Mubadalah.id – Salah satu hal yang harus disadari dari pasangan yang hendak menikah adalah pengetahuan terkait bagaimana mengasuh anak yang baik. Sebenarnya memahami pola pengasuhan yang baik tidak hanya berlaku bagi seseorang yang memiliki anak saja, bahkan para guru pendamping siswa, santri, dan orang-orang yang terlibat dengan pendidikan dan pengasuhan anak juga harus membekali diri dalam pola parenting yang baik.
Dalam hal membekali diri dengan ilmu parenting, Nabi Muhammad SAW merupakan teladan dan role model dalam segala hal, termasuk dalam pengasuhan. Sebagai Nabi dan panutan umat, beliau meninggalkan jejak-jejak kebaikan tentang bagaimana cara mendidik anak yang baik.
Bahkan parenting Nabi Muhammad SAW ini menjadi pendobrak stigma bahwa pengasuhan itu hanya dititikberatkan pada perempuan sebagai ibu saja. Akan tetapi bapak juga berperan penting dalam mendidik dan mendampingi anak-anaknya.
Sebagaimana disampaikan oleh praktisi pendidikan, Najeela Shihab, sosok bapak memiliki empat peranan penting dalam keluarga. Pertama, Bapak sebagai teman bermain akan berpengaruh pada kualitas mental anak. Kedua, Bapak sebagai pendidik harus mampu memberikan motivasi bagi anaknya untuk mewujudkan semua cita-citanya. Ketiga, Bapak sebagai pelindung akan mengajarkan anak bagaimana melindungi dirinya. Keempat, Bapak sebagai rekan yang akan mempengaruhi pola pikir, sikap, dan perilaku anak.
Sikap Nabi Muhammad kepada anak-anaknya juga merupakan puncak peradaban dan keadaban manusia, hal ini tercermin dari sikap kelembutannya, cinta, dan kasih sayangnya yang begitu besar kepada anak-anaknya.
Banyak kebiasaan sikap Nabi SAW saat bertemu anak-anaknya yang perlu diteladani. Nabi selalu tersenyum ramah dengan raut wajah ceria, mengucap salam, dan menyapa anak-anaknya dengan lembut. Bahkan dalam situasi paling kritis sekalipun, ia tidak sama sekali meninggalkan kebiasaan-kebiasaan ini.
Sikap Nabi yang demikian ini ditegaskan dalam sebuah hadis, Anas Ibn Malik berkata, “Belum pernah kulihat seseorang mencintai keluarganya melebihi Rasulullah SAW” (Shahih Muslim: 2361).
Tidak Memaksakan Kehendak dan Memberi Pilihan Pada Anak
Nabi tidak memaksakan pilihannya pada anak dan membiarkan mereka memutuskannya sendiri. Dikisahkan dalam kitab Fi Bayt Ar-Rasul, Nizar Abazhah menjelaskan pada saat ayah dan paman Zaid ibn Haritsah datang menjemputnya setelah sekian tahun terpisah.
Ketika mereka meminta kepada Nabi untuk membawa Zaid bersamanya, Nabi tidak langsung memutuskan, tetapi beliau menyampaikan pesan itu kepada Zaid dan membiarkannya untuk memilih apakah ingin tetap tinggal bersama Nabi atau pulang bersama keluarganya.
Nabi juga tidak memaksanya untuk memilih pilihan sesuai kehendaknya, ia membiarkan Zaid untuk memilih keputusannya sendiri.
Tidak Membeda-Bedakan Antara Anak dan Cucu-Cucunya
Dalam mendidik anak-anaknya, Nabi juga tidak membeda-bedakan satu sama lainnya, beliau tidak mengistimewakan dan tidak memperlakukan anak-anaknya secara khusus. Bahkan Rasulullah SAW mengingatkan seluruh keluarganya, terutama putra-putrinya agar tidak mengandalkannya.
Pada suatu hari, Nabi berkata pada Fatimah, “Sedikit pun tak ada yang bisa kubebaskan kau dari Allah.” Inilah cara Nabi mendidik anak-anaknya agar bisa bertanggungjawab atas dirinya sendiri.
Namun di sisi lain, Nabi Muhammad SAW juga selalu ada jika anaknya mengeluh sakit atau tertimpa musibah. Sebagaimana dikisahkan bahwa suatu hari putri beliau, Zainab, pernah mengutus seseorang untuk memanggil Nabi saat dirinya diambang kematian.
Nabi bangkit lalu bergegas menuju rumah Zainab disertai beberapa sahabat. Si anak diangkat lalu dibawa ke bilik beliau. Air mata Nabi berlinang-linang menahan rasa sedih dan kasihan kepada putrinya yang sedang mengalami kesakitan, ia pun menemani dan mendo’akannya hingga akhir nafasnya.
Nabi juga tidak pernah membeda-bedakan antara cucu dari anak kandungnya maupun dari anak angkatnya. Hal ini dicontohkan Nabi pada sikapnya terhadap Usamah, putra Zaid, anak angkat Nabi.
