Mubadalah.id – Mungkin sebagian orang akan bertanya kenapa ada hari santri? Apa yang istimewa dari santri sehingga perlu diperingati dan dikhidmati bangsa ini. Saya tidak akan menulis sejarah ditetapkannya Hari Santri Nasional (HSN). Tapi hanya berbagi cerita tentang betapa santri adalah elemen bangsa yang begitu unik dan berharga. Saya mulai dari daerah saya, Cirebon.
Sejarah tradisional di Cirebon menyebutkan, komplek pesantrian atau pesantren ditandai dengan dua pohon: kesambi dan asem. Dua pohon ini pasti ditanam di depan gerbang pesantren zaman dulu.
Saya tanya pada orangtua perihal dua pohon itu, kesambi dan asem. Ada yang mengatakan, dua pohon itu adalah perlambang yang artinya disambi mbari mesem atau dalam bahasa Indonesia bisa diartikan ‘disambut dengan senyuman’.
Katanya, siapa pun tamu yang datang, apalagi yang berniat menjadi santri, belajar ilmu agama di pesantren, akan disambut sang syaikh atau kiai dengan penuh kegembiraan.
Islam memang datang tidak dengan paksaan dan pertumpahan darah, melainkan dengan kegembiraan. Bukan dengan menyalah-nyalahkan, tapi dengan menebar kasih sayang. Bukan dengan mengkafirkan, tapi dengan memperluas persaudaraan. Bukan dengan memberangus budaya lokal, melainkan dengan pembumian nilai-nilai.
Pesantren tak pernah mengajarkan doktrin buta, teks tanpa konteks, ajaran tanpa etika sosial, ataupun fiqh tanpa tasawuf. Pesantren mengajarkan tubuh, sekaligus ruh.
Pesantren dengan warna tasawufnya berupaya menjauhkan agama dari jurang curam yang menjadikannya hanya sebatas jargon yang rentan dipolitisasi untuk kepentingan sekelompok orang. Agama yang dipolitisasi sering bertentangan dengan kemanusiaan, bertentangan dengan tujuan agama itu sendiri.
Kiai saya di pesantren selalu berkata bahwa tanda keberhasilan seorang pembelajar di pesantren (santri) bukanlah dari sejauh mana dia menguasai pengetahuan agama ataupun menghafal berapa banyak nadzom Alfiyah, tapi dari seberapa dia memberi manfaat bagi masyarakatnya, bangsanya.
Pesantren mengajarkan bahwa skor tertinggi seorang muslim adalah saat–dengan ilmunya–dia bisa memasyarakat. Menjadi bagian dari masyarakat. Bukan dengan ilmunya, kemudian dia malah menyalahkan masyarakat.
Dengan begitu, santri yang ada di pesantren-pesantren Indonesia dididik dan ditempa untuk menjadi bagian tak terpisahkan dari masyarakat Indonesia yang punya kultur khas. Karakter yang sangat berbeda dengan kultur bangsa lainnya, termasuk dari bangsa-bangsa Timur Tengah.
Pesantren dan santri identik dengan realitas keindonesiaan. Pada akhirnya, sebagai sub-kultur, pesantren terus melestarikan ajaran-ajaran Islam yang sesuai dan senafas dengan alam dan semangat keindonesiaan. Itulah Islam Nusantara.
Pesantren melakukan itu semua secara natural. Alami, mengalir bagai air. Hal ini tak lain sebagai sunnatullah, keniscayaan, implikasi logis dari keyakinan pesantren yang amat besar bahwa masyarakat adalah tujuan dari segala ajaran agama, termasuk Islam.
Agama itu diciptakan untuk manusia, bukan untuk Tuhan. Apalagi hanya untuk sebagian kelompok yang mengaku paling salih saja. Bukan. Ajaran-ajaran agama diturunkan untuk mengembalikan manusia pada kodrat kemanusiaannya.
Jihad Santri
Saat masyarakat bangsa Indonesia terancam imperialisme dan kolonialisme Barat, santri pun sigap turun tangan. Hal ini tak lepas dari landasan filosofis pesantren dan santri di atas.
Andai masyarakat dan bangsa Indonesia hancur, maka hancur pula seluruh tujuan agama. Andai begitu, Islam yang dipeluk orang-orang bangsa ini ‘gagal’ menjadi agama.
Santri pun angkat senjata demi tegaknya tujuan-tujuan Islam di atas bumi Nusantara. Resolusi Jihad yang dikeluarkan para kiai Nahdlatul Ulama (NU) di Surabaya, 22 Oktober 1945, menjadi tanda bahwa santri tak tinggal diam. Sebuah ungkapan rasa cinta santri pada bangsanya.
Para pahlawan santri patut kita teladani pengetahuan, pendirian dan sikapnya. Mereka pahlawan bagi bangsa juga bagi agamanya. Generasi sekarang berutang pada mereka. Kita harus membayarnya dengan memastikan generasi berikutnya tetap berdiri kukuh membela bangsa.
Allah sudah memberikan kita banyak contoh bangsa yang hancur dan menderita. Mereka tak bisa melaksanakan tujuan-tujuan Islam yang mulia itu di tanahnya. Tentu kita tak ingin seperti demikian. Karena kita Indonesia. Meski berbeda-beda, tetapi tetap satu.
Cinta mati santri pada bangsanya muncul dari keimanananya pada Sang Pencipta. Jauh-jauh hari, K.H. Wahab Hasbullah menegaskan bahwa mencintai Tanah Air adalah bagian dari iman (hubb al-wathan min al-iman).
Kiai Wahab menyiratkan dalam lagu Ya Lal Wathon bahwa kecintaan santri kepada bangsanya tak akan pernah mati karena cinta tersebut berangkat dari keimanannya. Cinta yang bersanding dengan kerinduan pada Tuhan.
Akhir kata, saya ingin mengajak seluruh anak bangsa, siapapun yang mencintai Indonesia, untuk menyambut Hari Santri dengan penuh suka cita. Mencintai dan menjaga bangsa ini adalah kewajiban teologis kita semua. []