Mubadalah.id – Dalam sebuah pengajian, ada dua perempuan yang bercerita sekaligus bertanya tentang pelayanan kebutuhan seksual pasangan suami istri.
Perempuan pertama, sebutlah namanya Bu Mira, menceritakan betapa merasa berdosanya dia, ketika suami mengajak berhubungan badan tapi dia bersikap pasif (seperti patung). Hal ini terjadi karena dirinya yang terlalu lelah dengan berbagai aktivitas harian. Sehari-harinya, selain mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga, kebetulan beliau adalah kepala sekolah di salah satu TK.
Lain lagi dengan cerita perempuan kedua, sebutlah namanya Bu Asih. Selain sebagai ibu rumah tangga, Bu Asih juga berprofesi sebagai petani. Dia bercerita bahwa dalam sehari, suaminya bisa meminta haknya (berhubungan seksual) sampai lima kali, di setiap ada kesempatan. Suaminya marah ketika dia menolak. Padahal dirinya sudah merasa tidak nyaman dan kesakitan.
Dua perempuan ini pada akhirnya tetap melayani suami mereka karena takut dengan term “dosa”, sebagaimana hadis yang pernah mereka dengar tentang laknat bagi perempuan yang menolak suaminya.
Mereka kemudian mempertanyakan, apa hukum menolak permintaan suami (berhubungan badan) dalam situasi tertentu?
Hadis Laknat Bagi Istri yang tidak Mau Melayani Kebutuhan Seksual Suami
Ada sebuah hadis yang secara tekstual menyatakan laknat bagi istri yang tidak mau melayani kebutuhan seksual suami. Di antaranya hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari,
“Apabila seorang suami memanggil istrinya ke tempat tidurnya dan si istri enggan memenuhi ajakannya, sehingga suami merasa kecewa dan tertidur, maka sepanjang malam itu para malaikat akan melaknat istri hingga datang waktu shubuh.”
Ada banyak variasi sanad dan matan terkait hadis tersebut. Meskipun begitu, inti pembahasan sama, yakni tentang hubungan suami dan istri terkait hubungan seksual.
Pertanyaannya, apakah pemenuhan kebutuhan seksual (hanya) merupakan kewajiban istri dan hak suami?
Membicarakan Kebutuhan Seksual, Apakah Tabu?
Banyak orang berpikir bahwa urusan ranjang adalah hal yang tabu untuk kita bicarakan, bahkan terhadap pasangan sendiri. Tentu saja, itu akan tabu ketika menjadi pembicaraan publik. Sebagaimana hadis Rasulullah yang berbunyi,
“Sesungguhnya manusia yang paling buruk tempatnya di sisi Allah pada hari kiamat adalah suami yang mendatangi istrinya, dan istri yang mendatanginya , lalu dia sebarkan rahasianya.”
Namun, pembahasan itu menjadi satu hal yang sangat penting dalam rangka membangun keharmonisan relasi antara suami istri.
Pemenuhan kebutuhan seksual tidak hanya menjadi kewajiban perempuan. Laki-laki juga sama wajibnya. Tidak hanya perempuan yang harus wangi dan bersih. Laki-laki juga. Selain itu, pemenuhan kebutuhan seksual juga harus memperhatikan kondisi pasangan masing-masing, baik fisik maupun psikisnya.
Artinya, dalam sebuah rumah tangga, keduanya berkewajiban menciptakan nuansa nyaman terkait hal tersebut.
Bagaimana Cara Pandang Ulama?
Menyikapi hadis ini, ulama terpecah menjadi dua, yakni golongan yang tekstual dan kontekstual. Dalam pandangan Masdar F. Mas’udi, sebagaimana dalam Islam dan Hak-hak Reproduksi Perempuan Dialog Fiqh, perbedaan cara pandang dua aliran tersebut disebabkan perbedaan konstruk tentang seksualitas.
Di kalangan ahli fiqh, seks bagi perempuan banyak diajarkan sebagai kewajiban yang berkaitan dengan reproduksi. Sementara itu, pendapat lain mengatakan bahwa seks, selain untuk reproduksi, juga untuk dinikmati.
Maka, bagi ulama yang tekstualis, melayani kebutuhan seksual suami adalah kewajiban istri dan merupakan hak suami. Istri tidak boleh menunda-nunda. Istri hanya boleh menolak ajakan ketika sedang haid dan nifas. Itupun dengan catatan tidak boleh menjauhi suami karena mereka masih bisa ber-istimta (mencumbu).
Adapun kelompok kontekstual cenderung menyatakan bahwa istri juga mempunyai hak untuk memperoleh kepuasan seksualnya. Maka, kelompok ini memahami hadis sesuai dengan konteksnya. Mustafa Muhammad ‘Imarah mengatakan bahwa laknat malaikat hanya terjadi jika istri menolak suaminya dengan tanpa alasan.
Dr. Hamim Ilyas menyebutkan bahwa jika hadis ini dipahami secara literal, maka bertentangan dengan ajaran Islam yang Rahmatan lil ‘Alamin suaraaisyiyah.id yang mengajarkan keadilan bagi laki-laki dan perempuan.
Selain itu, dengan langkah pemaknaan mubadalah, kita bisa memahami bahwa, seorang suami juga bisa mendapat laknat (berdosa) ketika menolak ajakan istrinya, tanpa ada alasan atau udzur yang jelas.
Pentingnya Komunikasi terkait Kebutuhan Seksualitas Suami Istri
Sebelum menawarkan solusi kepada penanya, terlebih dahulu saya menjelaskan cara pandang memahami hadis terkait laknat malaikat kepada istri di atas. Ketika saya tanya kepada mereka, “Cara pandang mana yang lebih berkeadilan dan memberikan kenyamanan kepada perempuan?” Mereka dengan kompak menjawab, “Cara pandang kontekstual.”
Lalu bagaimana solusi atas permasalahan mereka? Mengingat jika mereka menolak, suami akan marah.
Tentu saja dengan membangun komunikasi yang baik. Jelaskan pada suami bahwa kita sebagai perempuan adalah manusia yang punya keinginan yang sama dengan suami, yakni terpenuhi kebutuhan seksual. Kita juga bisa membuat kesepakatan dengan pasangan kita terkait kondisi-kondisi tertentu yang membuat kita kesulitan memenuhi kebutuhan seksual pasangan. Begitu juga sebaliknya.
Secara spesifik, kita juga bisa membuat kesepakatan dengan suami untuk melaksanakan tugas-tugas rumah tangga bersama-sama.
Jadi, relasi yang terbangun di sini adalah mubadalah, saling memahami kondisi pasangan dalam rangka menciptakan keharmonisan rumah tangga. Tidak sekedar memaksa satu pihak untuk menjalankan kewajibannya, karena sejatinya keduanya mempunyai kewajiban dan hak yang sama, yaitu memenuhi sekaligus terpenuhi kebutuhan seksualnya.
Tapi itu kan tidak mudah. Belum apa-apa suami sudah marah!
Tentu saja. Membangun komunikasi yang baik haruslah menyesuaikan waktu, tempat, dan situasi yang tepat. Jangan ketika salah satu kita tidak mood, lalu membahas hal seperti ini. Yang ada bukan mendapat jalan keluar, tapi malah berperang. []