• Login
  • Register
Selasa, 20 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Aktual

Mafhum Mubadalah (Interpretasi Resiprokal)

Faqih Abdul Kodir Faqih Abdul Kodir
03/06/2016
in Aktual
0
mafhum mubadalah

mafhum mubadalah

505
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Apa itu mafhum Mubadalah? Sebelum menjawab itu, saya kutipkan sedikit cerita yang seringkali menyebar di grup WA. Alkisah. Ada seorang anak perempuan SD Islam di Jakarta bertanya ke ayahnya seusai makan malam: “Pah, apa betul kalau papa masuk surga nanti akan ditemenin bidadari-bidadari?”. “Betul sayang. Kamu tahu darimana?”, ayahnya menimpali. Sang anak terdiam dan sambil terisak menjawab: “Tadi diterangkan guru agama”. Sang ayah heran, “Mengapa kamu menangis sayang?”. Sang anak makin sesenggukan dan berusaha menjawab: “Kasihan mama, siapa yang nemenin”.

Kutipan di atas, yang pernah tersebar dalam salah satu grup WA yang saya ikuti, meyiratkan dua hal; pemahaman agama yang seksis dan kegelisahan seorang anak perempuan. Tak pelak lagi, pemahaman keagamaan yang tersebar di masyarakat sampai saat ini masih diskriminatif terhadap perempuan. Surga, misalnya, lebih banyak dijelaskan sebagai wahana puncak kepuasan dan kenikmatan laki-laki. Tanpa penjelasan memadai mengenai kenikmatan bagi perempuan.

Tulisan ini mencoba mendiskusikan kegelisahan tersebut, dengan menawarkan “cara pandang kesalingan” terhadap isu-isu gender dalam Islam. Yaitu cara pandang yang meyakini bahwa antara dua entitas yang berelasi, seperti antara perempuan dan laki-laki, harus saling menghormati, bekerjasama, dan melengkapi satu sama lain. Cara pandang ini yang saya sebut sebagai “mafhum mubadalah” atau perspektif kesalingan.

Rujukan Teks-teks Dasar Mafhum Mubadalah

Perspektif kesalingan (mafhum mubadalah) ini mengakar pada ajaran dasar Islam yaitu tauhid. Sebagaimana dijelaskan Amina Wadud (1990 dan 2009), tauhid meniscayakan hubungan langsung antara perempuan dan Tuhannya. Persis seperti hubungan laki-laki dengan Tuhan. Karena hubungan vertikal langsung kepada Tuhan, maka relasi antara laki-laki dan perempuan bersifat horizontal dimana keduanya adalah setara. Tidak vertikal satu di atas yang lain di bawah. Pada gilirannya, penempatan laki-laki sebagai superior atas perempuan, biasa disebut patriarkhi, adalah tindakan yang menyalahi tauhid. Atau biasa disebut sebagai syirik. Menyekutukan Tuhan. Dan Dosa besar.

Sesungguhnya, patriarkhi merupakan pemusatan eksistensi, pola berpikir, mengetahui, dan bertindak pada satu poros semata, laki-laki. Kondisi sebaliknya juga menyalahi ajaran tauhid. Yaitu, jika pemusatan terjadi pada eksistensi perempuan dengan menafikan laki-laki. Untuk itu, masih menurut Wadud, perubahan sosial dalam perspektif tauhid adalah dari patriarkhi ke resiprositi, dominasi ke persekutuan, hegemoni ke kesalingan, dan dari kompetisi ke kerjasama.

Baca Juga:

Membaca Ulang Ayat Nusyuz dalam Perspektif Mubadalah

Perempuan Fitnah Laki-laki? Menimbang Ulang dalam Perspektif Mubadalah

Doa, Mubadalah, dan Spirit Penguatan Perempuan: Catatan Reflektif dari Kuala Lumpur

Semua Adalah Buruh dan Hamba: Refleksi Hari Buruh dalam Perspektif Mubadalah

Di samping Tauhid, perspektif kesalingan juga berangkat dari teks-teks dasar dalam Islam, al-Qur’an dan Hadits. Di samping perintah tolong menolong dalam hal kebaikan dan kebenaran (QS. Al-Maidah, 5: 2), perspektif ini digambarkan al-Qur’an dalam banyak ayat yang lain. Yang paling tegas adalah ungkapan bahwa laki-laki dan perempuan adalah “ba’dhuhum awliya ba’dhin/menjadi penolong satu sama lain” (at-Taubah, 9: 71). Sebuah pernyataan yang tegas dan jelas mengenai kesalingan.

وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

“Orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, adalah saling menolong, satu kepada yang lain; dalam menyuruh kebaikan, melarang kejahatan, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, dan mentaati Allah dan rasul-Nya. Mereka akan dirahmati Allah. Sesungguhnya Allah Maha Kuat dan Maha Bijaksana”. (QS. at-Taubah, 9: 71).

