• Login
  • Register
Rabu, 23 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Khazanah Hikmah

Pandangan Fikih Klasik Terhadap Anak yang Bekerja

Dalam beberapa kitab fikih, menurut Dr. Faqihuddin Abdul Kodir dalam buku Fikih Hak Anak menjelaskan, seorang ayah boleh mengajak anaknya yang sudah mampu, walau belum dewasa untuk bekerja bersamanya atau bekerja dengan orang lain.

Redaksi Redaksi
26/10/2022
in Hikmah, Pernak-pernik
0
fikih klasik

anak tidak wajib bekerja

534
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Dalam fikih klasik telah banyak dijelaskan bahwa nafkah merupakan hak dan kewajiban kedua orang tua kepada anak-anaknya. Karena itu, dalam fikih klasik anak tidak wajib bekerja untuk mencari nafkah.

Namun bagaimana jika dalam realitas kehidupan masyarakat banyak anak yang belum dewasa, tetapi secara fisik telah mampu bekerja dan bisa menghasilkan uang dari keringatnya.

Dalam beberapa kitab fikih, menurut Dr. Faqihuddin Abdul Kodir dalam buku Fikih Hak Anak menjelaskan, seorang ayah boleh mengajak anaknya yang sudah mampu, walau belum dewasa untuk bekerja bersamanya atau bekerja dengan orang lain.

Ketika demikian, kewajiban nafkah beralih, yang awalnya dari harta ayahnya, menjadi dari harta hasil kerjanya sendiri.

Muhammad al-Khathib al-Syirbini (w. 977 H/1570 M), seorang ulama mazhab Syafi’i, misalnya, menyatakan,

Baca Juga:

Mengapa Perlindungan Anak Harus Dimulai dari Kesadaran Gender?

Membentuk Karakter Anak Lewat Lingkungan Sosial

Jangan Biarkan Fondasi Mental Anak Jadi Rapuh

Pentingnya Membentuk Karakter Anak Sejak Dini: IQ, EQ, dan SQ

“Seorang wali (ayah atau yang lain) boleh meminta anaknya yang belum dewasa, apabila ia sudah mampu bekerja, untuk bekerja mencari nafkah bagi memenuhi kebutuhannya sendiri. Jika ia tidak mau, atau bekerja lalu keluar, maka nafkahnya kembali wajib bagi ayah atau walinya.”

Tetapi al-Syirbini juga melarang mempekerjakan anak pada kerja-kerja yang terlarang, yang tidak mampu melakukannya, atau memberatkan kondisi fisiknya.

Jadi, sekalipun fikih menempatkan nafkah sebagai hak anak ke atas pundak kedua orang tua atau keluarga, tetapi ia juga membolehkan anak untuk bekerja, baik untuk nafkah ia sendiri atau anggota keluarga lain.

Kebolehan ini, sebagaimana al-Khathib al-Syirbini sebutkan di atas, tentu saja harus dengan pertimbangan berbagai syarat.

Utamanya adalah kemampuan seseorang di usia anak secara fisik, namun pekerjaannya tidak memberatkan dan tidak merupakan pekerjaan yang haram. (Rul)

Tags: anakbekerjaDr. Faqihuddin Abdul KodirfikihHak anakklasiktidak wajibulama KUPI
Redaksi

Redaksi

Terkait Posts

Keadilan

Standar Keadilan Menurut Dr. Nur Rofiah, Bil. Uzm

23 Juli 2025
Nafkah Suami

Suami dan Istri Sama-sama Bisa Memberikan Nafkah Keluarga

22 Juli 2025
Saling Mengenal

Laki-laki dan Perempuan Diperintahkan untuk Saling Mengenal, Bukan Saling Merendahkan

22 Juli 2025
sharing properti keluarga

Menguatkan Praktik Sharing Properti Keluarga di Tengah Budaya Patriarki

22 Juli 2025
properti keluarga

Ketika Properti Keluarga Menjadi Sumber Ketidakadilan

22 Juli 2025
Konflik Keluarga

Manajemen Konflik Keluarga

21 Juli 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • sharing properti keluarga

    Menguatkan Praktik Sharing Properti Keluarga di Tengah Budaya Patriarki

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Fenomena Sibling Rivalry dalam Rumah: Saudara Kandung, Tapi Rasa Rival?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Laki-laki dan Perempuan Diperintahkan untuk Saling Mengenal, Bukan Saling Merendahkan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Menuju Pesantren Inklusif: Sebuah Oto-kritik

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Refleksi Difabel dalam Narasi Film Sore: Istri dari Masa Depan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Menemukan Makna Cinta yang Mubadalah dari Film Sore: Istri dari Masa Depan
  • Standar Keadilan Menurut Dr. Nur Rofiah, Bil. Uzm
  • Mengapa Perlindungan Anak Harus Dimulai dari Kesadaran Gender?
  • Suami dan Istri Sama-sama Bisa Memberikan Nafkah Keluarga
  • Menuju Pesantren Inklusif: Sebuah Oto-kritik

Komentar Terbaru

  • M. Khoirul Imamil M pada Amalan Muharram: Melampaui “Revenue” Individual
  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID