• Login
  • Register
Minggu, 2 April 2023
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Keluarga

Mensyaratkan Pisuke sebelum Akad Nikah Bisa Hilangkan Hak Perwalian

Kasus yang kita hadapi saat ini adalah pisuke yang menjadi syarat keberlangsungan akad nikah. Padahal, budaya ini tidak memiliki nasab apapun dengan syariat nikah

Ahmad Dirgahayu Hidayat Ahmad Dirgahayu Hidayat
10/08/2022
in Keluarga, Rekomendasi
0
Akad Nikah

Akad Nikah

330
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Pisuke, sebagaimana yang telah saya uraikan dalam tulisan yang lalu dengan judul “Keharusan Memberi ‘Pisuke’ kepada Keluarga Istri”, adalah istilah untuk sejumlah uang atau harta benda lainnya yang diberikan kepada keluarga mempelai wanita/istri oleh pihak mempelai pria/suami sebelum akad nikah.

Terkadang, pihak keluarga mempelai wanita meminta pisuke tersebut setelah acara akad nikah selesai. Tetapi kadang juga dijadikan sebagai syarat mendapatkan izin wali untuk dinikahkan, dengan kata lain tidak ada akad nikah tanpa pisuke terlebih dahulu.

Persoalan lebih besar, saat pisuke ini tidak ramah kantong. Naik tanpa batas maksimal dan seolah tanpa kasih sayang. Butuh waktu dua sampai tiga minggu, bahkan sampai berbulan-bulan untuk menemukan kata sepakat antara keluarga mempelai pria dan Wanita.

Bagaimana tidak, pihak laki-laki hanya mengantongi 10 juta yang akan ia serahkan sebagai pisuke, sedang pihak wali mempelai wanita meminta 50 bahkan sampai 100 juta. Tak jarang juga yang meminta pisuke dalam bentuk benda seperti beberapa are tanah, misalnya.

Daftar Isi

    • Pandangan Hukum terkait Pisuke
  • Baca Juga:
  • Ketika Anak Kehilangan Sosok Ayah dalam Kehidupannya
  • Momen Ramadan, Mengingat Masa Kecil yang Berkemanusiaan
  • Kasus KDRT: Praktik Mikul Dhuwur Mendem Jero yang Salah Tempat
  • Kerja Sama dengan Suami Bisa Menjadi Resep Awet Muda Istri
    • Status Wali Nikah dan Budaya Pisuke
    • Statement Syekh Zakaria al Anshari

Pandangan Hukum terkait Pisuke

Lalu, bagaimanakah pandangan hukum ihwal pisuke yang berposisi sebagai syarat keberlangsungan akad nikah? Sejauh membaca fikih nikah, tidak pernah menemukan pisuke atau yang semacamnya menjadi salah satu syarat yang harus kita penuhi sebelum nikah berlangsung.

Baca Juga:

Ketika Anak Kehilangan Sosok Ayah dalam Kehidupannya

Momen Ramadan, Mengingat Masa Kecil yang Berkemanusiaan

Kasus KDRT: Praktik Mikul Dhuwur Mendem Jero yang Salah Tempat

Kerja Sama dengan Suami Bisa Menjadi Resep Awet Muda Istri

Maka tak ragu lagi bahwa pisuke merupakan kreasi budaya murni. Karenanya, penting kita pahami lebih dalam apakah kehadiran pisuke ini bertentangan dengan syariat atau tidak. Mengingat penilaian kacamata hukum terhadap adat dan budaya suatu masyarakat, harus melalui pintu kategorisasi ini; apakah muafiq(un) li as-syari’ah atau justru mukhalif(un) laha.

Kasus yang kita hadapi saat ini adalah pisuke yang menjadi syarat keberlangsungan akad nikah. Padahal, budaya ini tidak memiliki nasab apapun dengan syariat nikah. Dalam hal ini, budaya dinilai sebagai penghalang syariat. Saat Allah memberi kemudahan kepada sekalian hambanya dalam menjalankan syariat-Nya, sunah baginda Nabi Muhammad, budaya malah hadir untuk mempersulit.

Bayangkan, pernikahan bisa tertunda selama berminggu-minggu, tak sedikit yang sampai berbulan-bulan. Parahnya lagi, banyak yang sampai hamil di luar nikah gara-gara urusan pisuke yang tidak kunjung usai ini.

Status Wali Nikah dan Budaya Pisuke

Pertanyaan selanjutnya, bagaimanakah status wali nikah yang enggan menikahkan anaknya karena budaya pisuke yang ribet dan memberatkan ini? Selama ini, saya mencoba menelusuri pelbagai konsekuensi hukum terbaik, konsekuensi hukum yang tidak membuat masyarakat Sasak jantungan mendengarnya.

