Mubadalah.id – Ajaran ketauhidan seharusnya mendorong ekspresi keberislaman pada pola-pola kemanusiaan yang berkesetaraan. Sebab, sebagaimana penjelasan Faqihuddin Abdul Kodir dalam Qira’ah Mubadalah, bahwa memproklamasikan ketauhidan berarti menyatakan dua hal. Yaitu, pengakuan terhadap keesaan Allah SWT dan pernyataan atas kesetaraan manusia di hadapan-Nya.
Dalam paradigma ketauhidan seperti yang Faqihuddin Abdul Kodir jelaskan itu. Maka, makna tiada Tuhan selain Allah SWT berarti tidak ada perantara antara hamba dan Tuhan. Dan, bahwa sesama manusia tidak boleh yang satu menjadi tuhan terhadap yang lain. Oleh karena itu, ketauhidan seperti ini mendorong pada pola kemanusiaan, di mana laki-laki sama sekali bukan rujukan utama (tuhan) bagi perempuan. Artinya, laki-laki dan perempuan itu setara.
Mengekspresikan Tauhid yang Berkesetaraan
Dalam ajaran Gus Dur, sebagaimana yang Nur Kholik Ridwan jelaskan dalam Ajaran-ajaran Gus Dur, bicara ketauhidan, maka ada dua aspek yang saling terhubung. Yaitu, “aspek ke dalam” dan “aspek keluar”. Keduanya saling terhubung. Aspek ke dalam (iman kepada Tuhan) merupakan nafas dalam pengamalan agama. Dan, aspek keluar (pengamalan agama) merupakan bagian dari ekspresi keimanan itu sendiri.
Jika mendasari pandangan pada kerangka pikir aspek “dalam dan keluar” tersebut. Mak, kita dapat menyadari bahwa, seharusnya apa yang kita hayati dalam iman itu berdampak pada ekspresi keberislaman.
Jika kita mengimani Tuhan yang Maha-kasih, maka sepantasnya mengekspresikan Islam yang menebar kasih. Ekspresi Islam yang pengamalannya membawa maslahat kepada seluruh manusia, bukan sebaliknya malah membawa kerugian kepada sebagian manusia, dan menjadi alat legitimasi kepentingan manusia yang lain.
Prinsip tauhid yang berangkat dari kesadaran utuh pengimanan kepada Tuhan yang Maha-kasih, itulah yang membuat Gus Dur menjadi Muslim yang mampu mengekspresikan kesetaraan. Sebagaimana penjelasan Greg Barton dalam “Memahami Abdurrahman Wahid,” bahwa bagi Gus Dur, Islam adalah keyakinan yang menebar kasih sayang. Keyakinan yang secara mendasar toleran dan menghargai perbedaan. Artinya, keyakinan yang berkesetaraan, yang tidak membenarkan ketidakadilan karena alasan gender.
Menghormati Kemanusiaan Perempuan dan Laki-laki
Masih dalam ajaran Gus Dur, sebagaimana yang Nur Kholik Ridwan jelaskan, kemanusiaan dalam ajaran ini bersumber dari prinsip ketauhidan. Itu merupakan cerminan sifat-sifat ketuhanan. Dalam prinsip tauhid ini, kemuliaan yang ada dalam diri manusia mengharuskan sikap untuk saling menghargai dan menghormati. Memuliakan manusia berarti memuliakan penciptanya.
Sebaliknya, merendahkan dan menistakan manusia berarti merendahkan dan menistakan Tuhan yang menciptakannya. Oleh karena itu, dalam prinsip tauhid yang berkesetaraan seperti ini, sistem sosial patriarki yang memosisikan seakan hanya laki-laki yang merupakan manusia (subjek utuh), dan tidak menghargai kemanusiaannya perempuan, itu menyalahi ketauhidan.
Dan, termasuk penistaan kepada Tuhan yang telah menciptakan perempuan dan laki-laki sebagai sama-sama manusia. Bahkan, bagi Amina Wadud, sebagaimana Faqihuddin Abdul Kodir jelaskan, sistem sosial patriarki adalah tindakan menyekutukan Tuhan dan kesombongan yang bertentangan dengan konsep tauhid.
Kesetaraan Gender Itu Mengesakan Tuhan
Gus Dur dalam Islamku, Islam Anda, Islam Kita menjelaskan bahwa “…perbedaan merupakan sebuah hal yang diakui Islam, sedangkan yang dilarang adalah perpecahan….” Perkataan Gus Dur ini dalam konteks kesetaraan gender, dapat kita pahami bahwa realitas perbedaan antara perempuan dan laki-laki tidak perlu menimbulkan perpecahan. Apalagi, sampai membuat adanya relasi tidak sehat yang menindas satu pihak.
Sebaliknya, realitas kemanusiaan perempuan dan laki-laki sepatutnya mendorong pada relasi sehat yang berkesetaraan antarkeduanya. Hal ini adalah yang sejalan dengan misi Nabi Muhammad SAW untuk membawakan amanat persaudaraan dalam kehidupan. Sebagaimana penjelasan Gus Dur, bahwa tugas kenabian yang utama adalah membawakan persaudaraan guna memelihara keutuhan manusia, dan jauhnya tindakan kekerasan dalam kehidupan.
Tuhan telah menciptakan manusia ada yang laki-laki dan perempuan. Perbedaan biologis ini tidak perlu memunculkan perpecahan, sebab pada dasarnya kita adalah sama sebagai manusia. Kita perlu memuliakan penciptaan Tuhan ini dengan tidak mengabaikan kemanusiaan pihak yang manapun.
Dalam hal ini, sistem sosial adil gender yang menempatkan perempuan dan laki-laki sama-sama sebagai manusia setara, itu adalah pemuliaan terhadap realitas kemanusiaan yang Allah ciptakan. Artinya, kesetaraan gender adalah sejalan dengan prinsip tauhid.
Oleh karena itu, relasi gender yang setara antara perempuan dan laki-laki, dalam konteks keberislaman, dapat kita katakan termasuk bagian dari mengesakan (menyebah) Tuhan yang telah menciptakan manusia. []