Mubadalah.id – Istilah kafaah atau secara bahasa artinya padanan, kesamaan, keserasian antara calon suami dan calon istri ini sangat dikenal kalangan santri dan pengkaji hukum Islam. Karena bagi mereka kafaah menjadi salah satu pembahasan dalam fikih.
Bagi kalangan umum, sekalipun tidak mengenal istilah kafaah, tetapi konsep ini masyarakat praktikkan secara luas.
Misalnya tak jarang kita mendengar ada anak pejabat seharusnya menikah dengan sesama anak pejabat atau yang sederajat.
Begitu pun anak kiai diharapkan menikah dengan sesama anak kiai atau tokoh agama. Atau cerita tentang seseorang yang cinta atau lamarannya ditolak karena dianggap tidak sepadan secara sosial oleh keluarga calon mertua.
Kebanyakan orang menginginkan pernikahan yang berlangsung bersama dengan calon mempelai yang sepadan, baik secara fisik, ekonomi, status sosial, pendidikan, dan atau yang lain.
Pandangan Fikih
Ulama fikih berbeda pendapat mengenai hukum kafaah. Apakah perlu ada dalam ikatan pernikahan atau hanya aksesoris yang menggenapi saja (tidak mutlak ada).
Imam Sufyan al-Tsauri (w. 161 H/778 M), Hasan Basri (w. 110 H/728 M), al-Karkhi dari Mazhab Hanafi (w. 200 H/815 M) memandang kafaah bukan bagian dari akad nikah, tidak sebagai syarat, rukun, atau kelangsungan akad.
Argumentasi dasar dari para ulama ini adalah bahwa kedudukan semua manusia, di mata Islam, adalah setara dan sepadan.
Sehingga pertimbangan status sosial, ekonomi, pendidikan. Bahkan menjadi tidak penting dalam pernikahan selama kedua mempelai memilih untuk menikah dan membangun rumah tangga.
Argumentasi para ulama ini juga berdasarkan Hadis, baik teladan perbuatan maupun pernyataan.
Teladan perbuatan Nabi Muhammad Saw yang secara status keagamaan maupun sosial adalah paling tinggi dan tiada banding. Faktanya, Nabi Saw menikahi perempuan yang tidak sebanding secara keagamaan maupun sosial.
Begitu pun Nabi Saw menikahkan putri-putri baginda dengan para laki-laki yang juga tidak sebanding dengan status keagamaan maupun sosial Nabi Saw. []