• Login
  • Register
Selasa, 1 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Lagu Aisyah dan Pandemi Corona

Neng Hannah Neng Hannah
07/04/2020
in Publik
0
pandemi, corona

(sumber foto pixabay.com)

70
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Pertama kali mendengar lagu Aisyah Istri Rasulullah di wag dosen Fakultas Ushuluddin UIN Bandung 3 hari lalu. Saya melihat video yang dikirimkan hanya setengah saja karena merasa tidak nyaman.

Video lagu tersebut dibuat dengan setting di dalam mobil dimana seorang suami menyetir sambil menikmati nyanyian empat istrinya yang cantik. Tidak hanya melihat videonya, saat menyimak syairnya juga bikin tambah tidak nyaman.

Saya berpikir kenapa saya tidak nyaman? Jangan jangan saya termasuk orang yang julid yang tidak suka dengan istri Nabinya sendiri. Bukan, bukan itu pointnya menurut saya. Ini lebih kepada ketidaksetujuan setting video dan syair yang dilantunkan.

Saat saya berselancar di youtube untuk melihat berbagai versi lagu ini, saya bersyukur ternyata versi video yang lain lebih banyak dan bagus dari pada yang pertama saya tonton. Namun tetap saja syairnya membuat saya terganggu.

Ternyata bukan hanya saya yang terganggu banyak pihak juga mengeluhkan hal yang sama. Dari beberapa teman dosen laki-laki, dan para aktifis perempuan juga berkata agar sebaiknya tidak hanya menonjolkan fisiknya saja, melainkan hal baik yang lain dari Aisyah misalkan kecerdasannya.

Baca Juga:

Gaji Pejabat vs Kesejahteraan Kaum Alit, Mana yang Lebih Penting?

Di Balik Senyuman Orang Tua Anak Difabel: Melawan Stigma yang Tak Tampak

Meninjau Ulang Amar Ma’ruf, Nahi Munkar: Agar Tidak Jadi Alat Kekerasan

Pergeseran Narasi Pernikahan di Kalangan Perempuan

Perempuan mulia yang dihormati umat Islam saja keunggulannya bisa direduksi hanya lewat fisiknya apalagi perempuan biasa. Teringat dengan Ngaji Kesetaraan Gender Islam dengan ibu Nur Rofiah terkait tiga tingkatan kesadaran tentang kemanusiaan perempuan.

Tingkat terendah menganggap bahwa yang dianggap manusia itu hanya laki-laki. Perempuan bukan manusia sehingga diperlakukan sebagaimana hewan atau bahkan benda mati. Perempuan hanya merupakan alat pemenuhan naluri seks dalam peradaban Yunani.

Dalam Peradaban Romawi perempuan sepenuhnya berada di bawah kekuasaan ayahnya, setelah menikah di bawah kekuasaan suaminya. Kekuasaan ini mencakup kewenangan menjual, mengusir, menganiaya dan membunuh.

Termasuk dalam peradaban Arab Jahiliah dimana perempuan dikubur hidup-hidup sejak bayi karena dianggap memalukan keluarga dan bisa diwariskan seperti properti bila suaminya meninggal dunia.

Tingkat kesadaran kedua, perempuan juga manusia, namun laki-laki menjadi standar kemanusiaan perempuan. Nilai perempuan ditentukan oleh sejauh mana ia memberi manfaat pada laki-laki.

Hal ini bisa melahirkan stigmatisasi pada perempuan. Misalnya perempuan sebagai sumber fitnah (kekacauan). Sebagai sumber fitnah, maka dia tidak layak ada di wilayah publik misalnya untuk bekerja.

Kalau pun terpaksa bekerja, maka berbagai aturan dikenakan pada perempuan. Bila terjadi perkosaan misalnya, ini terjadi karena perempuan memakai baju mini. Kalaupun sudah menutup seluruh tubuh, prilaku perempuanlah yang dianggap mengundang pemerkosa laki-laki.

Intinya, ketika laki-laki melakukan tindakan yang salah dan membahayakan perempuan, kesalahan ada pada perempuan. Jadi laki-laki memperkosa bukan karena kegagalan mereka mengendalikan diri.

Tingkat kesadaran tentang kemanusiaan perempuan yang ketiga adalah perempuan dan laki-laki sama-sama menjadi standar kemanusiaan. Standar kemanusiaan mereka sama sambil memperhatikan kebutuhan khas perempuan.

Dalam tingkat kesadaran ini perbedaan perempuan dan laki-laki tidak secara negatif dipandang sebagai sumber konflik. Melainkan dipandang sebagai modal sosial untuk maju bersama sebagai manusia.

Kekuatan atau kelebihan manusia baik perempuan dan laki-laki sangat beragam. Baik dari fisik, keilmuan, kekayaan, kedudukan, keimanan dan lain-lain. Selain itu kekuatan dan kelebihan juga dinamis. Jenis kelamin tertentu tidak selalu lebih unggul dari pada jenis kelamin lainnya sepanjang usia kehidupan.

Meskipun beragam dan dinamis, namun kelebihan itu prinsipnya adalah sama. Pertama, setiap pihak sama-sama mempunyai kewajiban mewujudkan atau memelihara kebaikan dan menolak atau mengatasi keburukan dalam kehidupan bersama.

