dari hak Allah yang berdiri di atas pengampunan.

Berarti, menyelamatkan satu nyawa jauh lebih berpahala daripada meneruskan shalat sekaligus membiarkannya masuk sumur. Sehingga, dalam satu kondisi bukan hanya boleh, tetapi wajib memutus shalat. Perlu diketahui, ada satu sudut pandang yang penting ditekankan pada kaidah dan contoh di atas, yaitu sudut pandang toleransi. Jika tidak, maka hanya akan menjadi sebatas hiasan hafalan dan contoh fikih yang jarang ditemukan.

Mari kita pahami dan kaji perspektif lebih jauh. Saya ingin mengawalinya dengan pertanyaan, Mengapa dalam kaidah di atas menggunakan redaksi ‘musyȃhhah’? Mengapa tidak menggunakan redaksi ‘at-ta’ȃwun ‘ala al-birri wa at-taqwa’ saja? Bukankah inti dari hak sosial adalah tolong-menolong dalam kebaikan dan ketakwaan?

Baik, kita mulai. Secara bahasa, musyȃhhah adalah derivasi dari kata syȃhha-yusyȃhhu yang menyimpan dua makna; (1) bermakna dhanna (kikir), seperti dalam contoh syȃhha bi mȃlihi ‘ala ahlihi (Dia kikir terhadap keluarganya). (2) bermakna khȃshama (memusuhi atau bertikai), seperti contoh syȃhha shȃhibahu (Dia memusuhi sahabatnya). Makna yang kedua inilah yang paling sesuai dengan maksud kaidah tersebut diucapkan.

Adapun alasan menggunakan kata musyȃhhah, secara tersirat yaitu untuk menggambarkan watak manusia pada umumnya-yang banyak salah lagi berlumur dosa-di mana, mereka mudah berpecah belah, berbuat kerusakan, dan melakukan pertumpahan darah.

Terkait watak manusia kelas ini, imam Abu Ja’far Muhammad bin Jarir at-Thabari menjelaskannya dalam tafsir Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an (juz 1, hal. 289) saat menafsiri surah al-Baqarah:[30]. Selain itu, secara tidak langsung menginformasikan akan minimnya manusia dengan mental pemaaf, rata-rata manusia menyimpan stok benci dan dendam lebih banyak daripada stok maafnya.

Lalu, alasan tajam tidak menggunakan kata ‘at-ta’ȃwun ‘ala al-birri wa at-taqwa’, yaitu karena tolong-menolong dalam kebaikan bukanlah karakter dan prinsip hidup umat manusia kebanyakan. ta’ȃwun di sini hanya dimiliki oleh segelintir orang. Mereka yang memiliki budi luhur, pemahaman mendalam, kemampuan tafakur yang menembus masa lalu, dan rasa syukur yang tinggi lah yang dihiasi karakter ta’ȃwun ini.

Maka wajar ketika kita terus diseru oleh penggalan surah al-Maidah:[6], Wa ta’ȃwanȗ ‘ala al-birri wa at-taqwa, walȃ ta’ȃwanȗ ‘ala al-itsmi wa al-‘udwȃn, “Tolong-menolonglah dalam kebaikan dan ketakwaan, dan jangan tolong-menolong dalam dosa dan kezaliman”.

Oleh karena hak anak Adam berdiri di atas musyȃhhah, maka budaya toleransi harus ditegakkan setegak-tegaknya, mesti dibumikan seluas-luasnya, wajib ditanamkan sedalam-dalamnya, dan patut dijunjung setinggi-tingginya. Inilah kajian dengan perspektif toleransi yang kami maksud di atas.

Namun, untuk mencapai budaya toleransi itu semua, seluruh umat, khususnya di bumi Indonesia membutuhkan kedewasaan yang matang dan moralitas yang tinggi. Kedewasaan itu bersumber dari pengalaman, sedangkan moralitas tumbuh dari pendidikan. Lalu, sudah sampai manakah budaya toleransi kita saat ini? lihat saja sampai mana kedewasaan dan moralitas anak bangsa. ‘Haihata’ (sungguh sangat jauh) mungkin kata yang tepat. Wallahu a’lam bisshawab. []

 

 

Tags: IndonesiakeberagamanNusantaraPerdamaiantoleransiTradisi
Ahmad Dirgahayu Hidayat

Ahmad Dirgahayu Hidayat

Ahmad Dirgahayu Hidayat, alumnus Ma’had Aly Situbondo, dan pendiri Komunitas Lingkar Ngaji Lesehan (Letih-Semangat Demi Hak Perempuan) di Lombok, NTB.

Terkait Posts

Membaca Buku
Publik

Joglo Baca: Merawat Tradisi Membaca Buku di Tengah Budaya Scrolling

18 Oktober 2025
Siti Ambariyah
Figur

Menelaah Biografi Nyai Siti Ambariyah; Antara Cinta dan Perjuangan

18 Oktober 2025
Guruku Orang-orang dari Pesantren
Buku

Guruku Orang-orang dari Pesantren; Inspirasi Melalui Lembaran Buku KH. Saifuddin Zuhri

18 Oktober 2025
Gus Dur dan Daisaku Ikeda
Aktual

Belajar dari Gus Dur dan Daisaku Ikeda, Persahabatan adalah Awal Perdamaian

14 Oktober 2025
Pernikahan Anak
Publik

Mengapa Masih Ada Tokoh Agama yang Terlibat dalam Pernikahan Anak?

7 Oktober 2025
Multitafsir Pancasila
Publik

Multitafsir Pancasila Dari Legitimasi Kekuasaan ke Pedoman Kemaslahatan Bangsa

4 Oktober 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Hak-hak Disabilitas

    UIN SSC Gelar Konferensi Nasional KUPI untuk Memperkuat Peran Keulamaan bagi Hak-hak Disabilitas

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Difabel dalam Periwayatan Hadis : Melihat Islam Inklusif di Zaman Nabi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Menyingkap Lemahnya Hadis-hadis Seksualitas tentang Kenikmatan Surga

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Nyai Badriyah Fayumi: KUPI Tegaskan Semua Manusia Adalah Subjek Kehidupan, Termasuk Disabilitas

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Makna Relasi Afektif di Pesantren: Collective Pride dan Moral Solidarity Santri

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Makna Relasi Afektif di Pesantren: Collective Pride dan Moral Solidarity Santri
  • Difabel dalam Periwayatan Hadis : Melihat Islam Inklusif di Zaman Nabi
  • Nyai Badriyah Fayumi: KUPI Tegaskan Semua Manusia Adalah Subjek Kehidupan, Termasuk Disabilitas
  • Menyingkap Lemahnya Hadis-hadis Seksualitas tentang Kenikmatan Surga
  • Nyai Hj. Badriyah Fayumi: Ulama Perempuan Harus Menjadi Pelopor Keulamaan Inklusif dan Ramah Disabilitas

Komentar Terbaru

  • M. Khoirul Imamil M pada Amalan Muharram: Melampaui “Revenue” Individual
  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2025 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2025 MUBADALAH.ID