Mubadalah.id – Di tengah ramainya pemberitaan tentang Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) II, mungkin bagi banyak orang yang belum mengetahui sejatinya apa itu KUPI dan kegiatannya, akan turut menimbulkan sejumlah pertanyaan. Terlebih bagi kaum laki-laki, mengingat secara nama “KUPI” seakan menspesifikkan kepada kaum perempuan dengan redaksi “Ulama Perempuan”. Namun di sisi lain dalam berbagai flayer kegiatannya, di sana banyak juga kaum laki-laki yang menjadi pembicara dan juga peserta.
Menimbang hal itu penulis akhirnya terinspirasi untuk membuat tulisan ini dan memberinya judul “Alasan Kenapa Kaum Laki-Laki Perlu Mendukung KUPI II.” Penulis berpikir ini cukup penting untuk meluruskan pemahaman bagi para kaum laki-laki, sekaligus sebagai bentuk dukungan langsung secara pribadi untuk kesuksesan KUPI II yang diselenggarakan 23-26 November di Semarang dan Jepara, Jawa Tengah.
Alasan pertama, ulama perempuan tidak terpaku hanya bagi kaum perempuan
KH. Husein Muhammad yang merupakan salah satu dewan penasihat KUPI, menjelaskan bahwa kata “perempuan”, bisa memiliki dua pemaknaan, biologis dan idiologis. Pemaknaan dari sisi biologis, seperti yang definisi Kamus Besar Bahasa Indonesia, yaitu orang yang memiliki puki (kemaluan perempuan), dapat menstruasi, hamil, melahirkan, dan menyusui.
Secara idiologis, perempuan di sini bisa berarti perspektif, kesadaran, dan gerakan keberpihakan pada perempuan untuk mewujudkan keadilan relasi dengan laki-laki, baik dalam kehidupan keluarga maupun sosial. Dengan definisi yang kedua, atau idiologis, maka siapa pun bisa terlibat dalam kerja-kerja keberpihakan pada nasib perempuan dan berjuang melahirkan kehidupan yang bermartabat dan adil dalam relasi antara laki-laki dan perempuan.
Dengan demikian menurut KH. Husein bisa kita simpulkan, bahwa tidak terpaku hanya pada “ulama” yang berjenis kelamin perempuan. Namun istilah “ulama perempuan” juga bermakna mereka para ulama yang memiliki perspektif tentang hak-hak perempuan.
Istilah ulama perempuan ini bisa berlaku bagi siapa pun, baik laki-laki maupun perempuan. Namun, ada kriteria khusus terkait ulama perempuan itu sendiri, yaitu bagi mereka yang memiliki komitmen untuk melakukan advokasi terhadap para perempuan dalam rangka untuk kemaslahatan dan keadilan.
Jadi atas dasar alasan itulah, para kaum laki-laki tidak perlu ragu untuk turut mendukung KUPI II. Karena pada dasarnya, kegiatan ini tidak tertutup hanya bagi kaum perempuan saja. Hal ini tidak mengherankan jika dalam kegiatan KUPI I, lantas tokoh laki-laki sekaliber almarhum Prof. Dr. Azyumardi Azra, M.A, CBE., K.H. Ahmad Mustofa Bisri, dan Prof. Dr. Nasaruddin Umar, M. A., menyambut sangat baik saat ditunjuk menjadi dewan penasihat.
Bahkan Prof. Azra semasa hidup, sebagai bentuk dukungan sering mengampanyekan KUPI dalam program-program internasional, misalnya seperti ke Thailand dan ke Timur Tengah. Di samping itu juga memuat tulisan penting tentang KUPI di harian Republika dengan tajuk “KUPI di House of Lords”, yang menceritakan pengalamannya menghadiri undangan Parlemen Inggris untuk sebuah acara dan membahas terkait KUPI di sana.
Alasan kedua, visi misi yang diusung oleh KUPI
Ada penjelasan di website resmi KUPI bahwa, visi misi dari gerakan ini adalah “terwujudnya masyarakat yang adil dan sejahtera, serta terbebas dari segala bentuk kezaliman sosial terutama yang berbasis gender”. Adapun “salah satu pra-syarat sekaligus indikator utama dari terwujudnya visi ini adalah adanya pengakuan terhadap potensi kemanusiaan perempuan, sebagaimana laki-laki, melalui akal budi dan jiwa raga mereka, yang tidak boleh dikurangi atas nama apa pun.”
Sedangkan “prasyarat dan indikator utama yang lain adalah pengakuan terhadap eksistensi dan peran ulama perempuan, bersama ulama laki-laki, sebagai pewaris Nabi SAW dalam mengemban misi-misi keislaman dan kemanusiaan, serta misi kebangsaan untuk mewujudkan cita-cita berbangsa dan bernegara.”
Berdasarkan visi dan misi tersebut, tidak berlebihan jika kita katakan kegiatan KUPI memang sangat mulia, positif, dan membangun. Jadi memang seharusnya kita dukung.
Yang menarik, meski gerakan yang diusung memakai kata “ulama perempuan”, tidak lantas meninggikan ulama perempuan, lalu memposisikan ulama laki-laki di bawahnya. Tapi lebih kepada prinsip mengemban misi keislaman bersama-sama sebagai pewaris Nabi SAW, karena pada dasarnya tugas tersebut tidak tertutup hanya bagi ulama laki-laki. Dengan prinsip tersebut, tentu akan membuahkan hasil yang lebih maksimal dalam berdakwah.
Di samping itu dari visi misi juga tergambar, jika yang diusung tidak sekadar seputar isu perempuan an sich di ruang perempuan. Namun KUPI juga mengemban misi mulia dalam mewujudkan keadilan, cita-cita berbangsa dan bernegara.
