Mubadalah.id – Al-Marhum KH. Ali Yafie dikenal sebagai ulama yang sering mendasarkan pandangan fiqhnya pada konsep Maqashid asy-Syari’ah (tujuan-tujuan hukum Islam). Konsep ini, di tangan ulama klasik, telah mengerucut pada prinsip yang lima (al-kulliyat al-khams). Yaitu, perlindungan jiwa (hifdh an-nafs), akal (hifdh al-‘aql), harta (hifdh al-mâl), keluarga (hifdh an-nasl) atau kehormatan (hifdh al-‘irdh), dan agama (hifdh ad-dîn).
Dalam ilmu metodologi hukum Islam (Ushul al-Fiqh), konsep al-kulliyat al-khams (prinsip yang lima) dikenal sangat populer. Konsep ini merupakan warisan klasik fiqh (hukum) Islam dari perdebatan diskursif mengenai maqâshid asy-syarî’ah (tujuan-tujuan ajaran Islam). Ia menjadi pokok-pokok metodologis untuk memahami ajaran dan hukum Islam dari sumber-sumbernya, al-Qur’an dan Hadits, sekaligus untuk merumuskannya kembali dan mengembangkannya agar relevan dengan konteks yang baru dan terus berkembang (shalih likulli zaman wa makan).
Dengan merujuk pada al-Kulliyat al-Khams ini, KH. Ali Yafie mengusulkan tambahan hifz al-bi’ah (perlindungan alam dan lingkungan) sebagai prinsip keeanam, sehingga menjadi al-kulliyat as-sitt. Artinya, perlindungan alam dan lingkungan hidup menjadi niscaya untuk melindugi jiwa, akal, harta, keluarga, dan agama.
Selain mendasarkan pada al-kulliyat al-khams yang menjadi warisan klasik, ada dua pendekatan KH Ali Yafie untuk mengokohkan hifz al-bi’ah sebagai salah satu prinsip dalam Maqashid asy-Syari’ah. Yaitu penelitian empirikal (istiqra’ al-waqi’) dan penelusuran tektual (istiqra’ al-nushush).
Data Kerusakan Alam
Penelitian empirikal berdasarkan pada data-data kerusakan alam akibat dari pengabaian-pengabaian yang manusia lakukan. Mulai dari kebijakan pembangunan negara-negara maju dan berkembang yang merusak alam, menggunduli hutan, mengotori dan mengeringkan air tanah.
Lalu mencemari udara dan lautan, merusak lapisan ozon yang menjadi perisai kita dari sengatan matahari, menambah panas global, mencairkan es kutub utara dan selatan. Selain itu banyak lagi kerusakan lain dampak dari model relasi manusia yang eksploitatif dan tidak ramah dengan lingkungan.
Data-data yang ditunjukkan berbagai badan dunia mengenai hal ini dan dirasakan semua umat manusia, bagi KH. Ali Yafie, sudah cukup untuk mengorekasi perilaku kita dan terutama kebijakan negara untuk melindungi alam dan lingkungan hidup. Di sisi lain, hasil penelitian empirikal ini, dengan dasar visi kemaslahatan Islam, bagi KH. Ali Yafie adalah penting memainstreamkan hifz al-bi’ah dalam konsepsi Maqashid asy-Syari’ah.
Pendekatan kedua adalah penelusuran tekstual pada sumber-sumber hukum Islam, terutama al-Qur’an dan Hadits. Termasuk juga khazanah fiqh dan ushul fiqh. Dalam buku “Fiqih Lingkungan Hidup” (2006), KH. Ali Yafie merujuk pada 93 ayat dan 12 teks Hadits untuk pengukuhan hifz al-bi’ah dalam al-Kulliyat as-Sitt pada Maqashid asy-Syari’ah.
Teks-teks ini secara umum berbicara tentang pemberian nikmat Allah Swt kepada manusia berupa alam semesta, udara, air, tanah, dan seluruh ekosistem yang ada. Pentingnya memelihara alam, dampak destruktif perusakan alam oleh manusia, dan misi berbagai nabi dan rasul untuk memulihkan keseimbangan dan kebaikan kehidupan di muka bumi.
Pentingnya Hifz al-Bi’ah pada Pembahasan Fikih
Sementara dari kajian atas teks-teks fiqh dan ushul fiqh, KH. Ali Yafie menyimpulkan pentingnya hifz al-bi’ah dari pola pembahasan fikih yang berawal dari kebersihan (ath-thaharah). Lalu diakhiri dengan sikap tertib (at-tartib), dan disemangati dengan elan pembebasan dari kerusakan dan keburukan (al-‘itq). Yakni berdasarkan pada nilai-nilai kemaslahatan (al-mashlahah), keadilan (al-‘adalah), kerahmatan (ar-rahmah), dan kearifan (al-hikmah).
Dua pendekatan ini, empirikal dan tekstual, tidak hanya menegaskan prinsip hifz al-bi’ah sebagai Maqashid asy-Syari’ah. Melainkan juga pada penegasan suatu pandangan hidup Islami yang ramah lingkungan dan tidak egosentris. Fikih sebagai penjabaran dari nilai-nilai al-Qur’an dan Hadis, serta implementasi kaidah-kaidah dasar fikih, harus menjadi pondasi moral dan kebijakan bagi pengembangan wawasan lingkungan hidup (fiqh al-bi’ah).
Pengembangan ini harus masuk pada dimensi teologis spiritual, politik, ekonomi, sosial, dan kultural. Fikh lingkungan hidup, dengan prinsip hifz al-bi’ah, harus bisa “menyadarkan manusia yang beriman supaya menginsafi bahwa masalah lingkungan hidup tidak dapat kita lepaskan dan tanggung-jawab manusia yang beriman dari amanat yang diembannya.
Yakni untuk memelihara dan melindungi alam karunia Sang Pencipta Yang Maha Pengasih dan Penyayang, sebagai hunian tempat manusia dalam menjalani hidup di bumi ini” (Fiqih Lingkungan Hidup, hal. 42-43). Wallahu a’lam. []