Judul Buku: Toleransi dalam Islam
Penulis: KH. Husein Muhammad
Penerbit: Fahmina Institute
Tahun: Maret 2022
Tebal: 126 hlm
ISBN: 978-602-73831-0-4
Mubadalah.id – Pembahasan toleransi sampai saat ini masih terus ramai diperbincangkan, baik dalam seminar-seminar ataupun konten-konten di media sosial. Hal ini yang mendorong saya untuk ikut belajar tentang toleransi, terutama dalam perspektif Islam.
Salah satu buku yang saya baca ialah buku “Toleransi dalam Islam” karya KH. Husein Muhammad atau biasa disapa Buya Husein. Beliau ialah seorang aktivis gender dan toleransi. Gagasan-gasannya tentang perempuan dan keberagaman dapat ditemukan dalam berbagai karyanya, salah satunya buku yang disebutkan di atas.
Lewat buku ini Buya Husein menyampaikan beberapa hal penting tentang toleransi. Seperti pengertian dan dasar-dasar toleransi berdasarkan dalil-dalil agama, kebebasan beragama dalam Islam, sikap Nabi Muhammad Saw terhadap umat yang beda agama dan makna toleransi menurut para ulama, baik ulama klasik maupun modern.
Semua ini memberikan pemahaman bahwa Islam merupakan agama yang menerima dan menghormati keberagaman. Di sisi lain, Nabi Muhammad Saw sebagai utusan Allah Swt juga telah meneledankan bagaimana sebaiknya umat muslim berelasi dengan umat yang berbeda agama dengannya.
Teladan tersebut disampaikan dengan jelas dalam buku “Toleransi dalam Islam”. di antaranya ialah pembelaan Nabi terhadap orang Yahudi yang dituduh mencuri, penghormatan Nabi pada jenazah Yahudi, Nabi merawat orang Yahudi yang buta dan penghormatan dan sikap lapang Nabi terhadap kaum Nasrani. Untuk berbagi kebahagiaan, saya akan mencoba menuliskan ulang kisah-kisah Nabi tersebut.
Nabi Membela Orang Yahudi
Imam Abu Jarir ath-Thabari, seorang mufasir awal dalam sejarah Islam mencatat kisah Nabi membela orang Yahudi yang dituduh mencuri. Dalam tafsirnya Jami’al-Bayan, ia meriwayatkan satu kisah tentang seorang Muslim bernama Thu’am bin Abiraq berasal dari Madinah atau sahabat Anshar. Ia mencuri baju besi (perisai perang) dari rumah pamannya.
Namun tiba-tiba Thu’mah menuduh Zaid telah mencuri baju perang tersebut. Sehingga Qatadah bin An-Nu’man (pemilik baju perang) melaporkan kejadian itu kepada Nabi Muhammad Saw. Thu’mah juga dilaporkan karena pada saat itu baju besi milik Qatadah awalnya ada di rumah Thu’mah.
Zaid dan Thu’mah menghadap Nabi. Zaid tidak memiliki kekuatan karena dia tidak memiliki saksi untuk membantah tuduhan tersebut. Berbeda dengan Thu’mah, dia didukung oleh kerabat dekatnya, saudara-saudaranya dan orang-orang Bani Dhafar bin al-Harits.
Pendukung Thu’mah menuntut agar Nabi menghukum Zaid dengan alasan bahwa Zaid adalah seorang minoritas Yahudi di Madinah dan mengingkari ajaran Allah dan Rasul-nya. Zaid yang hadir sendirian ketakutan dan tidak berdaya karena tidak ada saksi yang membelanya, sehingga ia hanya bisa pasrah dan bersumpah.
Karena provokasi pembelaan Thu’mah ini hampir membuat Nabi Saw lebih cenderung menanggapi tuntutan pengikut Thu’mah dan menyalahkan Zaid atas mereka. Namun, saat itu Allah Swt langsung menurunkan ayat al-Qur’an Surat an-Nisa ayat 105-112.
Mufassir menyatakan bahwa ayat tersebut diturunkan sebagai peringatan Allah kepada Nabi Saw agar Nabi tetap membela kebenaran dan keadilan dan tidak menjadi pembela para pengkhianat dan juga menegaskan perbuatan Thu’mah, bahwa ia menimpakan tuduhan kepada orang yang tidak bersalah.
Kisah ini merupakan contoh bahwa siapapun yang dizhalimi, meskipun berbeda agama dengan kita, ia harus ditolong dan didukung agar tidak menjadi korban. Begitu pun yang menzhalimi, ia harus diberi sanksi yang tegas, agar jera dan tidak lagi melakukan tindakan yang merugikan dan menyakiti orang lain.
Penghormatan Nabi Saw Kepada Jenazah Yahudi
Lalu kisah yang kedua ialah tentang pernghormatan Nabi pada jenazah orang Yahudi. Dalam suatu kisah ketika Sahl bin Hanif dan Qais bin Sa’ad beristirahat di Qadisiah setelah menempuh perjalanan jauh. Tiba-tiba mereka melihat jenazah dan berdiri. Orang lain yang melihatnya memberi tahu bahwa jenazah tersebut adalah orang Yahudi. Lalu Sahl dan Qais berkata:
“Kami pernah bersama Nabi, lalu ada jenazah Yahudi lewat, Nabi berdiri. Kami berkata kepada Nabi, “Nabi, itu jenazah Yahudi! Lalu Nabi berkata “alaisat nafsan (bukankah ia adalah manusia)?” (HR. Bukhari).
Kisah ini membuktikan bahwa penghormatan pada orang yang beda agama bukan hanya perlu kita lakukan ketika mereka masih hidup saja, tetapi juga ketika sudah wafat. Bentuk penghormatannya bisa dengan berdiri seperti yang Nabi Saw contohkan dalam kisah di atas, atau dengan mengucapkan belasungkawa pada keluarga.
Kasih Sayang Nabi Saw Kepada Seorang Yahudi Buta
Kemudian Buya Husein dalam bukunya juga menuliskan tentang kisah Nabi yang menyuapi orang Yahudi buta yang membenci beliau. Karena bencinya pada Nabi, orang Yahudi tersebut selalu mencaci maki Nabi dengan suara yang keras “Wahai saudaraku!. Jangan dekati Muhammad, dia orang gila, pembohong, tukang sihir!. Jika kalian dekat dengannya, kalian akan terpikat”. Kata-kata ini terus ia lontarkan pada setiap orang yang lewat di hadapannya.
Meski Nabi mengetahuinya, tetapi beliau tiap pagi mendatanginya sambil membawa makanan untuknya. Tanpa bicara apa-apa, Nabi Saw menyuapi orang Yahudi tersebut dengan amat sabar dan penuh kasih.
Hingga suatu ketika, seorang Yahudi tersebut mengetahui kabar wafatnya Nabi, sehingga dia senang dan tertawa sekencang-kencangnya. Tetapi selepas itu, ia merasa sepi dan kelaparan. Dia menunggu orang yang biasa datang dan memberinya makan dengan penuh kasih.
Beberapa hari kemudian Abu Bakar bertanya kepada anaknya, yaitu Aisyah. Ia bertanya perihal kebiasaan Nabi apa saja yang belum ia lakukan. Lalu Aisyah menjelaskan, bahwa kebiasaan Nabi yang belum Abu Bakar lakukan hanyalah memberi makan seorang Yahudi buta.
Setelah mengetahuinya, Abu Bakar bergegas menemui Yahudi buta untuk menyuapi makanan. Tetapi, karena Yahudi tersebut merasakan adanya perbedaan perlakuan Abu Bakar dalam menyuapi makanan, ia langsung menepis tangan Abu Bakar, karena ia terbiasa Nabi Saw suapi dengan cara yang sangat halus.
Lalu Abu Bakar memperkenalkan dan memberi tahu kepada orang Yahudi itu bahwa orang yang biasa menyuapinya setiap hari adalah sahabatnya, Muhammad, yang telah wafat beberapa hari lalu.
Mengetahui hal tersebut, orang Yahudi itu menangis sejadi-jadinya dan mengutuk dirinya sendiri karena telah mencaci, membenci dan menuduh hal-hal yang tak pernah dilakukan oleh Nabi. Lalu ia mengakui bahwa Nabi adalah orang yang berhati mulia. Dan setelah itu akhirnya orang Yahudi tersebut masuk Islam.
Penghormatan Nabi Saw Terhadap Kaum Nasrani
Kemudian kisah terakhir yang saya baca dalam buku “Toleransi dalam Islam” adalah tentang penghormatan dan sikap lapang Nabi pada kaum Nasrani.
Suatu hari Nabi Muhammad Saw, ada salah satu sahabat yang memberitahu akan datangnya delegasi umat Nasrani Najran. Mereka sengaja datang untuk menemui Nabi untuk mengajak diskusi (berdebat).
Ketika utusan kaum Nasrani tiba, Nabi menyambutnya dan mempersilahkan mereka untuk turun di masjid. Karena saat mereka sampai, waktu ibadah dalam aturan mereka sudah masuk, maka Nabi mempersilahkan mereka untuk melaksanakan ibadahnya di masjid.
Dalam catatan sejarah Ibnu Ishaq, seorang sejarawan Islam menyebutkan bahwa pada waktu itu para sahabat Nabi berusaha melarang kaum Nasrani untuk melaksanakan ibadah mereka di masjid. Namun Nabi mengatakan “da’hum (biarkan saja) mereka melaksanakan ibadahnya di masjid”.
Selepas melaksanakan ibadah, mereka melanjutkan dialog bahkan berdebat dengan Nabi Saw sekitar masalah-masalah teologis. Dialog tersebut mereka gelar di dalam masjid. Kemudian sebelum pulang, mereka sepakati sebuah perjanjian antara kedua belah pihak bahwa harta, jiwa dan agama mereka Nabi Saw lindungi.
Demikian lah kisah teladan Nabi pada umat yang beda agama. Kisah-kisah di atas bisa jadi inspirasi kita dalam mewujudkan kehidupan yang damai dan tentram di tengah masyarakat yang beragam. []