Mubadalah.id – Saat sesi live Instagram minggu kedua Ramadan, aku berkesempatan menjadi host live instagram Mubadalah.id, di sana banyak berbincang-bincang dengan Kak Nuansa Garini dari Rahima atau yang akrab saya sapa Kak Nunu. Live instagram pada umumnya tapi buatku serasa lagi deep talk dapat konsultasi gratis soal kehidupan.
Apalagi buat kita yang sering ngerasa dikerdilkan ketika menjadi diri kita yang sesungguhnya, ketika kita menunjukkan warna apa yang kita sukai lalu warna itu dianggap nggak ideal karena warnanya nggak ada dalam 12 pilihan warna. Realitanya warna nggak hanya 12 kan ya?
Atau bukan dikerdilkan tetapi malah mengkerdilkan diri sendiri. Karena kalah start dari yang lain. Jam tidur malah sering kita pakai buat overthinking soal masa depan, karena kita yang masih gini-gini aja. Padahal sebagian besar hanya khayalan pikiran kita sendiri.
Akibatnya kita makin nggak bisa menikmati segala peristiwa yang udah kita lalui. Bukannya jadi solusi yang terang benderang tapi justru makin kabur dan makin jadi kusutan benang yang numpuk di kepala. Sebenarnya apa sih yang terjadi? Bagaimana kita bisa mengelola seni membangun karakter diri ini?
Asasinasi Karakter
Live IG ini sebetulnya datang dari Instagram story Kak Nunu soal asasinasi karakter (pembunuhan karakter). Dalam statusnya Kak Nunu bercerita seringkali ia dapat penolakan. Karena dianggap berbeda secara pemikiran dan tindakan dengan orang lain.
Penolakan itu bisa dalam bentuk olokan, serangan personal, propaganda sosial dan perlakuan nggak enak lainnya. Aku yang ngerasa relate juga mulai membagikan pengalamanku, secara nggak sadar emang aku udah pernah ngerasain asasinasi karakter dari external yang ujungnya malah diinternalisasi ke diri sendiri lalu jadi defisit kesubjekan.
Defisit Kesubjekan
Defisit kesubjekan ini bikin diri kita makin nggak keliatan. Norma yang kita yakini makin blur, menganggap pengalaman kita nggak valid. Rasa sedih sering kita anggap cengeng, amarah yang dianggap temperamen, atau bahagia yang dianggap berlebihan. Padahal manusiawi banget kan buat ngerasain emosi-emosi itu? Dan ini salah satu seni membangun karakter diri.
Hal lainnya, bisa juga terjadi karena kita punya standar tunggal, meyakini pengalaman orang lain lebih baik dari pada pengalaman kita. Aku sering banget ngerasa berbeda, udah nikah jalan setahun kok belum hamil juga, hanya karena ngeliat teman-teman sepantaranku bisa langsung hamil pasca mereka menikah.
Dari sana aja udah ketahuan menjadikan standar kehamilan itu sesuai dengan kondisi reproduksi orang lain tanpa tahu gimana kondisi sistem reproduksi aku dan suami. Nah, dari asasinasi karakter hingga deficit kesubjekan ini Kak Nunu juga membagikan cara seni membangun karakter diri supaya kita nggak makin tenggelam.
Yuk! Bangun dan Pertahankan Karakter Diri
Pertama, bikin pola komunikasi yang asertif. Saat live, aku melontarkan sebuah pertanyaan “realitanya kita sebagai manusia kadang suka gemes ya sama kesalahan yang dilakukan sama orang lain, pengen gitu komentarin atau kasih masukan, itu gimana caranya Kak Nunu?”
Kak Nunu langsung memberikan jawaban yang singkat yaitu, “jangan memberikan komentar atau apapun itu kalau nggak diminta.” Dalam kondisi tertentu, ada juga orang yang ingin mengetahui feedback dari kita. Maka bikin komunikasi yang asertif yang tanpa menghakimi dan tetap respect sama lawan bicara kita. Komunikasi asertif juga nggak berenti hanya untuk komunikasi dengan orang lain, tetapi juga dengan diri sendiri.
Tapi, di lain kondisi ketika kita berusaha bikin komunikasi yang asertif, pasti ada aja komentar yang datang untuk diri kita entah dari mana arahnya. Maka, yang bisa kita lakukan adalah sejauh komentar itu konstruktif, kita bisa jadikan bahan evaluasi untuk diri. Namun jika komentarnya destruktif kita harus memproteksi ini melalui batasan yang kita bangun, misalnya dengan memberi jarak sejenak.
Kedua, jika kita atau orang lain melakukan kesalahan, ubah mindset dengan kita sedang berkembang. Kita nggak lagi membebani diri dengan focus menyalahkan siapapun juga diri sendiri, percaya bahwa setiap orang pasti berkembang seiring dengan pengalaman yang masing-masing dari kita jalani. Baik itu perkembangan keilmuan, mental, juga spiritual.
Proses Memahami Diri dan Orang Lain
Aku mulai tersadar bahwa aku yang dulu pasti nggak akan sama dengan aku yang sekarang, lantas apakah itu sama saja dengan aku yang dulu telah hilang karakternya? Ternyata nggak sesimpel itu loh gais menyimpulkan bahwa karakter kita hilang.
Contohnya, sebelum aku dapat pengetahuan soal kesetaraan gender, aku seringkali mentoleransi candaan-candaan seksis. Bahkan seringkali menjadikan tubuhku sendiri sebagai objek bahan candaan. Seiring perkembangan informasi soal keadilan gender, akhirnya aku mulai nggak nyaman dengan candaan tersebut yang pada akhirnya aku mulai membatasi diri dengan teman atau kerabat yang sering menjadikan tubuh perempuan sebagai stok bahan candaan.
Emang sih sering ngerasa –kok circle gua makin sempit aja ya?- tapi di balik itu aku malah dikelilingi sama orang-orang yang punya pemikiran sefrekuensi, circle-ku bukan lagi diukur secara kuantitas tapi kualitas sehingga aku bisa terus tumbuh dan berkembang.
Hal ini juga berlaku untuk orang lain, jika ada teman atau kerabat yang mungkin sikap dan tutur katanya mulai berubah. Kita harus sadar bahwa dia mungkin juga mengalami masa yang sama dengan kita, dia sedang berkembang. Dan jangan putus silaturahmi ya, momen lebaran nanti bisa jadi ajang untuk bermaafan atau bertukar kabar.
Ketiga, journaling soal perasaan kita hari ini. Ketika kita merasa nggak ada yang mendengarkan kita, seakan dunia ini nggak adil, tenang ya salingers ingat soal deficit kesubjekan tadi. Kita harus sadar bahwa kita masih punya diri sendiri untuk mendengarkan.
Misalnya dengan memakai media voice note atau nulis apa saja yang kita rasakan di buku harian. Jangan lupa untuk terima diri kita apapun keadaannya, jujur sama diri sendiri. Syukur-syukur kita mulai bisa belajar terbuka sama orang baik yang kita percaya. Karena apapun yang kita rasakan dan yang kita alami, itu semua valid. []