Mubadalah.id – Suatu ketika seorang murid bertanya kepadaku mengapa politik uang dilarang. Seketika, pertanyaan itu mengingatkanku pada 9 mudarat politik uang yang ditulis oleh Harun Al Rasyid dalam bukunya “Fikih Korupsi, Analisa Politik Uang di Indonesia dalam Perspektif Maqashid al Syari’ah”. Mudharat dalam perspektif maqashid syariah tentu saja didasarkan pada akibat, dampak, serta pengaruhnya bagi kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, hingga bangsa dan negara.
Maqashid syariah ada lima, yaitu menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Lantas apa saja mudarat dari politik uang yang disinyalir telah bertentangan dengan maqashid syariah? Inilah 9 mudarat dari politik uang menurut Harun Al Rasyid, sosok yang pernah berkarir di KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi):
9 Mudarat Politik Uang
Pertama, keadilan tidak akan mungkin tercapai dengan adanya politik uang. Karena semua keputusan yang berdasarkan pada money politik dapat kita pastikan selalu bersifat diskriminatif. Benar saja, alih-alih membuat keputusan yang adil lagi bijak, keputusan yang mereka ambil tentulah yang paling menguntungkan pihaknya.
Kedua, harta maupun benda yang menjadi materi yang telah pemberi keluarkan, tentu saja merupakan sebuah keniscayaan. “Tidak ada makan siang yang gratis” adalah pepatah yang paling sesuai untuk menggambarkan situasi ini. Pelaku tentu saja akan mencari ribuan cara agar apa yang telah dikeluarkannya, dapat kembali pada diri dia dengan besaran yang minimal sama, atau bahkan lebih banyak.
Ketiga, menghilangkan sifat jujur. Padahal kejujuran adalah modal utama bagi setiap calon pemimpin atau pemangku kepentingan. Jelas telah menggadaikan jiwa para calon pemimpin kepada kekuatan uang dan para pemberinya yang telah memuluskan langkahnya dalam memenangkan pemilihan.
Keempat, menimbulkan sikap pesimistis. Sikap merasa bahwa segala hal yang bahkan belum kita upayakan telah gagal, enggan mencoba dan berusaha lebih. Menganggap bahwa hanya dengan uang-lah semua keinginan dan tujuannya dapat tercapai.
Menyuburkan Korupsi dan Sikap Pragmatis
Kelima, membuat korupsi semakin tumbuh subur. Rasanya sudah tidak perlu lagi mencari siapa saja pejabat publik yang telah terjerat kasus korupsi. Politik uang membuat para pejabat publik harus mengeluarkan banyak harta dan benda untuk membeli suara masyarakat sebagai modal pemenangannya. Maka, tidak mengherankan jika saat dia menjabat, dia mengambil apa yang bukan menjadi haknya sebagai sebuah upaya “balik modal”.
Keenam, dalam pemenangan Pemilu menutup pintu persaingan antar peserta Pemilu. Hal ini tentu saja terjadi, jika transaksi jual beli suara dalam rangka pemenangan telah berlaku, persaingan apa lagi yang akan mereka lakukan? Visi, misi dan program kerja seakan menguap begitu saja.
Ketujuh, politik uang menyebabkan terbentuknya jiwa-jiwa kerdil dan pemalas yang hanya mengandalkan kekuatan uang untuk mencapai tujuannya. Keyakinan bahwa uang dapat membeli segalanya jelas membuat pelaku meremehkan segala sesuatu. Dia hanya mempercayai bahwa semuanya dapat ia selesaikan dengan uang, maka segala bentuk usaha bukanlah hal yang penting baginya.
Kedelapan, mengakibatkan orang yang lemah kehilangan hak dan kesempatannya. Sudah terlalu banyak contoh yang terlihat dari fenomena ini. Politik uang telah menjadikan suara rakyat murah dan mudah mereka akomodir dengan uang. Maka bagi orang jujur, kompeten, dan berintegritas namun tidak kaya atau memainkan politik uang, niscaya hak dan kesempatannya untuk terpilih akan hilang begitu saja.
Tidak Sesuai dengan Prinsip Maqashid Syariah
Kesembilan, mengakibatkan berkurangnya kualitas Sumber Daya Manusia yang terampil, profesional, dan berintegritas. Jika semuanya kita selesaikan dengan uang, akankah masih ada ruang bagi Sumber Daya Manusia yang unggul, terampil, profesional dan berintegritas? Mereka yang baik akan tergerus secara instan oleh para pelaku politik uang.
Politik uang benar-benar berseberangan dengan semua prinsip maqashid syariah. Jelas-jelas membuat pelakunya tidak mengindahkan akal, sehingga tidak mampu membedakan hal baik dan buruk. Politik uang juga menabrak prinsip menjaga agama, karena Islam jelas tidak mengajarkan perilaku tidak adil dan tidak jujur. Selain itu juga melupakan poin menjaga jiwa setiap warga, karena justru membeli suara warga demi pemenangannya.
Tidak hanya itu, politik uang juga mencederai poin menjaga harta milik warga negara. Karena embio dari korupsi di negara ini salah satunya adalah uang. Bahkan tidak mungkin mampu melaksanakan tugas menjaga martabat dan generasi penerus bangsa. Karena dengan adanya politik uang, mereka yang berpikiran sempit, pesimis, hingga pemalas dari generasi penerus makin hari makin marak kita temukan. Sungguh tidak ada maslahah apapun, yang ada justru mudarat yang tidak ada habisnya. []