Suatu hari Nabi mengangkat Usamah lalu mendudukannya di atas paha beliau dan mendudukkan Hasan di atas paha beliau yang lain. Mereka berdua dipeluk seraya mendoakan keduanya, ‘Ya Allah, sayangilah keduanya, karena aku menyayangi keduanya’ (Sahih Muslim: 2315).
Rasulullah SAW juga menjadi teladan dalam memperlakukan anak tiri. Nabi benar-benar menjadi pengganti ayah mereka, begitupun anaknya juga merasa bangga telah bernasab kepada beliau.
Sebagaimana yang dirasakan oleh putri dari Siti Khadijah, Hindun ibn Abu Halah, ia bahkan tidak lagi menganggap Nabi sebagai ayah tiri. Banyak sifat Nabi yang dilukiskan Hindun dengan indah dan teliti sesuai dengan status beliau sebagai Nabi.
Mendidik Penuh Cinta dan Kasih Sayang
Nabi Muhammad SAW mendidik anak-anaknya dengan penuh cinta dan kasih sayang, begitu juga kepada para cucu-cucunya. Rasulullah SAW mencurahkan segala cinta dan kasih sayang yang sama kepada mereka.
Setiap berjumpa dengan cucu-cucunya, Nabi menunjukkan kegembiraan dan kerinduan. Disapanya mereka dengan lemah lembut, digendong, diajak bermain, dan diajak bicara hal-hal yang membuat mereka riang gembira, dan memberinya hadiah.
Nabi juga tidak pernah memarahi keduanya dengan keras. Bukan sekali dua kali, kedua cucunya Hasan dan Husein ini menunggangi Nabi ketika sedang bersujud. Suatu hari salah seorang dari keduanya datang kepada Nabi saat sedang shalat. Ia naik ke punggung atau ke lutut Nabi saat shalat. Nabi tidak menurunkannya sampai cucunya sendiri yang turun dari punggungnya.
Perilaku Nabi yang demikian berbeda jauh dengan tradisi bangsa Arab waktu itu yang kaku dan keras. Pemandangan dalam rumah tangga Nabi yang penuh dengan kehangatan, pendidikan, kelembutan, dan cinta kasih kepada anak dan cucunya berbeda sekali dengan suasana rumah tangga bangsa Arab yang hanya mengedepankan karisma.
Tegas dalam Urusan Agama
Walaupun Nabi Muhammad SAW tidak pernah berbuat kasar kepada anak dan cucunya, namun Nabi tetap tegas dalam urusan agama. Meskipun masih usia dini, anak dan cucunya sudah diajarkan tentang kesederhanaan, menjaga diri dari yang hak dan batil dalam ajaran agama Islam.
Nabi juga tidak menginginkan putra-putrinya hidup bersenang-senang sementara kaum muslim saat itu sengsara. Suatu hari ketika beliau masuk ke rumah Fatimah dan melihatnya mengenakan gelang emas, Nabi berkata padanya, “Wahai Fatimah, senangkah kau bila orang-orang mengatakan. ‘Lihat itu putri Nabi mengenakan gelang neraka?’” Beliau lantas keluar tanpa duduk, dan Fatimah segera melepas dan menjualnya untuk membeli budak untuk dimerdekakan.
Dikisahkan juga bahwa suatu hari Nabi sedang membagi-bagikan kurma sedekah, tiba-tiba Hasan mendekat lalu memungut sebutir kurma dan menyuapnya. Dengan cepat Nabi menahan Hasan dan mengambil kurma itu dari rahangnya.
Nabi berkata, “Apa kamu tidak tahu kita ini ahlulbait yang tidak halal makan sedekah” (Shahih Bukhari: 1414 dan Shahih Muslim: 1069).
Dan yang paling penting dan harus diteladani adalah bagaimana Nabi menjadi bapak yang baik untuk anak perempuannya. Nabi sebagai bapak memperhatikan pemenuhan kebutuhan emosional dan sensitifitas dari anak perempuannya. Salah satunya adalah dengan tidak mengizinkan anak perempuannya dimadu oleh suaminya.
Beliau lalu naik mimbar menyampaikan pidato, “Ada Bani Hasyim ibn al-Mughiroh minta izin padaku untuk mengawinkan Ali ibn Abi Thalib dengan putri mereka. Aku tidak mengizinkan, tidak mengizinkan, dan tidak akan pernah mengizinkan! Kecuali kalau Ali menceraikan putriku lalu menikah dengan putri mereka. Bagiku, Fatimah adalah belahanku. Apa yang tidak ia sukai, juga tidak kusukai. Apa yang menyakitkannya, juga menyakitkanku.” Oleh karena sikap tegas Nabi ini, tak pernah terlintas di benak Ali untuk berlaku buruk kepada Nabi dan putrinya.
Itulah parenting teladan Nabi dalam mendidik anak-anak dan cucu-cucunya. Ini menjadi penyadaran penting bagi semua pihak bahwa pola pengasuhan anak itu berlaku untuk kedua orang tuanya, bapak dan ibu, sebagaimana teladan Nabi sebagai bapak yang baik bagi semuanya. []