Judul: Gender Gus Dur
Pengarang: Ashilly Achidsty
Penerbit: Gading
Tahun terbit: 2021
Jumlah halaman: xvii + 149 halaman
Mubadalah.id- Pernahkah terlintas dalam benak kita, dari mana kebijakan kesetaraan gender di Indonesia itu bermula? Sebagai generasi yang tumbuh ketika kesadaran kesetaraan gender mulai masif, saya tergelitik untuk mencari ‘induk’ kebijakan kesetaraan gender di Indonesia.
Selain ratifikasi CEDAW yang implementasinya ompong selama orde baru itu, literatur yang saya baca mengarah pada Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional.
Buku Ashilly Achidsty yang berjudul Gender Gus Dur inilah yang cukup melengkapi kepingan puzzle di kepala saya. Saya membaca dengan antusias, selain karena memang mengidolakan Gus Dur, jarang ada penulis yang mengungkap siapa aktor politik di balik Inpres No. 9/2000, tonggak kebijakan kesetaraan gender di Indonesia berikut kondisi sosio-historis dan dinamika saat kebijakan itu terumuskan.
Buku ini mengulik bagaimana Gus Dur berinisiatif menggunakan kekuasaannya untuk mengambil kebijakan kesetaraan gender di tengah kondisi pemerintahan yang masih buta gender. Di mana hal tersebut menjadi penting dan butuh keberanian besar bagi pemimpin kala itu.
Inpres tersebut bukan satu-satunya kebijakan kesetaraan gender yang Gus Dur lakukan. Buku ini menjelaskan ada dua kebijakan penting lain yang menjadi landasan kebijakan kesetaraan gender di Indonesia. Adalah perubahan nama Kementrian Urusan Peranan Wanita menjadi Kementrian Pemberdayaan Perempuan, serta penyelamatan buruh migran perempuan.
Selain menjelaskan hal-hal di atas dengan gamblang, buku terbitan Gading ini juga memuat wawancara dengan tokoh-tokoh yang terlibat langsung dalam proses perumusan Inpres No. 9/2000 dan beberapa langkah penting Gus Dur terkait kesetaraan gender, satu hal penting bagi saya yang baru lahir setahun setelah Gus Dur mengeluarkan Inpres tersebut.
Orde Baru dan Produk Hukum Diskriminatif Gender
Mansour Fakih dalam bukunya Analisis Gender dan Transformasi Sosial menyebut bahwa perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan, baik bagi laki-laki dan terutama bagi perempuan. Selain itu, ia juga menjelaskan bahwa konstruksi gender itu sistematis, dibentuk, disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruksi secara struktural oleh negara hingga dianggap sebagai kodrat dari Tuhan.
Fakta inilah yang kita temukan selama orde baru berkuasa. Alih-alih mendorong kesetaraan, negara justru turut menjadi aktor peminggiran dan subordinasi perempuan.
Seperti pasal 31 ayat (1) UU No. 1/1974 tentang perkawinan yang mengukuhkan bahwa suami adalah kepala rumah tangga dan istri adalah ibu rumah tangga. UU No. 23/1992 tentang Kesehatan yang hanya mengatur kesehatan ibu hamil dan melahirkan, namun belum khusus mengatur kesehatan reproduksi perempuan, dsb.
Ibuisme Negara
Walaupun cukup singkat, tapi buku Gender Gus Dur ini bisa memberikan kita gambaran awal bagaimana domestikasi perempuan sempat masif dalam bentuk kebijakan pada saat Soeharto berkuasa. Seperti pada tahun 1972, di mana pemerintah melahirkan program Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) di seluruh Indonesia dengan jargon Pancha Dharma Wanita:
Satu, wanita sebagai istri pendamping suami. Dua, wanita sebagai ibu rumah tangga. Tiga, wanita sebagai penerus keturunan dan pendidik anak. Empat, wanita sebagai pencari nafkah tambahan. Lima, Wanita sebagai warga negara dan anggota masyarakat.
