Mubadalah.id – Pisuke, sebagaimana yang telah saya uraikan dalam tulisan yang lalu dengan judul “Keharusan Memberi ‘Pisuke’ kepada Keluarga Istri”, adalah istilah untuk sejumlah uang atau harta benda lainnya yang diberikan kepada keluarga mempelai wanita/istri oleh pihak mempelai pria/suami sebelum akad nikah.
Terkadang, pihak keluarga mempelai wanita meminta pisuke tersebut setelah acara akad nikah selesai. Tetapi kadang juga dijadikan sebagai syarat mendapatkan izin wali untuk dinikahkan, dengan kata lain tidak ada akad nikah tanpa pisuke terlebih dahulu.
Persoalan lebih besar, saat pisuke ini tidak ramah kantong. Naik tanpa batas maksimal dan seolah tanpa kasih sayang. Butuh waktu dua sampai tiga minggu, bahkan sampai berbulan-bulan untuk menemukan kata sepakat antara keluarga mempelai pria dan Wanita.
Bagaimana tidak, pihak laki-laki hanya mengantongi 10 juta yang akan ia serahkan sebagai pisuke, sedang pihak wali mempelai wanita meminta 50 bahkan sampai 100 juta. Tak jarang juga yang meminta pisuke dalam bentuk benda seperti beberapa are tanah, misalnya.
Pandangan Hukum terkait Pisuke
Lalu, bagaimanakah pandangan hukum ihwal pisuke yang berposisi sebagai syarat keberlangsungan akad nikah? Sejauh membaca fikih nikah, tidak pernah menemukan pisuke atau yang semacamnya menjadi salah satu syarat yang harus kita penuhi sebelum nikah berlangsung.
Maka tak ragu lagi bahwa pisuke merupakan kreasi budaya murni. Karenanya, penting kita pahami lebih dalam apakah kehadiran pisuke ini bertentangan dengan syariat atau tidak. Mengingat penilaian kacamata hukum terhadap adat dan budaya suatu masyarakat, harus melalui pintu kategorisasi ini; apakah muafiq(un) li as-syari’ah atau justru mukhalif(un) laha.
Kasus yang kita hadapi saat ini adalah pisuke yang menjadi syarat keberlangsungan akad nikah. Padahal, budaya ini tidak memiliki nasab apapun dengan syariat nikah. Dalam hal ini, budaya dinilai sebagai penghalang syariat. Saat Allah memberi kemudahan kepada sekalian hambanya dalam menjalankan syariat-Nya, sunah baginda Nabi Muhammad, budaya malah hadir untuk mempersulit.
Bayangkan, pernikahan bisa tertunda selama berminggu-minggu, tak sedikit yang sampai berbulan-bulan. Parahnya lagi, banyak yang sampai hamil di luar nikah gara-gara urusan pisuke yang tidak kunjung usai ini.
Status Wali Nikah dan Budaya Pisuke
Pertanyaan selanjutnya, bagaimanakah status wali nikah yang enggan menikahkan anaknya karena budaya pisuke yang ribet dan memberatkan ini? Selama ini, saya mencoba menelusuri pelbagai konsekuensi hukum terbaik, konsekuensi hukum yang tidak membuat masyarakat Sasak jantungan mendengarnya.
Sayang, penelusuran itu sia-sia. Sepertinya Islam tidak sudi memberi hukum yang ringan untuk budaya yang kejam. Setiap kali penelusuran, selalu arahnya pada kajian wali ‘adhal. Wali yang enggan menikahkan putrinya. Pasalnya, akad nikad nikah tersebut tergantung pada sesuatu yang tak terkait apapun dengan akad, bahkan untuk kemaslahatannya. Yang ada, justru dapat merusak misi syariat.
Dalam al-Fiqh al-Manhaji ‘ala Madzhabil Imam as-Syafi’i (juz 4, hal. 68)-buah karya tiga ulama besar kontemporer Mazhab Syafi’i; Musthofa al-Khin, Ali as-Syarbaji dan Mushthofa al-Bugha-dikatakan;
العضل: منع المرأة من الزواج. فإذا طلبت امرأة بالغة عاقلة الزواج من كفء، وجب علي وليِّها أن يزوجها، فإذا امتنع الولي- ولو أباـ من تزويجها، زوّجها السلطان، لأن تزويجها حق على أوليائها إذا طلبها الكفؤ، فإذا امتنعوا من وفائه لها، وفّاه الحاكم
“’Adhal adalah sikap enggan menikahkan perempuan. Jadi, jika seorang perempuan balig lagi berakal sehat meminta agar dinikahkan dengan seorang yang sekufu, walinya wajib menikahkan perempuan tersebut. Jika enggan, kendati ia adalah ayah kandungnya sendiri, maka hakim lah yang turun tangan menikahkannya. Karena menikahkan mauliyah (perempuan yang menjadi tanggung jawabnya) dengan laki-laki sekufu yang ia cintai, adalah hak para wali. Tetapi jika mereka enggan, maka hak tersebut berpindah kepada hakim.”
