“Selama dua puluh tahun agenda pembangunan… masyarakat masih mengalami kesenjangan dan marginalisasi sosial terhadap kelompok atau komunitas tertentu yang kian melebar. Sehingga membutuhkan strategi dan instrumen untuk melihat tantangan ini.”
(Departemen Urusan Ekonomi dan Sosial Sekretariat Persatuan Bangsa-Bangsa, 2010)
Mubadalah.id – Berdasarkan narasi yang terbangun di atas, kesenjangan terhadap kelompok memiliki varian yang sangat komplek. Yang paling kentara adalah perbedaan akses antara laki-laki dan perempuan. Gerakan pengarusutamaan gender yang bertujuan untuk memberikan akses yang sama bagi laki-laki dan perempuan seringkali kita pandang sebagai sisi negative dalam sebuah gerakan pembaharuan.
Berbincang mengenai kesetaraan gender, berarti juga kita bicara tentang stereotip dan ideal, yang berkaitan dengan konsep peran. Stereotip memberikan arah pada perilaku seseorang karena seringkali menentukan cara orang memandang suatu kelompok atau cara seseorang berinteraksi dengan orang lain.
Karena masyarakat biasanya kurang bisa menerima perilaku kesetaraan gender yang anggapannya menyimpang dari norma standar, berkembanglah mitos bahwa ada dua gender yang sangat berbeda satu dengan yang lainnya.
Anggapan yang belakangan ini kita perdebatkan karena pengetahuan baru bahwa ada perempuan atau lelaki yang menampilkan karakteristik perilaku, dan sikap yang tidak sesuai dengan harapan sosial tentang ciri khas perempuan atau lelaki. (Sadeli, 2010)
Perempuan dan sanksi sosial
Munculnya anggapan bahwa kesetaraan gender merupakan penyimpangan yang nilainya tidak sesuai dengan nilai, norma dan harapan masyarakat melahirkan “sanksi sosial”. Sanksi sosial tersebut berupa pelabelan (stereotip), peminggiran (marginalisasi), tidak mereka perhitungkan/pertimbangkan keberadaannya (subordinasi), kekerasan baik secara fisik, verbal, psikologis maupun sumber terhadap akses ekonomi serta beban ganda.
Naasnya kelima sanksi sosial tersebut sering kali lebih banyak perempuan alami karena di dalam masyarakat seorang perempuan mereka harap bisa bertindak, bersikap, berperilaku, bertutur, sesuai dengan standar yang ada dalam masyarakat.
Hal ini diperparah dengan maraknya narasi domestikasi yang terbalut dengan kajian fikih literalis ini menjadi barometer kesalehan perempuan. Perempuan yang baik dicitrakan sebagai perempuan yang tidak keluar rumah, patuh, diam, dan merawat keluarga. Ketika perempuan sudah menjalanakan kewajibannya sebagai konco wingking yang handal, maka di situlah perempuan berada dalam keshalehan tertingginya.
Selain pemahaman agama yang konservatif, barometer kesalehan perempuan ini mereka perkuat pula dengan argumen pembenaran distingsi struktur biologis laki-laki dan perempuan. Dalam sebuah rumah tangga terdapat sebuah hierarki, bahwa laki-laki memiliki kekuasaan mutlak dalam rumah tangga. Maka patuhnya perempuan terhadap laki-laki juga dianggap sebagai salah satu indikator kesalehannya.
Doktrin Teologis
Perempuan yang dianggap sebagai jenis kelamin kelas dua (the second sex) selalu berada di bawah bayang-bayang laki-laki, dan wajib tunduk dan patuh terhadap kebijakan laki-laki. Semakin tunduk dan patuh, semakin salehlah perempuan tersebut. Menjadi ibu rumah tangga adalah ranah aktualisasi seorang perempuan dengan kekuatan dedikasi. Lalu rasa tanggung jawab maksimal serta keikhlasan pengabdian sempurna.
Menurut Sulaiman Ibrahim (2013), interpretasi dalil agama atau doktrin teologis merupakan penyebab utama (primacausa) kemunculan narasi domestikasi. Ayat-ayat yang berkaitan dengan perempuan di dalam rumah, kita interpretasi sedemikian rupa.
Padahal dalil agama yang bersumber dari Allah SWT tidak mungkin menuntun manusia pada ketidakadilan dan ketimpangan sosial hanya karena perbedaan jenis kelamin. Bagaimanapun interpretasi adalah proses kerja akal manusia yang kebenarannya bersifat relatif.
Dari interpretasi tersebut di atas kemudian “kesetaraan gender” seringkali kita salahartikan dengan mengambil alih pekerjaan dan tanggung jawab laki-laki. Padahal menurut Retno Kusumawiranti, kesetaraan gender bukan berarti memindahkan pekerjaan laki-laki ke pundak perempuan. Bukan pula mengambil alih tugas dan kewajiban suami oleh istrinya. Jika hal ini terjadi, bukan ‘kesetaraan’ yang tercipta, melainkan penambahan beban dan penderitaan kepada perempuan. (Retno Kusumawiranti, 2021)
Solusi untuk meminimalisir perlakuan diskriminatif berbasis gender
Melihat betapa komplek permasalahan gender baik dari perspektif sosial maupun agama, maka kita memerlukan sebuah langkah dan solusi strategis. Yakni untuk meminimalisir dampak negatif yang akan timbul. Salah satu strateginya adalah melalui sosialisasi keadilan gender dan inklusi sosial. Di mana ada penekanan kesadaran terhadap hak, tanggung jawab, dan kesempatan yang sama antara laki-laki dan perempuan menggunakan pendekatan agama.
Solusi kedua adalah dengan memperjuangkan inklusi sosial sebagai salah satu bentuk perlawanan terhadap eksklusi sosial. Yaitu sebuah upaya untuk menghalangi partisipasi utuh dalam proses sosial dan politik individu dan kelompok sosial tertentu di masyarakat. []