Mubadalah.id – Salah satu dewan penasehat ulama perempuan (KUPI), Buya Husein Muhammad menjelaskan bahwa dengan begitu perintah berjihad terhadap orang-orang kafir itu tidak dilakukan dengan menghunus pedang.
Akan tetapi, lanjut Buya Husein, mengajak mereka dengan sungguh-sungguh agar memahami pesan-pesan yang terungkap atau terkandung di dalam al-Qur’an.
Buya Husein mengutip pendapat, Jamal al Din al Qasimi, ketika menafsirkan ayat ini, mengatakan :
“Hadapi mereka dengan argumen-argumen rasional, bukti-bukti dan ajak mereka memikirkan tanda-tanda kebesaran Allah serta kepada kebenaran dengan sungguh-sungguh”. (al-Qasimi, Mahasin al Ta’wil, XII/267).
Dihubungkan dengan QS. an-Nahl ayat 125, tentang dakwah (ajakan kepada Islam), maka, jihad diperintahkan dengan cara-cara hikmah (ilmu pengetahuan, pemikiran filosofis), tuturkata, nasehat, orasi yang baik dan santun serta melalui diskusi atau debat.
Sepanjang sejarah kehidupan Nabi di Makkah, Nabi Saw tidak pernah melakukan perang terhadap orang-orang kafir dan kaum musyrik, meski ayat ini secara eksplisit menyebutkannya.
Terhadap tekanan-tekanan mereka terhadap Nabi saw dan kaum muslimin, beliau justeru mengatakan :
اِصْبِرُوا فَاِنِّى لَمْ أُومَرْ بِالْقِتَالِ
Artinya : “Bersabarlah kalian, karena aku tidak memerintahkah kalian untuk berperang”.
Pada QS. Luqman ayat 15, terdapat juga kata jihad dengan arti bukan perang militeristik (dengan kekuatan senjata atau pedang) ;
وَاِنْ جَاهَدَاكَ عَلَى اَنْ تُشْرِك بِى مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا. وَصَاحِبْهُمَا فِى الدُّنْيَا مَعْرُوفاً
Artinya : “Dan jika keduanya berjihad terhadapmu agar mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentangnya, maka janganlah kamu mengikuti keduanya dan pergaulilah mereka di dunia dengan ‘ma’ruf’ (kebaikan sesuai tradisi)”. (Rul)