Mubadalah.id – Selasa, 31 Januari 2023, media sosial saya berseliweran berita tentang pasangan yang menikah di KUA. Tidak juga kalah, laman Instagram akun @bimasislam dan akun @mojok.co, juga memposting berita tentang peristiwa ini di hari yang sama. Keviralan nikah di KUA terkonfirmasi saat saya membuka akun twitter. Berita nikah di KUA menjadi trending topic hingga pukul 19.30 WIB.
Nikah di KUA yang sedang trending baru-baru ini merujuk pada postingan akun @odongpejj pada 29 Januari 2023 yang membagikan foto pernikahannya di tahun 2021, dan memberikan caption yang menyebutkan bahwa dia melangsungkan pernikahan di KUA secara gratis. Postingan ini menjadi ramai dan dire-tweet oleh banyak orang yang sebagian besar memiliki pengalaman yang sama saat menikah gratis di KUA.
Ketentuan tentang nikah gratis di KUA tertuang dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2014. Yakni tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2004 tentang tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak yang berlaku pada Departemen Agama. Peraturan ini tertandatangani oleh Presiden RI ke-8. Susilo Bambang Yudhoyono. Meski peraturan ini sudah berlaku hampir satu dekade, namun baru kali ini mendapat perhatian di kalangan generasi muda saat ini.
Stigma Nikah di KUA
Banyak alasan mengapa melangsungkan pernikahan di KUA baru mendapat tempat di kalangan generasi sekarang. Selama ini kemunculan stigma negatif di lingkungan keluarga maupun orang sekitar membuat generasi muda masih berpikir ulang dan terkesan menutup-nutupi pengalaman mereka. Namun bukan disebut anak muda sekarang jika momentum speak up-nya satu orang tidak mereka manfaatkan sebagai titik balik sebuah isu.
Dari sekian banyak stigma tentang pernikahan di KUA ini, ada dua yang mungkin seringkali kita dengar. Pertama, masih kita jumpai mereka yang menganggap bahwa pasangan yang menikah di KUA merupakan pasangan yang mengalami kehamilan tidak diinginkan (KTD). Stigma ini barangkali lahir dari pemikiran masa lampau yang dulu terjadi di kalangan masyarakat tertentu. Zaman berubah, sudah barang tentu stigma kolot jadul yang demikian mesti kita hapuskan. Dan saatnya kini kita menormalisasi nikah di KUA.
Kedua, nikah gratis di KUA karena dianggap tidak mampu atau miskin. Stigma bahwa nikah gratis di KUA hanya diperuntukkan bagi kalangan tidak mampu tentu tidak benar dan tidak berdasar. Merujuk pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2014 telah ada penjelasannya secara gamblang bahwa secara legal formal, pencatatan nikah atau rujuk di atau di luar KUA tidak ada biaya. Ini menjadi dasar pertama yang perlu semua orang pahami.
Pada peraturan selanjutnya, menyebutkan bahwa nikah yang kita laksanakan di luar KUA maka akan terkena biaya transportasi dan jasa profesi sebesar Rp.600.000,- namun bagi mereka yang tidak mampu atau sedang mendapatkan musibah bencana maka nikah yang kita laksanakan di luar KUA dikenakan tarif Rp.00,-.
Sehingga jelas di sini bahwa mencatatkan pernikahan itu gratis. Sedangkan mendatangkan pihak pencatat atau mendatangi pihak pencatat nikah itu menjadi pilihan masing-masing pasangan yang tidak ada kaitannya dengan kondisi pasangan tersebut. Baik dalam keadaan mampu atau tidak. Orang tidak mampu tetap bisa mendatangkan pihak pencatat nikah dengan tanpa membayar. Begitupun orang mampu juga berhak mendatangi KUA tanpa perlu mendapat stigma tidak mampu.
Nikah Gratis, Resepsian Tetep Jalan
Bagaimana dengan nikah gratis di KUA, setelahnya ngadain resepsian ngundang banyak orang di rumah? Sekali lagi, tidak ada kaitan antara memilih mengadakan pernikahan di KUA yang berkonsekuensi positif nol biaya dengan biaya yang kita keluarkan untuk resepsi pernikahan. Mendatangi KUA dalam rangka mencatatkan momen pernikahan itu, telah negara atur sedemikian rupa dengan tanpa ada biaya.
Sedangkan resepsi atau lebih tepatnya walimatul urs dalam rangka mengumumkan pernikahan dan meminta doa restu kepada kalangan luas dengan memberikan hidangan. Yakni berupa makanan, yang dalam kitab Fathul Qarib karya Syekh Muhammad bin Qasim sebutkan paling sedikit adalah seekor kambing.
Barangkali dengan demikian, kita dapat menyimpulkan bahwa memilih mendatangi KUA agar pencatatan nikah ada tarif NOL RUPIAH. Selanjutnya mengalihkan biaya mendatangkan petugas pada biaya resepsi merupakan logika yang justru sah kita terima. Yang masih menjadi pekerjaan bersama kita adalah menormalisasi pernikahan di KUA tanpa harus ada embel-embel stigma negatif tentangnya. Sebagaimana kita mencatatkan berita kelahiran seorang anak pada Dinas Dukcapil. Sesederhana dan senormal itu pula pencatatan nikah pada KUA seharusnya. (bebarengan)