Statement Syekh Zakaria al Anshari
Referensi di atas mungkin tampak kurang mengenai sasaran kasus yang kita hadapi. Jangan khawatir, itu hanya konsep umum wali ‘adhal. Bagaimana dengan statemant Syekh Zakaria al-Anshari dalam Asnal Mathalib fi Syarhi Raudh at-Thalib (juz 3, hal. 129) berikut ini;
(وَلَهُ الِامْتِنَاعُ) مِنْ التَّزْوِيجِ (لِعَدَمِ الْكَفَاءَةِ) فَلَا يَكُونُ امْتِنَاعُهُ مِنْهُ عَضْلًا؛ لِأَنَّ لَهُ حَقًّا فِي الْكَفَاءَةِ وَيُؤْخَذُ مِنْ التَّعْلِيلِ أَنَّهَا لَوْ دَعَتْهُ إلَى عِنِّينٍ أَوْ مَجْبُوبٍ بِالْبَاءِ فَامْتَنَعَ كَانَ عَاضِلًا، وَهُوَ كَذَلِكَ إذْ لَا حَقَّ لَهُ فِي التَّمَتُّعِ وَاعْتَبَرَ الْقَفَّالُ مَعَ الْكَفَاءَةِ أَنْ يَتَبَيَّنَ مَوْضِعَ الصَّلَاحِ لِلْمَرْأَةِ فِي مُنَاكَحَتِهِ وَاسْتَحْسَنَهُ الزَّرْكَشِيُّ، وَلَوْ دَعَتْ إلَى رَجُلٍ وَادَّعَتْ كَفَاءَتَهُ وَقَالَ الْوَلِيُّ لَيْسَ بِكُفْءٍ رُفِعَ إلَى الْقَاضِي فَإِنْ ثَبَتَتْ كَفَاءَتُهُ لَزِمَهُ تَزْوِيجُهَا مِنْهُ فَإِنْ امْتَنَعَ زَوَّجَهَا الْقَاضِي مِنْهُ (لَا لِنُقْصَانِ الْمَهْرِ) أَوْ لِكَوْنِهِ مِنْ غَيْرِ نَقْدِ الْبَلَدِ فَلَيْسَ لَهُ الِامْتِنَاعُ مِنْ تَزْوِيجِهَا لِأَجْلِهِ؛ لِأَنَّ الْمَهْرَ مَحْضُ حَقِّهَا
“Seorang wali nikah berhak menolak menikahkan putrinya karena pasangan yang tidak sekufu, dan penolakan itu tidak tergolong ‘adhal. Karena sejatinya, ia memiliki hak dalam urusan kafaah. Berbeda lagi jika mempelai perempuannya memang mencari laki-laki impoten atau yang terpotong kemaluannya. Maka penolakan sang wali dianggap ‘adhal. Sebab prihal seksual itu bukan urusan wali. Lalu, bagaimana jika mempelai perempuan mengklaim sekufu, sedang si wali mengklaim sebaliknya. Maka penyelesaian masalahnya harus di hadapan hakim. Jika diputuskan sekufu, harus dinikahkan, jika tidak maka boleh si wali boleh menolak. (Penting dicatat, dan inilah inti pembahasan kita) bahwa maskawin yang kurang dari ketentuan atau dari mata uang negara asing, bukan alasan yang pantas untuk menolak menikahkan mempelai perempuan. Karena maskawin adalah hak murni anak perempuan tersebut.”
Kita fokus pada paragraf terakhir, bahwa maskawin yang kurang dari ketentuan atau menggunakan mata uang negara asing, bukan alasan yang dapat kita perhitungkan (al-mu’tabar) sehingga seorang wali boleh menolak menikahkan putrinya. Dari sini saja, kita langsung paham-menggunakan pendekatan analogi hukum (al-ilhaq)-bahwa wali yang enggan menikahkan mauliyah-nya gara-gara pisuke, termasuk wali ‘adhal. Sehingga hak kewaliannya secara otomatis berpindah kepada hakim.
Jangankan karena pisuke, enggan menikahkan karena mahar yang kurang saja termasuk wali ‘adhal. Padahal mahar termasuk bagian dalam akad nikah. Apalagi karena budaya pisuke yang tidak memiliki pertalian apapun dengan akad nikah. Lebih-lebih ketika kehadiran pisuke mengacaukan syariat pernikahan. Semoga bermanfaat, wallau a’lam bisshawab. []