• Login
  • Register
Minggu, 8 Juni 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Featured

Hari Pendidikan Nasional dan Kiprah Nyi Hadjar Dewantara yang Terlupakan

Ki Hadjar Dewantara dan RA Soetartinah merupakan pasangan keluarga yang serasi, selaras, dan memiliki visi misi yang sama yakni untuk memajukan pendidikan Indonesia

Muhammad Nasruddin Muhammad Nasruddin
02/05/2023
in Featured, Figur
0
Hari Pendidikan Nasional

Hari Pendidikan Nasional

1k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Setiap 2 Mei beranda media sosial saya selalu dipenuhi oleh pamflet-pamflet bertuliskan Hari Pendidikan Nasional. Biasanya tulisan ini bersanding dengan foto Pahlawan yang biasa kita kenal dengan Ki Hadjar Dewantara. Maklum, memang tanggal tersebut merupakan saat kelahiran tokoh yang popular dengan Bapak Pendidikan ini.

Sosok dengan nama kecil Raden Mas Soewardi Soerjodiningrat merupakan cucu dari Paku Alam III. Beliau lahir dari kalangan keraton Yogyakarta, tepatnya pada 2 Mei 1889. Namun menjelang usia 40-an tahun Beliau menanggalkan gelar kebangsawanannya. Beliau mengganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara supaya lebih dekat dengan masyarakat bawah.

Bapak Pendidikan Indonesia

Jika kita melihat logo dinas pendidikan maka kita akan menjumpai salah satu semboyan Ki Hadjar Dewantara yang begitu terkenal, Tut Wuri Handayani. Semboyan yang bermakna di belakang memberikan dorongan ini merupakan satu di antara  tiga semboyan lainnya yakni ing ngarsa sung tuladha (dii depan memberi contoh) dan ing madya mangun karsa (di tengah membangun niat dan kemauan).

Ki Hadjar Dewantara merupakan sosok aktivis dan wartawan yang mempunyai kepedulian besar terhadap dunia pendidikan di Indonesia. Masa kolonial Belanda yang hanya membolehkan kalangan ningrat yang dapat mengenyam pendidikan membuat masyarakat awam menjadi terdeskriminasi.

Oleh karena itu Ki Hadjar Dewantara mulai merintis Perguruan Taman Siswa yang Beliau dirikan pada tahun 1922. Dengan sistem among-nya beliau berusaha memberikan ruang kepada setiap kalangan masyarakat untuk memperoleh pendidikan. Bahkan konsep pendidikan Beliau yang bersendikan kekeluargaan dengan bersandar pada kodrat alam dan kemerdekaan kemudian turut melahirkan kurikulum merdeka belajar seperti yang Nadiem Makarim agendakan saat ini.

Baca Juga:

Jam Masuk Sekolah Lebih Pagi Bukan Kedisiplinan, Melainkan Bencana Pendidikan

Ketuhanan yang Membebaskan: Membangun Perdamaian dengan Dasar Pancasila

Fenomena Inses di Indonesia: Di Mana Lagi Ruang Aman bagi Anak?

Menilik Peran KUPI Muda dalam Momen Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

Atas dedikasi Ki Hadjar Dewantara yang begitu tinggi, Beliau kemudian kita kenal dengan sebutan Bapak Pendidikan Indonesia. Bahkan, sesuai dengan Surat Keputusan Presiden RI Nomor 316 tahun 1959, tanggal kelahiran Beliau ditetapkan sebagai Hari Pendidikan Nasional.

Namun, rasanya kurang adil jika kita hanya mengenal Ki Hadjar Dewantara tanpa menyebut kiprah sosok di balik perjuangannya. Seperti halnya pepatah yang mengatakan di balik laki-laki yang kuat terdapat perempuan yang hebat. Beliau adalah Raden Ajeng Soetartinah, yang tak lain adalah istri Ki Hadjar Dewantara.

Nyi Hadjar Dewantara dan Perjuangan yang Terlupakan

Dalam lipatan sejarah, mungkin kisah Raden Ajeng Soetartinah kurang begitu popular dari tokoh perempuan lain seperti Kartini, Dewi Sartika, Nyai Walidah, maupun Rasuna Said. Bukan bermaksud membandingkan, namun tulisan ini hanya untuk menunjukkan bahwa kiprah Raden Ajeng Soetartinah atau yang kita kenal dengan Nyi Hadjar Dewantara ini ada dalam sejarah.

Beliau lahir pada 14 September 1890 atau setahun lebih muda dari Ki Hadjar Dewantara. Terlahir dari pasangan Kanjeng Pangeran Haryo Sosroningrat dan Raden Ayu Y Mutmainah membuatnya bisa mengenyam pendidikan seperti masyarakat lain dari kalangannya. Ia menamatkan sekolah di Europease Lageree School (ELS) pada 1904. Kemudian, ia melanjutkan ke sekolah guru dan mengabdikan diri sebagai pengajar di sekolah yang Priyo Gondoadmodjo dirikan.  Tiga tahun setelah itu Beliau menikah dengan Ki Hadjar Dewantara.

Seperti halnya suaminya, Nyi Hadjar Dewantara juga memiliki kepedulian besar terhadap dunia pendidikan. Ia selalu setia mendampingi perjuangan suaminya. Bahkan ketika pemerintah kolonial mengasingkan Ki Hadjar Dewantara ke Belanda sejak 13 September 1913 hingga 26 Juli 1919, ia juga ikut bersamanya. Mereka berdua tidak hanya sekadar terikat dalam hubungan suami-istri, namun telah menjadi kawan seperjuangan.

Penggagas Kongres Perempuan Pertama

Pada 22-25 Desember 1928, sekitar dua bulan setelah Sumpah Pemuda, Kongres Perempuan I berhasil diselenggarakan.  Dalam kongres yang bertempat di Dalem Joyodipuran, Yogyakarta ini, hadir sekitar 30 organisasi perempuan dari Jawa maupun Sumatera.

Nyi Hadjar merupakan sosok yang menginisiasi terlaksananya Kongres Perempuan ini yang bertujuan untuk menyatukan cita-cita memajukan perempuan Indonesia. Selain menjadi media menjalin tali silaturahmi antar organisasi penggerak, kongres ini juga melahirkan serikat perkumpulan yang kita kenal dengan Perserikatan Perempuan Indonesia (PPI).

Gerilya Pendidikan

Semangat yang tak pernah padam untuk mencerdaskan warga pribumi membuat Nyi Hadjar Dewantara harus melakukan gerilya pendidikan. Terlebih ketika Pemerintah Hindia Belanda menganggap Taman Siswa sebagai “sekolah liar”. Upaya ini Beliau laksanakan sebagai cara untuk melawan kebijakan itu.

Di bawah instruksi Nyi Hadjar, guru-guru Taman Siswa dengan gigih bergantian mendatangi rumah muridnya dan memberikan pengajaran di sana. Bahkan berkat kegigihan tersebut, banyak sukarelawan dari berbagai organisasi pergerakan yang bergabung menjadi guru dengan konsekuensi yang tidak ringan, yakni siap ditangkap.

Memimpin Taman Siswa

Sejak Ki Hadjar wafat pada 1958, RA Soetartinah melanjutkan kepemimpinan Perguruan Taman Siswa hingga tahun 1970. Nyi Hadjar juga termasuk tokoh penting yang mendirikan Universitas Sarjanawiyata Taman Siswa. Pada tahun 1965 Beliau pun pernah menjabat sebagai rektor pada kampus tersebut.

Kegigihannya dalam dunia pendidikan membuat Nyi Hadjar Dewantara mendapat gelar kehormatan Satya Lencana Kebudayaan pada 13 April 1968. Pemerintah Indonesia juga menetapkannya sebagai pahlawan pergerakan kebangsaan dan kemerdekaan RI pada 16 April 1971. Hal ini sesuai dengan keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia No.Pal. 52/61/PK.

Ki Hadjar Dewantara dan RA Soetartinah merupakan pasangan keluarga yang serasi, selaras, dan memiliki visi misi yang sama yakni untuk memajukan pendidikan Indonesia.

“Aku tak tahu apa yang akan terjadi dengan hari kemudian apabila tiada Nyi Hadjar,” ujar Ki Hadjar Dewantara saat menerima perhargaan berupa padepokan dari keluarga besar Taman Siswa. []

 

 

Tags: Hari Pendidikan NasionalIndonesiaKi hadjar dewantaranyi hadjar dewantarapendidikan
Muhammad Nasruddin

Muhammad Nasruddin

Alumni Akademi Mubadalah Muda '23. Dapat disapa melalui akun Instagram @muhnasruddin_

Terkait Posts

Hj. Biyati Ahwarumi

Hj. Biyati Ahwarumi, Perempuan di Balik Bisnis Pesantren Sunan Drajat

23 Mei 2025
Nyai Nur Channah

Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah

19 Mei 2025
Nyai A’izzah Amin Sholeh

Nyai A’izzah Amin Sholeh dan Tafsir Perempuan dalam Gerakan Sosial Islami

18 Mei 2025
Nyai Ratu Junti

Nyai Ratu Junti, Sufi Perempuan dari Indramayu

17 Mei 2025
Nyi HIndun

Mengenal Nyi Hindun, Potret Ketangguhan Perempuan Pesantren di Cirebon

16 Mei 2025
Ibu Nyai Hj. Djamilah Hamid Baidlowi

Ibu Nyai Hj. Djamilah Hamid Baidlowi: Singa Podium dari Bojonegoro

9 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Jam Masuk Sekolah

    Jam Masuk Sekolah Lebih Pagi Bukan Kedisiplinan, Melainkan Bencana Pendidikan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Masyarakat Adat dan Ketahanan Ekologi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • 3 Faktor Sosial yang Melanggengkan Terjadinya KDRT

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Iduladha: Lebih dari Sekadar Berbagi Daging Kurban

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Fenomena Walid; Membaca Relasi Kuasa dalam Kasus Kekerasan Seksual

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Kursi Lipat dan Martabat Disabilitas
  • Jalan Tengah untuk Abah dan Azizah
  • 7 Langkah yang Dapat Dilakukan Ketika Anda Menjadi Korban KDRT
  • Jam Masuk Sekolah Lebih Pagi Bukan Kedisiplinan, Melainkan Bencana Pendidikan
  • Iduladha: Lebih dari Sekadar Berbagi Daging Kurban

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID