Mubadalah.id – Salah satu kasus yang terjadi di tahun 2021 lalu tepatnya di daerah Kabupaten Kutai Kartangera, Kalimantan Timur. Adapun kasusnya adalah seorang anak yang masih berumur 13 tahun menjadi korban kekerasan seksual dengan pelaku ayah tiri.
Perbuatan keji ini telah berlangsung selama 7 tahun namun ibu kandung baru mengetahui korban setelah korban tengah mengandung 5 bulan. Mirisnya, demi menutupi aib keluarga, korban terpaksa menikah dengan pelaku, yakni ayah tirinya sendiri.
Mendengar kejadian ini, Tim Reaksi Cepat PPA Provinsi Kalimantan Timur segera melakukan komunikasi dengan korban, Ibu kandung korban, keluarga korban hingga tokoh masyarakat setempat, dan akhirnya ada kesepakatan membawa kasus ini ke ranah hukum.
Menurut Rina Zainun ketua TRC PPA Kalimantan Timur, kasus ini adalah sebuah kejahatan yang harus terlaporkan dan pelaku harus mendapat hukum yang setimpal. Rina menyayangkan kasus seperti ini terus terjadi, baik pemerkosaan oleh oknum Ayah Tiri, Ayah Kandung hingga tindak pelecehan seksual di dalam rumah tangga.
Hingga saat ini, korban kekerasan telah melahirkan anak. Kekerasan seksual menimbulkan banyak kerugian, seperti kerugian ekonomi dan sosial, serta berdampak pada penderitaan fisik dan psikologis. Korban kekerasan juga mengalami kehamilan yang tidak ia inginkan.
Menikahkan Korban Kekerasan dengan Pelaku Bukanlah Solusi
Dengan berbagai resiko yang akan ia terima, korban kekerasan hanya memerlukan penanganan, perlindungan, dan pemulihan yang intensif. Namun ketika menikahkan korban dengan pelaku justru merampas hak korban dalam pemulihan baik secara fisik maupun psikisnya. Karena ada kemungkinan kejadian yang membuatnya trauma akan kembali terulang.
Akan tetapi, faktanya beberapa kasus kekerasan seksual di Indonesia, korban banyak mengalami pernikahan paksa dengan pelaku. Dalih di antaranya adalah untuk menutup aib keluarga, agar anak yang terlahir memiliki ayah, hingga menghindari tanggung jawab pidana bagi pelaku.
Berdasarkan data studi Barometer Kesetaraan Gender Tahun 2020 dari Indonesian Judicial Research Society (IJRS) yang berbicara dengan 1.586 responden yang terlibat kasus kekerasan seksual, terdapat sebanyak 26,2 persen korban kekerasan seksual tersebut justru menikah dengan pelaku sebagai penyelesaian kasus. Sisanya bahkan tidak mendapatkan penyelesaian masalah dan pelaku menukarnya dengan membayar sejumlah uang.
Pendekatan Restorative Justice
Sebagaimana dalam pernyataan ICJR dan MAPPI FH UI memandang bahwa menikahkan korban dengan pelaku tidak akan menyelesaikan pemulihan bagi korban. Untuk hal itu ICJR dan MAPPI FH UI merekomendasikan yang seharusnya penegak hukum upayakan, yakni melalui pendekatan restorative justice.
Restorative justice yakni pendekatan yang memperhatikan kepentingan korban. Bahwa dalam prosesnya harus memperhatikan kepentingan pemulihan korban. Yakni dengan mengutamakan hak-hak korban terlebih dahulu untuk memastikan ia juga memiliki peran dalam menyelesaikan perkaranya.
Selayaknya korban juga mendapatkan hak untuk menyuarakan kerugian yang ia alami, dan menyuarakan hukuman yang setimpal bagi pelaku, yakni dengan memperhatikan kondisinya fisik maupun psikisnya..
UU TPKS Melarang Korban Kekerasan Seksual Menikah dengan Pelaku
Namun dengan pengesahan UU TPKS pada tanggal 12 April lalu, menjadi kabar bahagia untuk kita semua. Pasalnya UU ini berpihak pada hak-hak korban yang selama ini terabaikan. Dalam UU ini, mengatur ketentuan tentang jerat pidana bagi pelaku pemaksaan perkawinan, termasuk salah satunya ialah pemaksaan perkawinan antara korban dan pelaku pemerkosaan.
Dimana dalam ketentuan pidana bagi pelaku pemaksaan perkawinan ini, termaktub dalam Pasal 10 ayat (1) dan (2) UU TPKS yang berbunyi sebagai berikut:
- Setiap orang yang secara melawan hukum memaksa, menempatkan seseorang di bawah kekuasaannya atau orang lain. Atau menyalahgunakan kekuasaannya untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perkawinan dengannya, atau dengan orang lain, dipidana karena pemaksaan perkawinan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp 200.000.000,-.
(2) Termasuk pemaksaan perkawinan sebagaimana yang dimakud ayat (1) yakni:
- Perkawinan anak,
- Pemaksaan perkawinan dengan mengatasnamakan praktik budaya, atau;
- Pemaksaan perkawinan korban dengan pelaku pemerkosaan.
Oleh karena itu, melalui UU TPKS ini kita bisa meluruskan aparat penegak hukum. Agar mereka tetap memperhatikan hak-hak korban, yakni dengan tidak menikahkannya dengan pelaku. Sebagaimana kita tahu, bahwa UU TPKS ini adalah UU yang baru disahkan, sehingga belum banyak yang mengetahui esensinya.
Maka, kita sebagai pejuang perlindungan hak-hak korban kekerasan seksual, bisa terus mensosialisasikan dan mengkampanyekan. Yakni sosialisasi tentang pelarangan pemaksaan perkawinan antara korban dengan pelaku kekerasan seksual. []