Sayang, penelusuran itu sia-sia. Sepertinya Islam tidak sudi memberi hukum yang ringan untuk budaya yang kejam. Setiap kali penelusuran, selalu arahnya pada kajian wali ‘adhal. Wali yang enggan menikahkan putrinya. Pasalnya, akad nikad nikah tersebut tergantung pada sesuatu yang tak terkait apapun dengan akad, bahkan untuk kemaslahatannya. Yang ada, justru dapat merusak misi syariat.

Dalam al-Fiqh al-Manhaji ‘ala Madzhabil Imam as-Syafi’i (juz 4, hal. 68)-buah karya tiga ulama besar kontemporer Mazhab Syafi’i; Musthofa al-Khin, Ali as-Syarbaji dan Mushthofa al-Bugha-dikatakan;

العضل: منع المرأة من الزواج. فإذا طلبت امرأة بالغة عاقلة الزواج من كفء، وجب علي وليِّها أن يزوجها، فإذا امتنع الولي- ولو أباـ من تزويجها، زوّجها السلطان، لأن تزويجها حق على أوليائها إذا طلبها الكفؤ، فإذا امتنعوا من وفائه لها، وفّاه الحاكم

“’Adhal adalah sikap enggan menikahkan perempuan. Jadi, jika seorang perempuan balig lagi berakal sehat meminta agar dinikahkan dengan seorang yang sekufu, walinya wajib menikahkan perempuan tersebut. Jika enggan, kendati ia adalah ayah kandungnya sendiri, maka hakim lah yang turun tangan menikahkannya. Karena menikahkan mauliyah (perempuan yang menjadi tanggung jawabnya) dengan laki-laki sekufu yang ia cintai, adalah hak para wali. Tetapi jika mereka enggan, maka hak tersebut berpindah kepada hakim.”

Statement Syekh Zakaria al Anshari

Referensi di atas mungkin tampak kurang mengenai sasaran kasus yang kita hadapi. Jangan khawatir, itu hanya konsep umum wali ‘adhal. Bagaimana dengan statemant Syekh Zakaria al-Anshari dalam Asnal Mathalib fi Syarhi Raudh at-Thalib (juz 3, hal. 129) berikut ini;

(وَلَهُ الِامْتِنَاعُ) مِنْ التَّزْوِيجِ (لِعَدَمِ الْكَفَاءَةِ) فَلَا يَكُونُ امْتِنَاعُهُ مِنْهُ عَضْلًا؛ لِأَنَّ لَهُ حَقًّا فِي الْكَفَاءَةِ وَيُؤْخَذُ مِنْ التَّعْلِيلِ أَنَّهَا لَوْ دَعَتْهُ إلَى عِنِّينٍ أَوْ مَجْبُوبٍ بِالْبَاءِ فَامْتَنَعَ كَانَ عَاضِلًا، وَهُوَ كَذَلِكَ إذْ لَا حَقَّ لَهُ فِي التَّمَتُّعِ وَاعْتَبَرَ الْقَفَّالُ مَعَ الْكَفَاءَةِ أَنْ يَتَبَيَّنَ مَوْضِعَ الصَّلَاحِ لِلْمَرْأَةِ فِي مُنَاكَحَتِهِ وَاسْتَحْسَنَهُ الزَّرْكَشِيُّ، وَلَوْ دَعَتْ إلَى رَجُلٍ وَادَّعَتْ كَفَاءَتَهُ وَقَالَ الْوَلِيُّ لَيْسَ بِكُفْءٍ رُفِعَ إلَى الْقَاضِي فَإِنْ ثَبَتَتْ كَفَاءَتُهُ لَزِمَهُ تَزْوِيجُهَا مِنْهُ فَإِنْ امْتَنَعَ زَوَّجَهَا الْقَاضِي مِنْهُ (لَا لِنُقْصَانِ الْمَهْرِ) أَوْ لِكَوْنِهِ مِنْ غَيْرِ نَقْدِ الْبَلَدِ فَلَيْسَ لَهُ الِامْتِنَاعُ مِنْ تَزْوِيجِهَا لِأَجْلِهِ؛ لِأَنَّ الْمَهْرَ مَحْضُ حَقِّهَا

“Seorang wali nikah berhak menolak menikahkan putrinya karena pasangan yang tidak sekufu, dan penolakan itu tidak tergolong ‘adhal. Karena sejatinya, ia memiliki hak dalam urusan kafaah. Berbeda lagi jika mempelai perempuannya memang mencari laki-laki impoten atau yang terpotong kemaluannya. Maka penolakan sang wali dianggap ‘adhal. Sebab prihal seksual itu bukan urusan wali. Lalu, bagaimana jika mempelai perempuan mengklaim sekufu, sedang si wali mengklaim sebaliknya. Maka penyelesaian masalahnya harus di hadapan hakim. Jika diputuskan sekufu, harus dinikahkan, jika tidak maka boleh si wali boleh menolak. (Penting dicatat, dan inilah inti pembahasan kita) bahwa maskawin yang kurang dari ketentuan atau dari mata uang negara asing,  bukan alasan yang pantas untuk menolak menikahkan mempelai perempuan. Karena maskawin adalah hak murni anak perempuan tersebut.”

