Mubadalah.id – Dalam relasi pernikahan, perempuan harus dipandang sebagai subjek utuh. Perempuan harus dipandang sebagai pribadi yang mulia dan bermartabat (martabah).
Sehingga tidak bisa “dilangkahi” begitu saja, tidak dilihat kemampuannya, tidak dipertimbangkan kemauannya, dan tidak diperhitungkan kerelaannya.
Semua tindakan yang tidak mempertimbangkan kemuliaan harkat dan martabat perempuan, dalam hal inisiasi pernikahan, adalah haram. Ia bertentangan dengan makna dasar (al-ba’ah).
Lebih dari itu, ia juga melawan visi dasar Islam yang rahmat li al-‘alamin dan akhlik karimah. Karena semua tindakan tersebut sama sekali tidak rahmah dan tidak menjadi anugerah bagi perempuan sebagai insan yang mulia dan bermartabat. Tindakan tersebut juga melanggar asas-asas akhlak mulia dalam Islam.
Manfaat Pernikahan
Begitu pun makna tentang dampak manfaat dari pernikahan. Ia juga harus dirasakan perempuan, di samping juga dirasakan laki-laki, sebagai sama-sama subjek individu yang mulia dan bermartabat (martabah).
Dampak manfaat dari pernikahan ini (mashlahah), harus dilakukan dan sekaligus dirasakan oleh keduanya, laki-laki sebagai suami dan perempuan sebagai istri.
Jika salah satu memiliki kapasitas lebih dalam hal tertentu, prinsip keadilan (‘addilah) menuntutnya untuk memberdayakan yang tidak (kurang) memilikinya.
Salah satu manfaat yang disebut dalam teks Hadis adalah kepuasan mata dan syahwat, yang bisa jadi secara seksual.
Manfaat ini hanya salah satu saja. Tidak satu-satunya. Karena masih banyak lagi dampak manfaat yang bisa mereka wujud dalam relasi pernikahan.
Manfaat Seksual
Ambillah manfaat seksual sebagai contoh penjelasan mubadalah. Manfaat seksual ini menjadi hak bersama laki-laki dan perempuan, yang satu dari yang lain. Sekaligus menjadi kewajiban keduanya, satu terhadap yang lain.
Pertimbangan kepuasan seksual tidak bisa hanya merujuk kepada kebiasaan dan kebutuhan laki-laki, melainkan juga harus mempertimbangkan pengalaman dan kebutuhan perempuan.
Yang paling aktif di antara keduanya harus bersabar dan membantu yang kurang aktif dari keduanya. Yang sedang membutuhkan, dari keduanya, harus saling membantu untuk bisa memenuhi pasangannya, sekalipun sedang tidak membutuhkannya.
Namun, tentu, dengan cara-cara yang baik, dengan memperhatikan faktor-faktor fisik, psikis, dan faktor yang lain.
Idealnya keduanya mengondisikan bersama untuk samasama aktif, memulai, melakukan, dan menikmati kepuasan seksual tersebut.
Namun, praktiknya sering kali, karena persoalan fisik, psikis, usia, sosial, dan berbagai tuntutan hidup, tidak semua bisa berada pada kondisi ideal.
Sehingga memerlukan pengertian bagi yang mampu, dalam hal apa pun, untuk bersabar menemani, membantu, dan memberdayakan yang tidak (kurang) mampu.*
*Sumber: tulisan Faqihuddin Abdul Kodir dalam buku Perempuan (Bukan) Makhluk Domestik.