Mubadalah.id – Beberapa waktu lalu, saya berkesempatan bertemu dan berbagi pengalaman dengan salah satu ustazah pondok pesantren di Tebuireng Jombang. Bagi saya, obrolan ini memiliki makna yang luar bisa dalam perjalanan hidup. Sebab selain kembali pada ingatan beberapa tahun silam ketika masih aktif mengaji, dan melakukan kegiatan di pondok pesantren, saya merasa kembali lagi pada pengalaman hidup yang sangat berkesan.
Dalam pengalaman ini, saya memperoleh kesempatan untuk berbicara banyak hal dengan salah satu ustazah pondok mengenali kegelisahannya bersama anak didik. “Duh mbak, saya merasa sudah punya anak banyak. Belum lagi di kamar saya tuh adalah adik-adik santri organisatoris yang memiliki banyak kegiatan. Jadi untuk kegiatan pondok pesantren seperti salat tahajud, mengaji setelah subuh dan sejenisnya. Mereka susah sekali saya bangunkan. Pernah suatu waktu saya dimusuhi oleh santri-santri sekamar karena saya cerewet.
Duh mbak, saya menangis ketika selama beberapa bulan karena kepikiran gimana ya cara menghadapi santri seperti mereka. Sebab saya sendiri merasa tidak nyaman, tidak enak, bahkan merasa sesak hati ketika mendapatkan santriwati yang agak nakal dan egonya tinggi dengan santriwati kebanyakan. Tapi di sisi lain saya memaklumi bahwa mereka sedang berada di fase menuju dewasa,” keluhnya dengan nada yang sangat memperihatinkan.
Saya yang sedari tadi mendengar sambatannya, ikut merasa prihatin. Sebab bagaimanapun, pengalaman menjadi ustazah, mengingatkan pada pengalaman hidup yang pernah saya alami beberapa waktu silam. Mendengar ceritanya, saya tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya “makan hati” setiap hari dan setiap waktu.
Berbagi Pengalaman bersama Ustadzah
Apalagi menjadi ustazah yang ada di pondok pesantren, tidak seperti manusia pada umumnya yang bisa sewaktu-waktu memilih tempat untuk bercerita. Lalu melepaskan penat dan pergi kemana saja untuk menghilangkan rasa pusing dan rasa galau dalam diri. Hiburannya ya hanya di pondok pesantren atau memantapkan hati untuk terus berdoa.
“Bagaimana caramu menghilangkan rasa galau? Kalau seandainya aku jadi kamu, pasti aku sudah gila,” ucapku sambil menertawakannya.
Dia bercerita panjang lebar selayaknya saya bercerita kepada psikolog. Saya senang mendengarkan ceritanya. Tapi di sisi lain saya mencoba untuk memahami tentang kegelisahan yang ia alami. Misalnya ketika mendengar cerita tentang sikap wali santri ketika mengetahui bahwa anaknya bolos dan melakukan banyak pelanggaran di pondok.
“Saya sakit hati mbak ketika wali santri menelpon. Mereka marah kepada saya dan tidak percaya karena anaknya bolos. Kebanyakan mereka justru adalah anaknya pejabat, pemerintahan, yang hanya mau tahu beresnya tentang sang anak tanpa bertanya, apa yang anaknya rasakan, kebutuhan mereka dan sejenisnya.
Tapi mbak, pengalaman tersebut berbanding terbalik. Ketika saya menerima telpon dari orang tua yang berasal dari kalangan masyarakat yang tidak menempuh pendidikan. Mereka sangat berterima kasih kepada saya, dan selalu mohon bimbingan agar anaknya terus diberi tahu dan ditemani supaya bisa mengikuti kegiatan pesantren,” tuturnya mimik muka penuh antusias.
Komunikasi Orang Tua dan Anak
Apa yang bisa saya pahami dari cerita di atas? adalah tentang hubungan orang tua dan anak yang sangat kompleks. Saya memahami bahwa, menjadi remaja khususnya masa-masa SMA adalah fase hidup yang memiliki rasa ingin tahu cukup besar. Kedekatan dengan orang tua adalah harta yang paling berharga. Sebab di sana anak remaja akan menemukan kehangatan dan pengetahuan segala hal yang boleh dan tidak boleh untuk kita lakukan.
Menurut Yusuf, komunikasi orang tua kepada anak dibagi menjadi tiga, di antaranya: Pertama, pola komunikasi membebaskan, yakni mengiyakan segala hal yang diminta oleh anak. Komunikasi yang semacam ini diwujudkan dengan sikap orangtua yang bersikap mengalah, menuruti semua keinginan, melindungi secara berlebihan, serta memberikan atau memenuhi semua keinginan anak secara berlebihan.
Kedua, otoriter. Pola komunikasi ini mempunyai aturan–aturan yang kaku dari orangtua. Dalam pola komunikasi ini sikap penerimaan rendah, namun kontrolnya tinggi, suka menghukum, bersikap mengkomando, mengharuskan anak untuk melakukan sesuatu tanpa kompromi, bersikap kaku atau keran, cenderung emosinal dan bersikap menolak.
Ketiga, pola komunikasi demokratis. Di mana orang tua menghargai dan mencoba untuk mengkomunikasikan sesuatu kepada anaknya. Pola komunikasi ini menghargai kemampuan sang anak dan mencoba untuk mengkomunikasikan atas segala keputusan dalam sebuah keluarga. []