Kita fokus pada paragraf terakhir, bahwa maskawin yang kurang dari ketentuan atau menggunakan mata uang negara asing, bukan alasan yang dapat kita perhitungkan (al-mu’tabar) sehingga seorang wali boleh menolak menikahkan putrinya. Dari sini saja, kita langsung paham-menggunakan pendekatan analogi hukum (al-ilhaq)-bahwa wali yang enggan menikahkan mauliyah-nya gara-gara pisuke, termasuk wali ‘adhal. Sehingga hak kewaliannya secara otomatis berpindah kepada hakim.

Jangankan karena pisuke, enggan menikahkan karena mahar yang kurang saja termasuk wali ‘adhal. Padahal mahar termasuk bagian dalam akad nikah. Apalagi karena budaya pisuke yang tidak memiliki pertalian apapun dengan akad nikah. Lebih-lebih ketika kehadiran pisuke mengacaukan syariat pernikahan. Semoga bermanfaat, wallau a’lam bisshawab. []

Tags: Fikih PerkawinanHak Perwalianhukum keluarga IslamkeluargaperkawinanPisukeWali Nikah
Ahmad Dirgahayu Hidayat

Ahmad Dirgahayu Hidayat

Ahmad Dirgahayu Hidayat, alumnus Ma’had Aly Situbondo, dan pendiri Komunitas Lingkar Ngaji Lesehan (Letih-Semangat Demi Hak Perempuan) di Lombok, NTB.

Terkait Posts

Anak Kehilangan Sosok Ayah

Ketika Anak Kehilangan Sosok Ayah dalam Kehidupannya

2 April 2023
Manusia Pilihan Tuhan

Keheningan Laku Spiritualitas Manusia Pilihan Tuhan

2 April 2023
Kasus KDRT

Kasus KDRT: Praktik Mikul Dhuwur Mendem Jero yang Salah Tempat

1 April 2023
Sepak Bola Indonesia

Antara Israel, Gus Dur, dan Sepak Bola Indonesia

1 April 2023
Agama Perempuan Separuh Lelaki

Pantas Saja, Agama Perempuan Separuh Lelaki

31 Maret 2023
Resep Awet Muda Istri

Kerja Sama dengan Suami Bisa Menjadi Resep Awet Muda Istri

31 Maret 2023
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Anak Kehilangan Sosok Ayah

    Ketika Anak Kehilangan Sosok Ayah dalam Kehidupannya

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Keheningan Laku Spiritualitas Manusia Pilihan Tuhan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mahar Adalah Simbol Cinta dan Komitmen Suami Kepada Istri

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Menikah Harus Menjadi Tujuan Bersama, Suami Istri

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Menikah Adalah Sarana untuk Melakukan Kebaikan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Ini Jumlah Mahar Pada Masa Nabi Muhammad Saw
  • Mahar Adalah Simbol Cinta dan Komitmen Suami Kepada Istri
  • Ketika Anak Kehilangan Sosok Ayah dalam Kehidupannya
  • Keheningan Laku Spiritualitas Manusia Pilihan Tuhan
  • Menikah Harus Menjadi Tujuan Bersama, Suami Istri

Komentar Terbaru

  • Profil Gender: Angka tak Bisa Dibiarkan Begitu Saja pada Pesan untuk Ibu dari Chimamanda
  • Perempuan Boleh Berolahraga, Bukan Cuma Laki-laki Kok! pada Laki-laki dan Perempuan Sama-sama Miliki Potensi Sumber Fitnah
  • Mangkuk Minum Nabi, Tumbler dan Alam pada Perspektif Mubadalah Menjadi Bagian Dari Kerja-kerja Kemaslahatan
  • Petasan, Kebahagiaan Semu yang Sering Membawa Petaka pada Maqashid Syari’ah Jadi Prinsip Ciptakan Kemaslahatan Manusia
  • Berbagi Pengalaman Ustazah Pondok: Pentingnya Komunikasi pada Belajar dari Peran Kiai dan Pondok Pesantren Yang Adil Gender
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist