Mubadalah.id – Ramadhan melatih rasa empati dalam diri. Mengapa demikian? Ada beberapa hal yang melatarbelakanginya.
Saya kira Idulfitri memang bukanlah terminal atau tempat khusus untuk meminta maaf. Meminta maaf bisa dilakukan setiap saat, (terutama setelah berbuat kesalahan dan melakukan kekeliruan) dan termasuk pada bulan Ramadhan sekalipun bisa dilakukan. Kapan saja kita bisa melakukannya dan itu sangat baik. Tetapi ini adalah moment, spesial dan sangat baik, karena nuansa dan suasananya.
Melalui Bulan Ramadhan
Dalam Ramadhan, yang baru kita lalui, kita mengalami puasa (sepanjang hari menahan lapar dan dahaga, sampai tenggorokan terasa pahit, badan lemas, bibir kering; berupaya menjaga pandangan, tutur kata dan tingkah laku; tidak bercampur dengan pasangan; dan ada moment-moment tertentu seperti menunggu saat-saat berbuka, sahur dan imsak, yang khas) dengan segenap peribadatan yang menyertainya (dan pada akhir membayar zakat fitrah) selama kurang lebih sebulan.
Saya kira itu semua secara langsung mengajarkan kepada kita tentang kejujuran (minimal pada diri sendiri), tentang kesabaran yang dinamis, kontrol diri, agar tidak mudah terjebak dalam hawa nafsu dan keserakahan, menguatkan empati dan mempertajam kepekaan (yang mungkin sudah tumpul karena tekanan kehidupan yang berjalan beringinan dengan mimpi-mimpi menggiurkan yang berseliweran dihadapan kita, yang setiap saat ditawarkan kepada kita, di manapun kita berada, yang membuat kita, sengaja atau tidak, sadar atau tidak, telah mencederai dan melecehkan kemanusiaan; tidak hanya pada orang lain, terutama yang dilemahkan dan dipinggirkan, tetapi juga kepada diri sendiri).
Ramadhan melatih rasa empati dalam diri sebab sudah seharusnya setelah melalui proses puasa Ramadhan, membuat dada kita lebih lapang, membuat kita lebih bisa membuka diri untuk meminta maaf dan memberi maaf. Jika itu terjadi, jika kemampuan mengontrol diri dan kepekaan meningkat; jika kita mampu menekan egoisme dan nafsu-nafsu menyertainya; maka itu adalah keberuntungan atau kemenangan. Artinya kita beruntung menangkap hikmah Ramadhan, dan mendapatkan limpahan Rahmat Allah SWT.
Maka kita patutlah merayakannya. Saya kira itu makna ucapan “‘ij al na minal ‘aidin wal faidzin”, atau “ja ‘alanaa wa iyyakum minal ‘aidina wal faidzin”, atau disingkat “minal ‘aidin wal faidzin” (jadikanlah kami ya Allah, bagian dari orang-orang yang berlebaran atau yang merayakan Idulfitri dan meraih keberuntungan).
Puasa Melatih Rasa Empati
Saya kira kita menyebut Ramadhan sebagai bulan suci atau bulan mulia (Ramadhan karim) karena di dalamnya kita menemui sebuah suasana khas yang menempa kita dan itu mengembalikan kwalitas kita sebagai makhluk yang dipersiapkan sebagai khalifah di muka bumi yang diberi mandat untuk menegakkan relasi yang lebih adil dengan sesama manusia dan menjaga keseimbangan alam.
Saya kira hasilnya itu bisa kita lihat. Yakni, jika kita kemudian lebih ramah kepada diri sendiri dan keluarga, kepada pasangan, lebih ramah kepada tetangga, lebih ramah kepada sesama, tidak mudah curiga, tidak terburu menghakimi, lebih tenang (tidak mudah terprovokasi), lebih punya empati, lebih peka (terhadap nasib saudara-saudara kita, terutama yang tidak beruntung, terpinggirkan dan berada di lapis bawah), lebih peka dan perduli kepada serta aktif mengambil bagian dalam upaya menjaga keseimbangan alam, menjaga keseimbangan ekosistem bumi.
Karena baru saja keluar dari suatu suasana yang khas itu (yang tidak kita jumpai di luar Ramadhan), tempat khusus yang sarat makna dan penuh berkah itu, maka perkenan saya mengucapkan “Selamat merayakan Idul Fitri, minal ‘aidin wal faidzin, mohon maaf lahir batin”. “Taqaballahu minna wa minkum”. Semoga kita semua sehat dan berbahagia. Sudah semestinya puasa di bulan Ramadhan melatih rasa empati dalam diri.[]