Mubadalah.Id- Berikut urusan seks seharusnya dinikmati suami istri. Saat ini media sosial tengah ramai memperbincangan joke-joke yang menjadikan marital rape (perkosaan dalam pernikahan) sebagai bahan candaan. Seperti dalam poster yang dibawa oleh ibu-ibu pada aksi penolakan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan (RUU-PKS) dan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Kira-kira begini isi posternya “saya ikhlas diperkosa suami saya kapan pun suami saya minta, jujur enak !!! dapat pahala lagi”.
Tentu saja saya kaget sekaligus gereget membaca isi poster tersebut. Bagaimana tidak, kasus marital rape ini banyak sekali terjadi pada perempuan di Indonesia. Seperti dalam catatan tahunan Komnas Perempuan menyebutkan bahwa, sepanjang tahun 2018 ada sekitar 195 kasus perkosaan dalam perkawinan yang dilakukan oleh suami kepada istrinya. Dan kasus-kasus tersebut jelas mendatangkan mafsadat bagi korban.
Belum lama ini, pada bulan Juli 2019, kasus Anton Nuryanto, seorang suami warga Sunter Agung, Jakarta, membunuh istrinya sendiri, gara-gara ia menolak untuk berhubungan intim. Bahkan ia melakukannya di depan anaknya sendiri.
Atau masih dibulan yang sama, kasus Aminah, seorang perempuan di Sukabumi, Jawa Barat, membunuh suaminya saat tidur. Ia depresi gara-gara kerap kali dipaksa oleh suaminya untuk berhubungan intim. Padahal, Ia baru saja melahirkan anaknya. Hingga akhirnya, hal ini membuat Aminah kesal dan berujung dengan membunuh sang suami.
Disamping itu semua, saya yakin masih banyak kasus marital rape yang tidak dilaporkan, karena masih dianggap tabu dan mustahil terjadi. Karena masyarakat umum masih menganggap bahwa perkosaan dalam pernikahan itu sebuah mitos.
Selain itu, narasi-narasi keagamaan yang berkembang selama ini juga menimbulkan relasi yang timpang. Misalnya, salah satu kewajiban istri terhadap suami ialah melayani kebutuhan seksualnya, dan tidak boleh menolak dengan alasan apapun. Padahal urusan seks seharusnya dinikmati oleh pasangan suami dan istri dengan saling memperhatikan kebutuhan dan kondisi tubuh satu sama lain.
Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam al-Qur’an surat al-Baqarah [2]:187 bahwa relasi antara suami dan istri dalam masalah seks mengandung prinsip kesalingan (mubadalah); suami adalah pakaian istri dan istri adalah pakaian suami (hunna libaasun lakum wa antum libaasun lahum).
KH. Husein Muhammad dalam buku Fiqh Perempuan juga menjelaskan bahwa perkawinan itu jalinan hubungan kasih sayang, cinta dan tanggung jawab suami dan istri. Maka keduanya harus dibangun secara bersama-sama dengan cara-cara yang baik, bukan dengan penindasan, kebencian dan kekerasan.
Wujudkan Perkawinan yang Kokoh
Di dalam ajaran agama Islam, baik suami maupun istri, keduanya dituntut untuk menjaga pernikahan agar tetap kokoh, sehat dan harmonis. Dimana hal itu bisa dilakukan dengan menjalankan empat pilar sebagai berikut;
Pertama, pasangan suami-istri harus menyadari dan memahami bahwa hubungan perkawinan adalah perjanjian yang kokoh (mitsaaqan ghalidha), kedua, perkawinan perlu dibangun dengan sikap dan hubungan yang baik (mua’asyarah bil ma’ruf).
Ketiga, perkawinan adalah saling berpasangan (zawaj), dan terkahir, perkawinan dikelola dengan prinsip musyawarah.
Dengan empat pilar inilah, hubungan yang kokoh antara pasangan suami dan istri bisa terbangun, dan tentu saja bisa mewujudkan visi dan misi kehidupan perkawinan yang sakinah, mawaddah, wa rahmah.
Sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an surat ar-Rum ayat 21 bahwa tujuan perkawinan adalah mewujudkan ketenteraman jiwa (sakinah) yang hanya bisa diperoleh melalui relasi atas dasar cinta kasih sayang.
Sehingga ketika suami maupun istri saling memperlakukan satu sama lain dengan cara yang baik, saya yakin tujuan mulia pernikahan yaitu kebahagiaan hakiki itu bisa dirasakan sepenuhnya oleh keduanya.
Islam Menolak Kekerasan
Islam secara tegas mengajarkan untuk selalu memberikan penghormatan kepada seluruh manusia. Islam sangat melarang untuk berbuat kezaliman kepada siapa pun, termasuk pada perempuan.
Jadi, ketika terjadi suatu tindakan yang melukai dan menyakiti istri sama halnya ia telah melukai prinsip kemanusiaan yang telah diajarkan oleh Islam. Karena dalam prinsipnya Islam mendorong umatnya untuk tidak melukai diri sendiri, dan diri manusia yang lain.
Seperti yang terdapat dalam hadis Nabi saw “Tidak boleh mencederai diri sendiri maupun mencederai orang lain” (Muwatha’ Malik).
Dengan begitu, segala bentuk kekerasan dengan alasan apapun tidak bisa dibenarkan, dan siapapun yang merasa akan didzalimi berhak untuk menolaknya, termasuk menolak ajakan suami untuk berhubungan seksual dengan cara yang brutal atau kasar, karena dapat melukai organ tubuh istrinya.
Oleh karena itu, al-Qur’an memiliki konsep-konsep kunci yang seharusnya bisa menjadi pondasi spritual dan etis bagi hubungan pasangan suami istri. Seperti konsep saling ridho, baik (ma’ruf), berusaha menciptakan kondisi yang lebih baik (ihsan), tulus (nihlah), saling memberi kenyamanan, kemuliaan (fadl), kebahagiaan (sakinah), cinta (mawaddah), dan kasih sayang (rahmah).
Dengan demikian, diharapkan baik suami dan istri kehidupanya penuh dengan kasih sayang dan cinta, saling mengasihi, tidak saling menyakiti dan masing-masing tidak saling mengabaikan hak serta kewajiban termasuk dalam relasi seksual.
Demikian penjelasan terkait urusan seks seharusnya dinikmati suami istri, bukan justru saling menimbulkan kesakitan di antara keduanya. []