Kedua, kelebihan pihak manapun atas lainnya tidak menjadi alasan untuk melakukan penindasan. Sebaliknya kekurangan pihak mana pun tidak menjadi alasan untuk ditindas. Ketiga, siapa pun yang lebih kuat dalam hal apapun mempunyai kewajiban untuk memastikan pihak yang lebih lemah diperlakukan secara manusiawi.

Lagu Aisyah Istri Rasulullah menurut saya lebih dekat dengan tingkat kedua terkait kesadaran kemanusiaan perempuan. Nilai perempuan ditentukan oleh sejauh mana ia memberi manfaat pada laki-laki.

Syairnya terlihat bias gender dimana nilai perempuan hanya sebatas keunggulan fisik semata dengan kulit putih berseri. Bagaimana dengan kulit sawo matang yang dimiliki kebanyakan perempuan Indonesia? Pantas saja produk pemutih tetap diminati.

Bahkan dalam rumpian sebuah wag yang saya ikuti meskipun bercanda, tinggal di rumah karena pandemi Corona dianggap efektif untuk memutihkan kulit, padahal bisa jadi menurunkan imunitas karena kekurangan vitamin D3 karena tidak pernah terkena sinar matahari.

Nilai perempuan menurut lagu ini juga terkait dengan kemampuannya menyenangkan pasangannya untuk bermanja dan hal-hal romantis lainnya. Ini terjadi karena Aisyah selama menikah dengan Rasulullah saw tidak pernah melahirkan dan tidak disibukan dengan mengurus dan membesarkan anak.

Bagimana dengan kami emak-emak yang memiliki banyak anak? Terlebih setiap saat kumpul di rumah dan tidak bisa bergerak bebas seperti biasa. Ayah, ibu dan anak kumpul terus di rumah. Bila tidak disikapi dan dimaknai dengan baik saya pikir bisa bikin jenuh dan bete. Dalam kondisi seperti ini butuh kewarasan dan strategi yang baik agar romantisme tetap terjaga. Ini adalah perjuangan.

Relasi suami-istri dengan romantisme yang saling berkejaran yang digambarkan dalam syair lagi ini semakin tidak relevan dengan kondisi real keluarga di Indonesia. Kondisi real keluarga menurut PEKKA menunjukan bahwa hampir 25% keluarga di Indonesia dikepalai perempuan dengan 6 variasi formasi keluarga yaitu ibu dengan anak, nenek dengan cucu, perempuan dengan saudaranya, perempuan dengan keponakannya, perempuan hidup dengan teman perempuannya.

Selain itu, pandemi Corona tidak hanya mengancam kesehatan dan nyawa manusia tetapi juga turut memberi tekanan sosial dan ekonomi. Kebijakan pembatasan sosial di berbagai belahan dunia termasuk Indonesia, memaksa banyak orang bekerja di rumah atau bahkan kehilangan pekerjaan.

Hal ini memungkinkan terjadi tindak kekerasan karena tekanan atas kebutuhan ekonomi disatukan dengan stres yang tinggi karena terjebak di rumah. Lagi-lagi perempuan dan anak menjadi pihak yang terancam karena situasi ini. Inilah alasan kenapa saya tidak nyaman dengan lagu Aisyah Istri Rasulullah. []

Neng Hannah

Neng Hannah

Terkait Posts

Gaji Pejabat

Gaji Pejabat vs Kesejahteraan Kaum Alit, Mana yang Lebih Penting?

1 Juli 2025
Pacaran

Kekerasan dalam Pacaran Makin Marak: Sudah Saatnya Perempuan Selektif Memilih Pasangan!

30 Juni 2025
Pisangan Ciputat

Bukan Lagi Pinggir Kota yang Sejuk: Pisangan Ciputat dalam Krisis Lingkungan

30 Juni 2025
Kesetaraan Disabilitas

Ikhtiar Menyuarakan Kesetaraan Disabilitas

30 Juni 2025
Feminisme di Indonesia

Benarkah Feminisme di Indonesia Berasal dari Barat dan Bertentangan dengan Islam?

28 Juni 2025
Wahabi Lingkungan

Wahabi Lingkungan, Kontroversi yang Mengubah Wajah Perlindungan Alam di Indonesia?

28 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Anak Difabel

    Di Balik Senyuman Orang Tua Anak Difabel: Melawan Stigma yang Tak Tampak

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Meninjau Ulang Amar Ma’ruf, Nahi Munkar: Agar Tidak Jadi Alat Kekerasan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pergeseran Narasi Pernikahan di Kalangan Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mewujudkan Fikih yang Memanusiakan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Taman Eden yang Diciptakan Baik Adanya: Relasi Setara antara Manusia dan Alam dalam Kitab Kejadian

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Gaji Pejabat vs Kesejahteraan Kaum Alit, Mana yang Lebih Penting?
  • Di Balik Senyuman Orang Tua Anak Difabel: Melawan Stigma yang Tak Tampak
  • Meninjau Ulang Amar Ma’ruf, Nahi Munkar: Agar Tidak Jadi Alat Kekerasan
  • Pergeseran Narasi Pernikahan di Kalangan Perempuan
  • Mewujudkan Fikih yang Memanusiakan

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID