Ainun, kamu akan ambil fakultas apa?
Kedokteran.
Sungguh?
Kenapa, kamu juga sangsi?
Saya percaya bahwa Ainun nanti jadi dokter yang sangat hebat.
(Percakapan antara Habibie dan Ainun dalam film Habibie Ainun 3)
Baru beberapa hari film Habibie Ainun 3 dirilis sejak tanggal 19 Desember 2019, tapi saya yakin sudah ribuan mata yang menitikan air matanya karena haru melihat bagaimana kegigihan Ibu Hasri Ainun Habibie mengejar cita. Begitupun saya yang keluar bioskop dengan mata sembab dan tisu yang entah habis berapa helai untuk menyeka mata.
Film Habibie Ainun 3 ini menurut saya merupakan film yang mengkritik habis-habisan diskriminasi gender di zamannya. Bayangkan saja, zaman dulu profesi banyak yang memiliki jenis kelamin, bahkan olahraga pun begitu. Salah satu yang digambarkan di film itu adalah kasti, kasti yang dianggap olahraga dengan tingkat kesulitan menebak kehendak gerak lawan mendapat selorohan sebagai olahraga yang identik dengan perempuan karena perempuan juga susah dimengerti.
Dalam hati saya menggerutu, “Huh kalau nggak bisa main kasti ya mengaku saja, jangan jadikan perempuan kambing hitam dan dikata sama-sama susah dimengerti.” Tentu saja gerutuan saya tadi tidak bisa disampaikan kepada aktor film yang memerankannya di Habibie Ainun 3, tapi minimal sudah saya tuliskan di sini.
Ainun yang bercita-cita menjadi dokter mendapat pandangan sebelah mata hanya karena dia seorang perempuan. Perempuan mendapatkan stereotipe makhluk sensitif dan emosional sehingga tidak pantas menjadi dokter yang harus menangani pasien dengan kondisi beragam termasuk menangani pembedahan mayat yang di dalam film digambarkan memiliki bau yang sangat menyengat. Memang zaman dulu dokter identik dengan laki-laki, bukan perempuan. Namun, Ainun melewati segala cibiran kawan hingga guru yang mulanya menyangsikan kemampuannya.
Menurut penulis, Ainun adalah sosok yang sudah selesai bergulat pada dirinya sendiri. Bayangkan saja ketika dulu perempuan mentok menjadi bidan dan dokternya tetap laki-laki, Ainun memberanikan diri untuk bersekolah di Fakultas Kedokteran di kampus ternama UI serta lulus dengan predikat terbaik. Begitulah Ibu Ainun, fokus pada cita-citanya dan tidak peduli cibiran orang.
Ainun mendapatkan dukungan dari orang terdekatnya. Ibunya yang berprofesi menjadi bidan keliling juga awalnya bertanya “Tidak mau jadi bidan saja seperti Ibu?” Ainun menolak, lalu sang ayah mendukung keinginan Ainun apa pun rintangannya. Begitu pula Habibie muda yang meneguhkan keyakinan Ainun untuk menjadi dokter dengan perkataan yang kurang lebih, “Kalau orang pintar ya pasti pintar, tidak peduli laki-laki atau perempuan.”
Profesi memang selayaknya bisa dipertukarkan antara laki-laki dan perempuan, yang dibutuhkan adalah skill tepat sesuai bidangnya. Saya punya cerita. Dua tahun yang lalu saya kedatangan teman laki-laki bertamu di rumah. Dia menuju rumah tanpa kendaraan pribadinya.
Ketika hendak pulang, karena satu dua hal hp nya tidak bisa digunakan untuk memesan ojek di aplikasi online. Jadilah hp saya dengan akun saya sebagai penumpang beridentitas perempuan yang memesankannya. Entah aplikasi online itu memiliki deteksi jika yang memesan perempuan maka mendapatkan driver perempuan atau bagaimana, singkat cerita dengan aku itu saya mendapatkan driver perempuan.
Saya pun langsung berkata kepada teman, “Drivernya perempuan lo, bagaimana?” Tanya saya yang agak khawatir kalau dia kurang berkenan. Dia langsung menjawab, “Untung aku ada pemahaman kesetaraan gender ya, jadi nggak papa kalau dibonceng perempuan.” Kami berdua lalu tertawa.
Jadilah teman saya lelaki itu yang berperawakan tinggi besar dibonceng oleh driver perempuan dengan jarak tempuh kurang lebih 14 km hingga sampai ke rumahnya. Saya membayangkan selama di jalan mungkin ada satu atau dua orang yang membatin, “Kok nggak Mas nya aja si yang di depan, masak malah perempuan yang mengendarai motor membonceng laki-laki.”
Kalau dipikir secara jernih, memang teman saya yang menjadi penumpang walaupun laki-laki itu sudah seharusnya dibonceng karena dia membeli jasa ojek driver, justru kalau teman saya yang laki-laki itu menawarkan diri kepada mbak driver untuk berada di depan, berarti pikirannya sudah terjajah dengan anggapan orang, kalau zaman sekarang sebutannya “mikirin cibiran netizen”. Itulah sekelumit cerita sederhana saya yang mungkin dirasakan juga oleh teman-teman pembaca.
Pengkotakkan profesi yang dipatenkan oleh masyarakat seperti “ini profesi milik laki-laki atau ini profesi milik perempuan” memang masih ada sampai sekarang, meskipun tidak seketat dulu. Dulu dokter masih identik dengan laki-laki, sekarang sudah banyak yang perempuan. Namun masih ada juga sebagian orang yang menganggap jasa sopir itu identiknya dengan laki-laki, jadi petinju normalnya laki-laki, salon normalnya perempuan kalau laki-laki nanti jadi gemulai, dan lain sebagainya.
Padahal yang dibutuhkan dari profesi adalah skill. Contohnya cerita saya tadi driver perempuan kalau dia memang mampu, why not? Jasa salon kalau memang laki-laki lebih berbakat untuk seni memotong rambut, kenapa tidak? Petinju kalau memang perempuan lebih lihai dan mempunyai bakat ya jangan dilarang.
Pengkotakkan profesi oleh masyarakat itu hanyalaah diskriminasi gender semata, tidak mutlak dan bisa diubah. Tergantung kita sebagai masyarakat bisa mengubah pandangan atau tidak jika melihat kejadian seperti teman saya tadi: penumpang laki-laki yang dibonceng driver perempuan.
Profesi memang tidak memiliki jenis kelamin, alias bisa disaling silangkan layak untuk perempuan maupun laki-laki, yang menjadi titik tentu adalah skill, bukan jenis kelamin.
Begitulah refleksi saya menonton kisah Habibie Ainun 3. Seperti apa yang saya katakan di awal tadi bahwa cucuran air mata sudah membuat mata sembab selepas keluar dari bioskop. Sekali lagi, Ibu Ainun sudah selesai dengan dirinya sendiri, bisa menerjang segala cibiran hingga membuktikan dia bisa menjadi lulusan terbaik Fakultas Kedokteran UI.
Mungkin Ainun tidak secara terang-terangan menyebut diri sebagai feminis, namun pola pikir dan ketangguhan hatinya sudah bisa mendobrak sistem profesi yang bersifat patriarki kala itu. Terimakasih Ibu Ainun, cerita hidupmu adalah inspirasi bagi kami.[]