Sementara dalam relasi suami istri, misalnya, al-Qur’an juga menggambarkannya dengan “hunna libasun lakum wa antum libasun lahunn/yang satu adalah pakaian bagi yang lain” (al-Baqarah, 2: 87), menawarkan dasar relasi “mu’asyarah bil ma’ruf/saling berbuat baik satu sama lain” (an-Nisa, 4: 19), mengenalkan sikap “taradhin/saling rela kepada yang lain” (al-Baqarah, 2: 232), dan perilaku “tashawurin/saling memberi pendapat kepada yang lain” (al-Baqarah, 2: 233).

Dalam Hadits, banyak sekali teks-teks yang memberi inspirasi sangat kuat mengenai prinsip dan nilai kesalingan sesama manusia. Teks-teks ini, bertebaran di berbagai kitab rujukan Hadits, secara tersurat mengajarkan nilai-nilai saling mencintai, saling menolong, saling menutup aib, saling mendatangkan kebaikan, dan larangan memprakarsai tindakan kejahatan dan hal-hal buruk. Satu sama lain.

Di antara beberapa teks hadis yang menegaskan perspektif kesalingan adalah riwayat berikut ini:

عَنْ أَنَسٍ عَنِ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ لا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ، وفي رواية مسلم زيادة: أَوْ قَالَ لِجَارِهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ، وفي رواية النسائي زيادة: مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ مِنَ الْخَيْرِ، وأما رواية أحمد:  لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِلنَّاسِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ. رواه البخاري، رقم: 13 ومسلم، رقم: 179 والترمذي، رقم: 2705، والنسائي، رقم:5034 وابن ماجه، رقم: 69، وأحمد، رقم: 14083

Dirwayatkan dari Anas ra, dari Nabi Saw, bersabda: “Tidaklah beriman seseorang di antara kamu sehingga mencintai untuk saudaranya apa yang dicintai untuk dirinya”. Dalam riwayat Muslim ada tambahan: “atau untuk tetangganya apa yang dicintai untuk dirinya”. Dalam riwayat al-Nasai ada tambahan: “apa yang dicintai untuk dirinya dari hal-hal yang baik”. Sementara dalam riwayat Ahmad, redaksinya: “Tidaklah beriman seseorang di antara kamu kecuali mencintai untuk orang lain apa yang dicintai untuk dirinya”. (Sahih Bukhari no. 13, Muslim no. 179, al-Turmudhi no. 2705, al-Nasai no. 5034, Ibn Majah no. 69, dan Ahmad no. 14083).

Interpretasi Resiprokal

Sementara ini, sebagaimana pada kasus surga di atas, teks-teks agama menjadikan laki-laki sebagai lawan bicaranya dan perempuan sebagai pelengkap semata. Metode baca literal atas teks-teks ini kemudian melahirkan berbagai tafsiran Islam yang bersifat seksis, timpang, dan melestarikan kekerasan terhadap perempuan. Tafsir ini berpotensi melahirkan kebudayaan dominatif, hegemonik, dan pada akhirnya juga destruktif. Sesuatu yang menyalahi tauhid dan prinsip-prinsip kesalingan al-Qur’an dan Hadis.

Sebagai gantinya, metode mubadalah menawarkan cara baca teks yang bisa memunculkan makna yang resiprokal dari teks-tersebut. Makna yang aplikatif untuk kedua jenis kelamin dengan menyerap pesan umum teks. Jika metode ini digunakan, teks-teks yang selama ini dipahami secara stereotipikal dan diskriminatif bisa dimaknai kembali secara resiprokal. Tanpa perlu mendiskreditkan teks-teks tersebut.

Teks yang selama ini digunakan untuk menegaskan citra perempuan sebagai penggoda atau “fitnah” (Hadits Bukhari no. 5152), misalnya, bisa dimaknai juga sebagai penegasan adanya “fitnah laki-laki”. Jika makna pertama (yaitu fitnah perempuan) adalah literal, dimana teks diungkapkan kepada laki-laki, maka makna kedua (yaitu fitnah laki-laki) adalah resiprokal ketika teks tersebut dinyatakan di hadapan para perempuan.

Dalam mafhum mubadalah ini, perempuan memiliki potensi “fitnah” kepada laki-laki. Sebagaimana laki-laki memilikinya kepada perempuan. Substansi dari teks tersebut, sesungguhnya, agar setiap orang penuh waspada dari kemungkinan jeratan pesona orang lain. Laki-laki dari perempuan dan perempuan dari laki-laki. Pada saat yang sama, setiap orang juga dianjurkan untuk tidak menebar pesona fitnahnya yang bisa saja menjerumuskan orang lain pada kenistaan. Siapapun. Baik laki-laki maupun perempuan. Kesalingan “fitnah” ini, sesungguhnya sudah direkam al-Qur’an dalam Surat an-Nur, ayat 30-31.

Dengan demikian menempatkan perempuan semata sebagai penggoda, lalu mengontrolnya dan melarangnya dari berbagai aktivitas, adalah tindakan yang zalim, destruktif, hegemonik, dan karena itu haram. Sebab, laki-lakipun tidak dikontrol dengan alasan ia menggoda atau menebar pesona kepada perempuan.

Sama halnya dengan teks yang menggambarkan “istri salihah”. Yaitu yang berbakti, menyenangkan dan melayani suami, serta menjaga diri untuk kepenting suami (Hadits Abu Dawud, no. 1666). Ia juga bisa dimaknai secara mubadalah. Yaitu menegaskan juga konsep “suami salih”, yang berbakti, menyenangkan dan melayani istri, serta menjaga diri. Jika yang pertama adalah makna literal dari teks, yang kedua adalah interpretasi resiprokal. Karena substansi teks sesungguhnya adalah bahwa berbuat baik, menyenangkan, melayani, dan menjaga diri merupakan tindakan yang baik dan terpuji (salih).

Pada kasus yang disebut di awal, penjelasan mengenai surga juga seharusnya yang bisa memenuhi imajinasi kenikmatan bagi perempuan. Sebagai konsekueansi resiprokal dari pengakuan agama terhadap eksistensi perempuan yang beriman dan beramal salih. Balasan surga tidak semestinya hanya khas laki-laki semata. Seperti selama ini terjadi. Atau bisa juga untuk imajinasi bersama suatu pasangan. Atau imajinasi bersama sebuah keluarga. Ini mengacu pada teks Hadits bahwa kenikmatan surga itu sama sekali tak terperikan. “Tak pernah dilihat mata, didengar telinga, pun tak terlintas imajinasi manusia (ma la ainun raat, wa la udzunun sami’at, wa la khatara fi qalbi basyar)”, kata Nabi Saw (Bukhari no. 3720 dan Muslim no. 7310).

Berikutnya, di samping sebagai perspektif (mafhum) dan metode baca teks (qira’ah), mubadalah juga bisa dikembangkan sebagai simpul ajaran dan hukum terkait isu-isu relasi laki-laki dan perempuan. Tepatnya sebagai kaidah fiqh (qa’idah). Yaitu, mā yashluḥu li-aḥad al-jinsayn yujlabu li kilayhimā wa mā yadhurru bi aḥadihimā yudra’u min kilayhimā. Artinya, “apa yang maslahat (baik) bagi salah satu jenis kelamin harus didatangkan untuk keduanya dan apa yang mudarat (buruk) bagi salah satunya juga harus dijauhkan dari keduanya”

ما يَصلح لأحد الجنسين يُجْلب لكليهما وما يَضر بأحدهما يُدرأ عن كليهما

Tentu saja kaidah ini masih perlu penelitian lebih lanjut. Tetapi setidaknya, melalui simpul kaidah mubadalah ini, rumusan ajaran Islam, terutama fiqh, bisa dijelaskan kembali dengan menempatkan laki-laki dan perempuan sebagai penerima manfaat yang sama. Tanpa hegemoni dan diskualifikasi. Hal yang sama juga semua produk hukum negara, baik untuk isu-isu gender di ruang domestik maupun publik, harusnya juga diupayakan untuk sesuatu yang memberikan maslahat yang sama kepada laki-laki dan perempuan. Tanpa marjinalisasi dan diskriminasi. Semoga. Wallahu a’lam bi ash-shawab.

Tags: mafhum mubadalahMubadalah
Faqih Abdul Kodir

Faqih Abdul Kodir

Founder Mubadalah.id dan Ketua LP2M UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon

Terkait Posts

Kebangkitan Ulama Perempuan

Rieke Diah Pitaloka Soroti Krisis Bangsa dan Serukan Kebangkitan Ulama Perempuan dari Cirebon

19 Mei 2025
Rieke Kebangkitan Ulama Perempuan

Rieke Diah Pitaloka: Bulan Mei Tonggak Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

19 Mei 2025
Mendokumentasikan Peran Ulama Perempuan

KUPI Dorong Masyarakat Dokumentasikan dan Narasikan Peran Ulama Perempuan di Akar Rumput

19 Mei 2025
Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

Alasan KUPI Jadikan Mei sebagai Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

19 Mei 2025
Mei sebagai Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan

KUPI Resmi Deklarasikan Mei sebagai Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

18 Mei 2025
Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia: Bersama Ulama dan Guru Perempuan, Bangkitlah Bangsa!

16 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Kebangkitan Ulama Perempuan

    Rieke Diah Pitaloka Soroti Krisis Bangsa dan Serukan Kebangkitan Ulama Perempuan dari Cirebon

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • KB dalam Pandangan Islam

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengenal Jejak Aeshnina Azzahra Aqila Seorang Aktivis Lingkungan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Peran Aisyiyah dalam Memperjuangkan Kesetaraan dan Kemanusiaan Perempuan
  • KB dalam Pandangan Riffat Hassan
  • Ironi Peluang Kerja bagi Penyandang Disabilitas: Kesenjangan Menjadi Tantangan Bersama
  • KB Menurut Pandangan Fazlur Rahman
  • Saya Bangga Punya Ulama Perempuan!

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version