Alasan ketiga, gagasan-gagasan yang diusung oleh KUPI sangat positif untuk perubahan menjadi lebih baik
Ada banyak gagasan atau konsep yang para tokoh atau ulama KUPI usung. Hingga kini sudah banyak yang para jamaah, masyarakat umum yang mengajarkan, dan mengamalkannya. Misalnya, gagasan “konsep makruf” Nyai Hj. Badriyah Fayumi, Lc., M.A., “konsep kesalingan atau mubadalah” Dr. KH. Faqihuddin Abdul Kadir, “konsep keadilan hakiki” Dr. Nur Rofiah, Bil Uzm., gagasan-gagasan soal gender dalam perspektif agama Islam yang KH. Husein Muhammad gulirkan, dan masih banyak lagi.
Konsep-konsep dan gagasan tersebut tidak hanya sekadar menjadi wacana. Namun menjadi edukasi bagi para jamaah dan masyarakat. Selain itu sebagai tuntunan dan standar nilai hidup mereka dalam berelasi dengan keluarga, masyarakat, dalam kehidupan bernegara. Bahkan dalam konsep hablun minallah (hubungan manusia dengan Tuhan), hablun minannas (hubungan antar sesama manusia), dan hablun minal ‘alam (hubungan manusia dengan alam semesta).
Dengan jumlah anggota KUPI dan jaringannya yang kini sudah sangat banyak, berada di berbagai daerah, kota, dan provinsi, turut bedampak positif untuk perubahan bagi masyarakat menjadi lebih baik. Bahkan, fenomena tersebut sudah mulai banyak menjadi bahan penelitian oleh para akademisi di berbagai perguruan tinggi di Indonesia.
Alasan keempat, KUPI adalah gerakan kolektif
KH Husein Muhammad dalam tulisannya menjelaskan, bahwa dalam pengamalan dan pengalaman KUPI, istilah ulama perempuan bukan sebutan untuk individu-individu. Melainkan gerakan kolektif untuk mewujudkan keilmuan Islam yang bersumber dari al-Qur’an, dan Hadits. Selain itu seluruh khazanah keislaman dengan meniscayakan perujukan pada realitas kehidupan yang perempuan alami.
Gerakan ini terdiri dari individu-individu dan lembaga-lembaga yang memiliki visi dan misi keadilan relasi laki-laki dan perempuan. Dalam gerakan KUPI ini, ada individu yang memiliki latar-belakang kajian keislaman yang kuat dan atau kajian ilmu-ilmu sosial yang relevan. Selain itu ada juga orang-orang yang bergerak pada kerja-kerja lapangan untuk pemberdayaan dan advokasi isu-isu perempuan.
Artinya, KUPI memang benar-benar lahir sebagai gerakan yang mengakar dan terdiri dari banyak elemen di masyarakat. Tidak ada kepentingan individual atau segelintir orang dari gerakan ini. Benar-benar murni untuk meneguhkan eksistensi ulama dan keulamaan perempuan yang memang benar-benar ada dan telah bekerja selama ini. Namun masih banyak yang belum kita perhatikan. Padahal jika menjadi kekuatan perubahan dan serius untuk kita dukung gerakannya, akan lebih maksimal daya dampaknya.
Alasan kelima, gerakan-gerakan nyata KUPI
Hasil dari KUPI I, terlah banyak gerakan nyata yang terjadi setelahnya. Dengan langkah strategis yang KUPI lakukan sesuai misi-misinya, mereka topang dengan pilar program. Baik memproduksi pengetahuan sebagai basis spiritual intelektual.
Lalu kerja-kerjanya, seperti kaderisasi sebagai pelaku gerakan, desiminasi pengetahuan kepada publik dan advokasi kebijakan publik. Selanjutnya pada program organisasi, kordinasi, serta fasilitas kerja jaringan dalam melaksanakan visi misi gerakan, semua bergulir dengan sangat baik.
Adapun rumusan 3 isu utama KUPI I di Cirebon, antara lain tentang kekerasan seksual, perkawinan anak, dan kerusakan alam. Fatwa itu juga telah banyak dijawab dengan kerja-kerja nyata. Langkah nyata tersebut diantaranya keberhasilan dalam mengadvokasi dan memberikan perlindungan bagi para perempuan. Yakni dengan pengesahan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).
Selain itu juga terkait dengan perlindungan anak dari pernikahan. Akhirnya berhasil disahkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dengan kesepakatan. Bahwa usia miminum pernikahan bagi laki-laki dan perempuan adalah 19 tahun, yang sebelumnya perempuan batas usia minimumnya 16 tahun. Di samping itu juga masih banyak gerakan nyata KUPI lainnya.
Tentu jika kita gali lebih mendalam lagi, masih banyak alasan yang bisa menjadi penguat untuk kaum laki-laki mendukung kegiatan KUPI II. Terlebih, pada dasarnya kegiatan ini memang sangat positif bagi kaum perempuan dan sekaligus juga kaum laki-laki.
Jadi memang sangat beralasan jika salah satu Ketua Majelis Musyawarah (MM KUPI), Nyai Hj. Badriyah Fayumi, Lc. MA mengajak semua para ulama perempuan, juga akademisi, pengambilan kebijakan dan para aktivis. Yakni mengajak untuk hadir di kegiatan KUPI II, tidak hanya tertutup bagi kaum perempuan saja, atau sebatas ulama perempuan. Sebab, Insya Allah akan banyak membawa kemaslahatan, terlebih jika lebih banyak lagi yang mensukseskan dan mendukung KUPI II ini. Wallahu a’lam bish-shawab. []