Mubadalah.id – Lembaga pendidikan kita percaya memiliki nilai, budaya, dan prinsip yang menjunjung tinggi martabat manusia. Masyarakat mempercayai bahwa lembaga pendidikan bisa menjadi “bengkel moral” untuk mendidik anak-anak baik dalam hal pengetahuan maupun pendidikan moral. Itu sebabnya lembaga pendidikan masih diminati dan terus memiliki nilai jual untuk mencerdaskan kehidupan anak bangsa dan menciptakan generasi yang berkarakter.
Lantas apa sebabnya kekerasan kerap terjadi di lembaga pendidikan, pendidikan formal ataupun informal, pendidikan agama maupun non agama? Hal ini dapat kita telusuri dari persoalan yang kita sadari ataupun tidak sama sekali serta menganggapnya sebagai kebiasaan tanpa efek sedikitpun.
Buku Teks yang Bias
Buku teks atau bahan ajar di lembaga pendidikan tersusun dengan tim yang berbeda-beda. Kesadaran, orientasi, bahkan nilai yang kita percaya. Itulah sebabnya kita dapat melihat buku-buku teks yang memuat berbagai keganjilan dalam mendidik anak dari tindakan kekerasan simbolik. Buku teks diajarkan, didoktrin, dan dihafal oleh peserta didik untuk memperoleh pemahaman terhadap materi yang sekolah ajarkan.
Kita dapat melihat dan melacak kembali buku-buku teks yang sekolah ajarkan, pemerintah produksi, dan tersebarluaskan ke seluruh peserta didik di Indonesia yang memuat “bias” terhadap pendidikan yang ramah terhadap lingkungan, ramah terhadap pertemanan, dan bersih dari kekerasan. Simbolik maupun fisik.
Berbagai buku teks ini memuat berbagai macam materi yang menjadikan hal-hal negatif sebagai contoh. Meskipun narasi tersebut sebenarnya kita gunakan untuk memudahkan pemahaman anak. Namun tetap menjadi bagian internalisasi terhadap alam bawah sadar mereka, pikiran mereka, hingga kemudian muncul dalam tindakan dan buku perbuatan mereka.
Tidak sedikit kita menemukan contoh negatif, misalnya Roni mencuri buah di kebun petani, Roki mengejek seorang anak yang berasal dari desa dan berpenampilan lusuh, atau robi membeli baju baru dan memamerkan di hadapan teman-temannya. Ini beberapa contoh yang negatif dan bias dari kekerasan simbolik.
Beberapa kekerasan simbolik yang dapat kita temui di buku teks menjadi bahan gurauan sehari-hari siswa di lingkungan sekolah. Kekerasan simbolik dalam buku teks bisa berkaitan dengan soal gaya hidup, pakaian, fisik, minat, bahkan pekerjaan sekalipun.
Misalnya, petani, dalam buku teks selalu menarasikan petani sebagai orang kampung, pedesaan, tidak memiliki cita-cita tinggi, dan berpenampilan kumuh. Padahal kita dapat sadari bahwa tanpa kehadiran petani, orang kota yang selalu mencemooh petani tidak dapat mengkonsumsi apa yang dimiliki saat ini; beras, sayur-sayuran, dan buah-buahan.
Kekerasan Simbolik
Lebih jauh terkait Kekerasan simbolik bagi profesi petani tersebut dianggap rendahan, tidak berpendidikan, dan tidak mengetahui perkembangan zaman. Anak-anak petani di hari libur tergambarkan pergi ke ladang, memancing, mandi di sungai dan bermain sebagaimana anak-anak di desa pada umumnya. Sebaliknya, orang tua yang bekerja di perkantoran tergambarkan anak mereka pergi liburan ke luar negeri, naik pesawat, main ke mall, nonton bioskop, berenang di kolam renang.
Jadi pandangan, pemahaman, dan penilaian yang berbeda dan tidak setara dalam wilayahnya masing-masing tersebut menjadi kekerasan simbolik. Ini penilaian yang tidak setara dan adil. Buku teks menyajikan perbedaan yang kemudian menjadi bahan pertunjukan terhadap nilai yang kita junjung tinggi, menganggap suatu hal bagus dan lain buruk, suatu profesi menjadi standar cita-cita siswa dan profesi lain tidak.
Akibatnya, sulit kita temukan anak-anak di sekolah yang bercita-cita menjadi petani. Apakah petani profesi yang tidak berkontribusi untuk kehidupan manusia, kemajuan negara? Tidak bukan? Bias ini menyebar luas kepada anak didik bersamaan dengan tersebarnya buku-buku teks di sekolah.
Buku teks jelas menjadi bibit dalam mendidik anak. Materi di dalamnya menjadi penilaian, pandangan, bahkan menjadi rujukan bagi anak dalam melihat, merespon, dan bertindak dalam kehidupannya. Tidak heran jika anak hari ini berpandangan selalu oposisi biner, salah-benar, baik-buruk, cantik-jelek.
Lingkungan Sekolah yang Tidak Ramah
Selain buku teks, bibit kekerasan simbolik dapat terjadi dan umum kita temukan di lingkungan sekolah. Di mana kita yakini para peneliti dan tokoh menjadi salah satu pendukung utama dalam mendidik anak dan mempengaruhi terhadap sikap, perbuatan, nilai, dan interaksi anak dalam kehidupan sehari-hari.
Lingkungan sekolah yang tidak ramah terhadap pergaulan, kesetaraan, dan nilai yang kita junjung tinggi dalam pendidikan akan dimanfaatkan menjadi pembenaran terhadap tindakan atau perlakuan anak yang tidak bermoral di lingkungan masyarakat. Lingkungan sekolah hari ini sudah terbiasa dan sesak dengan tindakan bullying. Padahal perbuatan ini sangat tidak benar dalam pandangan agama, moral masyarakat, maupun tujuan pendidikan.
Misalnya, dalam proses pembelajaran tidak jarang kita temui seorang guru mengatakan seorang siswa bodoh dan siswa yang lain pintar. Kemudian dalam bergaul dengan teman sebaya, siswa pun terbiasa mengatakan temannya bodoh. Anak merasa benar karena gurunya pun melakukan demikian. Artinya ada lingkungan tidak sehat, tidak ramah terhadap anak dari berbagai tindakan kekerasan simbolik seperti di atas.
Lingkungan sekolah bahkan kita yakini menjadi proses internalisasi, penanaman, atau pembibitan terhadap nilai, moral, keyakinan, dan perbuatan siswa dalam kehidupan sehari-hari. Lingkungan sekolah yang tidak ramah terhadap kekerasan simbolik maupun fisik berakibat pada tindakan yang tidak kita inginkan.
Oleh karena itu, kekerasan simbolik di sekolah harus menjadi perhatian bersama, guru, pemerintah, pengelola lembaga pendidikan, dan masyarakat. Meskipun demikian kita juga mengapresiasi apa yang telah lembaga pemerintah maupun non pemerintah lakukan dalam mengurangi, menekan, dan menghapus kekerasan simbolik maupun fisik di sekolah. []