Mubadalah.id – Victim blaming merupakan sikap yang menyudutkan serta menyalahkan korban kekerasan seksual, bahkan korban diminta pertanggungjawaban terhadap apa yang telah dialami. Istilah victim blaming biasanya lebih sering tertuju pada korban kasus kekerasan, pelecehan, dan penyerangan seksual hingga pemerkosaan. Baik di dalam maupun di luar rumah.
Kondisi ini tentu saja akan merugikan korban, sebab alih-alih mendapatkan keadilan, korban justru disalahkan dan bahkan seringkali juga dipidanakan. Misalnya dalam kasus Baiq Nuril.
Dilansir dari BBC News Indonesia Baiq Nuril yang merupakan guru honorer di SMAN 7 Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB) dinyatakan bersalah setelah menyebarkan rekaman bermuatan asusila yang dilakukan oleh rekan kepala sekolahnya.
Tidak hanya itu Baiq Nuril dalam putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) juga dihukum selama enam bulan penjara serta denda Rp 500 juta karena terjerat UU ITE.
Di sisi lain masyarakat sekitar juga menstigma serta menghakimi Baiq Nuril sebagai perempuan penggoda dan diam-diam memiliki hubungan gelap dengan rekan kerjanya tersebut.
Dari kondisi Baiq Nuril yang memprihatinkan ini, kita bisa lihat bagaimana victim blaming ini sangat merugikan perempuan korban pelecehan seksual. Ibaratnya korban sudah jatuh, tertimpa tangga pula.
Hal tersebut tentu membuat korban seolah tidak ada serta menghiraukan perasaan dan nilai kemanusiaannya. Sikap victim blaming dapat menimbulkan pengaruh buruk terhadap korban, membuat korban menerima beban ganda dari satu tragedi kejahatan seksual, korban mengalami kekerasan seksual sekaligus penyalahan dari sebagian masyarakat.
Victim Blaming Salah Satu Warisan Budaya Patriarki
Fenomena victim blaming sangat erat kaitanya dengan budaya patriarki. Dalam budaya ini, laki-laki dianggap lebih dominan dan berpengaruh dalam hal apapun, sedangkan kedudukan perempuan dianggap rendah, tidak berdaya dan dilemahkan.
Dengan begitu, dalam banyak kejadian perempuan selalu menjadi tumbal yang patut untuk disalahkan, begitupun dalam kasus kekerasan seksual.
Banyak perempuan korban kekerasan yang merasa bersalah dan takut untuk melapor. Sebab ketika ia speak up seringkali korban mendapatkan pertanyaan-pertanyaan yang menyudutkan. Serta penghakiman yang menambah beban ia sebagai korban.
Misalnya “waktu kejadian pakai baju apa”, “Kamu suka keluar malam sih, pantes aja di lecehkan”, “Kamu melawan gak waktu diperkosa, kalau enggak berarti ikut menikmati”.
Pertanyaan-pertanyaan yang menyalahkan korban tersebut merupakan bentuk victim blaming yang tentu saja akan membuat para korban takut untuk melapor. Bahkan menceritakan kejadian mengerikan yang perempuan alami.
Dengan begitu jika kondisi seperti ini terus kita biarkan atau bahkan menjadi hal biasa terjadi di masyarakat. Maka akan sangat berbahaya terhadap keamanan serta kesehatan mental korban. Di samping itu para pelaku juga akan merasa aman serta merasa sebagai predator yang tak terkalahkan. Padahal, korban tidak seharusnya mendapat hukuman atas tindakan kejahatan yang bahkan sama sekali tidak ia inginkan.
Oleh karena itu mari berpihak para korban dengan tidak menyudutkan, dan menghindari perilaku victim blaming. Dan mari lebih peduli dengan menaruh perhatian pada kondisi fisik dan mental korban.
Upaya tersebut bisa kita lakukan dengan hal-hal sederhana, seperti mendengarkan cerita korban, mempercayainya, dan mendukung. Serta membantu mereka untuk speak up. Dengan cara seperti ini, kita berharap banyak korban yang tidak lagi menyalahkan hidupnya. Namun mereka berani untuk bangkit pulih dari trauma yang ia alami. []