Tak cukup sampai di situ, pada 1974 pemerintah juga melahirkan Dharma Wanita untuk istri pegawai negeri sipil. Istri pegawai negeri di tiap tingkat dan departemen pemerintah wajib menjadi anggota Dharma Wanita sebagai wujud loyalitas kepada suami dan negara.
Dalam buku ini, Ashi menjelaskan bahwa dua organisasi tersebut mengintervensi susunan struktural pengurus dengan budaya “Istri ikut suami”. Hal itu karena pangkat suami anggota menentukan pemimpin organisasi. Panca Dharma Wanita yang menekankan bahwa tugas perempuan adalah pendamping suami dan rumah tangga pun turut memperkuat domestikasi.
Fenomena pengerdilan peran sosial-politik perempuan ini disebut Julia Suryakusuma, salah satu feminis Indonesia sebagai “Ibuisme negara”. Sebagai konsekuensi perkawinan feodalisme dan kapitalisme yang lahir dalam wujud ibuisme negara, perempuan juga harus puas sebagai tenaga kerja murah. Hal ini sebagai akibat dari negara yang menempatkan perempuan pada kotak pencari nafkah tambahan semata.
Gus Dur dan Tonggak Kebijakan Kesetaraan Gender
Apa yang dilakukan oleh Gus Dur terkait kesetaraan gender selama masa pemerintahannya yang singkat, menjadi angin segar karena ibuisme negara telah mengakar kuat sejak orba. Ashi dalam buku ini mencatat tiga kebijakan penting yang di kemudian hari menjadi tonggak kesetaraan gender di Indonesia.
Pertama, perubahan nama Kementrian Urusan Peranan Wanita menjadi Kementrian Pemberdayaan Perempuan.
Penggantian nomenklatur ini otomatis membuat fokus kebijakan kementrian pun berubah. Untuk pertama kalinya, kata Gender diperkenalkan dan dijabarkan secara resmi dalam UU No. 25/2000 tentang Program Pembangunan Nasional.
Di sisi lain, Kementrian yang dipimpin oleh Khofifah Indar Parawansa pada masa itu menetapkan GBHN tahun 1999-2004, yang menetapkan dua arah kebijakan pemberdayaan perempuan:
1) Meningkatkan kedudukan dan peranan perempuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melalui kebijakan nasional
2) Meningkatkan kualitas peran dan kemandirian organisasi perempuan dengan tetap mempertahankan nilai persatuan dan kesatuan.
Kedua, pengesahan Inpres No. 9/2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG).
Inpres tersebut mendefinisikan PUG sebagai strategi mengintegrasikan gender sejak tahap perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, hingga evaluasi program pembangunan nasional.
Walau ‘hanya’ Instruksi Presiden, tapi kebijakan ini menjadi landasan penting dalam berbagai undang-undang yang mendorong pengarusutamaan gender. Di sisi lain, Inpres ini bisa menjadi rekayasa sosial yang mengubah cara pikir aparat pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah yang belum melek gender pada saat itu (mungkin juga sampai hari ini).
Di antara UU yang lahir dari dorongan pengarusutamaan gender ini seperti: UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU No. 23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, UU No. 21/2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang, UU No. 2/2011 tentang Partai Politik, dan UU No. 8/2015 tentang Pemilu.
Saya juga mungkin kawan pembaca memiliki pertanyaan, mengapa Inpres? padahal Inpres tidak masuk dalam hierarki peraturan perundang-undangan, mengapa tidak undang-undang saja? Di buku Gender Gus Dur inilah kita akan menemukan jawabannya.
Ashi menjelaskan ada dua alasan utama mengapa Gus Dur memilih Inpres. Pertama, secara mekanisme aturan perundang-undangan, untuk menjadikan UU membutuhkan waktu lama. Keputusan Presiden (Keppres) pun tidak bisa menjadi pilihan karena Kementrian Pemberdayaan Perempuan harus dilikuidasi. Kedua, mayoritas pejabat pada saat itu belum melek gender, sehingga berharap PUG menjadi UU tidaklah mungkin.
