Mubadalah.id – Bukan, ia bukan tokoh masa kini seperti Lady Di(ana) atau Lady Gaga. Saya berani jamin Anda pasti kesulitan melacaknya di Vanity Fair atau majalah selebriti kelas Bollywood bahkan Hollywood sekalipun. Sebaliknya, narasi keberadaan Sukayna terserak dalam karya akademik atau relijus yang kita sendiri tahu bahasanya membosankan, belum lagi kerap menggunakan teks Inggris atau Arab.
Saya sendiri mengetahui perempuan khoriqul ‘adah (diluar kebiasaan) ini dari dua karya Fatima Mernissi, intelektual-feminis perempuan kelahiran Maroko; The Veil and Male Elite dan Women’s Rebellion and Islamic Memory. Rasa penasaran yang sedemikian besar telah menuntun saya mengecek jati diri Sukayna ke Encyclopaedia Islam terbitan Brill-Leiden maupun sumber lain.
MENOLAK TUNDUK
Berbeda dengan Lady Di dan Gaga, Lady Sukayna hidup jauh sebelum mereka. Ia masih ingusan saat pembantaian Karbala -sejarah paling kelam dalam perang sipil yang melibatkan keturunan Nabi Muhammad pada 680 Masehi.
Lady Sukayna adalah cicit Rasululloh Muhammad, cucu Fatimah, putri Sayyida Husayn dan Rabab bint al-Amr al-Kays dari klan Kalb. Sukayna atau Sakina adalah nama laqab (julukan), nama aslinya menurut kitab al-Fihrist adalah Umayma, sedangkan menurut Isfahani dalam kitab Aghani, Amina.
Namun bukan statusnya sebagai cicit Nabi yang mengesani. Saya tidak terlalu silau dengan ornamen seperti itu. Kekagetan dan kekaguman saya terletak pada bagaimana sejarah memotret tindak-tanduknya yang kontroversial.
Sukayna digambarkan sebagai perempuan cerdas, jenaka, yang cantiknya di atas rata-rata. Tidak hanya itu, ia adalah jago debat yang mematikan. Mernissi mendeskripsikan perempuan ini dengan kalimat– an explosive mixture of physical attractiveness, critical intelligence, and caustic wit.
Jika anda membayangkan Sukayna hidup dengan burqa yang membungkus rapat tubuhnya, Anda salah. Ia tidak mengenakannya! Jangankan burqa, berkerudung pun tidak. Itu sebabnya Sukayna dikategorikan sebagai barza, sebutan mentereng untuk perempuan (dan laki-laki) dengan konfidensi tinggi; wajahnya tidak disembunyikan, kepalanya ogah ditundukkan.
Seorang barza dikenal memiliki nyali tinggi berbalut kemampuan artikulasi intelektual yang indah dan ‘mematikan’. Dalam bayangan pendek saya, ia kira-kira seperti Najwa Sihab saat menguliti para tamunya di program Mata Najwa.
SUKAYNA: ANTRIAN PENYAIR
Rumah perempuan cicit nabi yg hidup 1336 tahun lalu tak pernah sepi didatangi para penyair yang hampir semuanya laki-laki. Lady Sukayna yang dikenal sebagai penyair seperti halnya ibunya, memang punya ruang khusus (salon) di rumahnya, yang berguna sebagai forum terbuka bagi para penyair mendemonstrasikan kemampuannya. Selalu banyak yang mengantre masuk.
Namun hanya yang lolos seleksi saja yang boleh naik panggung di mana Sukayna sendiri yang menjadi panselnya. “Was it you who wrote the following verses?” tanyanya pada seorang penyair dan Sukayna memberinya panggung serta uang sebagai apresiasi karyanya.
Meski hampir setengah abad hidup sebagai muslim, saya belum bisa percaya telah ada forum keren seperti itu di Madinah ribuan tahun lalu –dengan cicit perempuan Rasululloh yang tidak berjibab itu sebagai host-nya. That’s too good to be true.
Sukayna juga kerap mendatangi forum penyair kota. Di sana ia duduk sejajar dengan nama-nama kondang, sudah pasti laki-laki, seperti Djanr, al-Farazdak, Kuthayyir, Djamil, maupun sosok seperti al-Ahwas.
Ia juga tak segan menantang debat siapa saja yang bersuara miring terhadap almarhum ayah dan kakeknya, Husayn bin Ali dan Ali bin Abi Thalib. Kiprahnya yang sedemikian rupa membuatnya enggan bergabung dengan para sosialita aristokrat di Hijaz, meskipun ia sendiri adalah salah satunya.
MONOGAMI HARGA MATI
Bagi dia, berdiskusi dengan para tokoh dan menghelat acara kebudayaan dengan para penyair, seniman, dan penyanyi, merupakan prioritas. Itu sebabnya, ia mengajukan perjanjian pra-nikah pada setiap laki-laki yang ingin meminangnya. Salah satu isinya, memperbolehkan Sukayna tetap mengeskpresikan kehendaknya sebagaimana ia sebelum menikah, termasuk untuk tetap berteman dengan karibnya, Ummu Manshuz.
Ia juga meminta tidak dibebani aneka macam pekerjaan yang jamak dilakukan kebanyakan istri kala itu. Dan, jangan pernah berfikir untuk bisa mempoligini Sukayna, sebab klausul itu juga ia masukkan kontrak pra-nikah.
Apakah ada pria yang mau menikahinya dengan syarat berat tersebut? Ada, namanya Zayd bin Umar, cucu Utsman bin Affan, khalifah ketiga.
Ada cerita menarik tentang Zayd. Setelah setuju dengan perjanjian pra-nikah yang diajukan, Sukayna menegaskan kembali bahwa tidak ada perempuan lain kecuali dirinya. Ia juga mewanti-wanti suaminya agar tidak mendekati jawari – sebutan budak perempuan untuk tujuan seks. Namun toh Zayd akhirnya terpeleset juga.
Sukayna dikabarkan menangkap basah suaminya bersama salah satu jawari dan membawa kasus ini ke pengadilan. Maka gemparlah seisi kota waktu itu.
Hakim pengadilan tidak kuasa menolak kasus ini karena sudah ada perjanjian pra nikah sebelumnya. Saat memimpin sidang, istri hakim bahkan ikut hadir mendampingi suaminya, saking penasarannya. Tak terkecuali gubernur, yang merasa perlu mengirim intelnya untuk memberikan update persidangan.
Dan Anda tahu apa yang diteriakkan Sukayna ke suaminya di hadapan hakim? Begini “Look as much as you can at me today, because you will never see me again!”.
MENYIBAK TIRAI
Saya tidak tahu bagaimana kasus tersebut berakhir. Namun yang pasti, ketegasan, kemerdekaan dan kemandirian Sukayna sebagai perempuan sesungguhnya jamak ditemui pada Islam awal. Para perempuan Madinah bisa berekspresi setara dengan laki-laki di hampir semua sektor.
Dalam riset panjangnya, Dr. Akram Nadwi, sarjana asal India, berhasil mendokumentasikan sejarah cendekiawan muslim perempuan dalam karyanya setebal 40 jilid. Kebanyakan dari mereka adalah perempuan yang berjasa besar dalam mereservasi hadith.
Lantas kenapa kita (terutama umat Islam) tidak pernah tahu mereka?
Entahlah, namun -menurut Mernissi- hal ini merupakan imbas suksesnya bangsa Arab menyembunyikan dan mengingkari sejarah eksistensi perempuan Arab. Keberadaan mereka semakin terlindas seiring menguatnya ekspansi imperium Islam.
Saya sendiri mengamini tesis Cyntia Enloe; no society can be militerized without changing conceptions of masculinity and feminity. Dan jilbab atau sebutan lain, bagi Mernissi, merupakan salah satu instrumen ampuh perubah konsep tersebut.
Dengan jilbab, saat itu, perempuan ditertibkan pikirannya; bahwa tubuhnya adalah sumber dosa dan rasa malu sehingga perlu rapat dibungkus. Ajaran larangan keluar rumah bagi perempuan digemakan massif. Tujuannya, agar perempuan tidak aktif lagi di arena publik.
Ada kekuatiran besar dalam diri laki-laki dunianya akan remuk redam jika banyak perempuan teracuni virus Sukayna. Tidak ada satu pun lelaki bejat di dunia ini yang senang tertangkap basah istrinya saat beradu peluh dengan jawari. Semakin bodoh perempuan, semakin leluasa lelaki memegang kendali. Bisa dikatakan, konstruksi pewajiban jilbab dalam lintasan historis Islam lebih bersifat politis ketimbang moral.
Diam-diam, saya merasa praktek eliminasi progresifme perempuan juga dilakukan Orde Baru dengan cara menyangkal dan menyembunyikan sejarah gerakan perempuan Orde Lama, sebagaimana riset Saskia E. Wieringa maupun Ruth McVey. Wallohu a’lam.
Sumber: Aan Anshori, Gubuk tulis.com