Ketiga, penyelamatan buruh migran Perempuan.
kita tidak perlu meragukan keberpihakan Gus Dur kepada rakyat kecil dan mustadl’afin. Hal itu tercermin pada perlindungan dan keamanan buruh Perempuan migran yang mendapat perhatian besar Gus Dur selama masa pemerintahannya.
Selain mendirikan Serikat Buruh Seluruh Indonesia (SBSI), Gus Dur juga mencabut undang-undang No. 25/1997 tentang Ketenagakerjaan yang eksploitatif, anti serikat, dan tidak ada proteksi terhadap tenaga kerja Indonesia.
Salah satu kasus yang mendapat sorotan besar Gus Dur adalah misi penyelamatan Siti Zaenab, buruh migran yang mendapat vonis hukuman mati karena tuduhan membunuh majikan perempuannya pada tahun 1999. Padahal, apa yang dilakukan oleh Siti Zaenab adalah bentuk perlindungan diri dari penganiayaan yang ia dapatkan.
Secara personal, Gus Dur menelepon Raja Arab Saudi, Raja Fahd untuk melakukan lobi terkait hukuman mati Siti Zaenab. Lobi itu berhasil sehingga hukuman mati Siti Zaenab tertunda sampai anak dari majikannya, mencapai akil baligh dan mampu memutuskan apakah Siti Zaenab terampuni atau dijatuhi hukuman mati.
Misi penyelamatan buruh migran perempuan ini menjadi preseden penting karena menunjukkan keseriusan pemerintah. Terutama dalam melindungi perempuan kelas pekerja yang memang memiliki kerentanan berlapis dari pada laki-laki kelas pekerja.
Dua Hal Penting Peninggalan Gus Dur
Selain kapasitasnya sebagai presiden, Gus Dur memiliki pengaruh kuat sebagai guru bangsa dan tokoh pesantren. Dengan keluasan dan kedalaman pengetahuannya, Gus Dur mampu mencari irisan dari hal-hal yang tampak bertentangan demi kemaslahatan yang lebih luas.
Sebagai contohnya, Gus Dur mendorong peran Perempuan di ranah publik selama ia memimpin Nahdlatul Ulama. Seperti putusan Munas NU di Lombok pada tahun 1997 yang menyebut bahwa Perempuan boleh menjadi pemimpin publik.
Contoh lain adalah bagaimana Gus Dur mengenalkan konsep kesetaraan gender dengan istilah “Mitra sejajar” di kalangan pesantren. Istilah ini terpilih karena saat itu masyarakat menilai kata gender terlalu kebarat-baratan dan penuh stigma negatif.
Selain itu, dengan landasan al Kulliyat al Khams Gus Dur meyakini posisi laki-laki dan perempuan setara di hadapan Allah. Hal itu tercermin dalam tulisannya yang berjudul “Hak Asasi Wanita dalam Islam”. Untuk itulah pada awal tahun 1990, Gus Dur mulai mengenalkan dan menyebarluaskan istilah mitra sejajar.
Melanjutkan Nafas Perjuangan Gus Dur
Dalam buku Gender Gus Dur ini, Ashi mencatat bahwa pada 1992-1994 istilah gender masih asing di Indonesia. Gus Dur sebagai ketua PBNU Bersama Musdah Mulia sebagai pimpinan Fatayat berkeliling untuk menjelaskan istilah mitra sejajar pada para kiai.
Jika kita kelompokkan, ada dua hal penting peninggalan Gus Dur bagi kita sampai hari ini. Yakni peninggalan secara struktural berupa tiga kebijakan penting terkait kesetaraan gender yang sudah kita bahas di atas.
Selain itu, peninggalan kultural berupa pengenalan konsep kesetaraan pada kalangan pesantren dengan istilah mitra sejajar, sampai reinterpretasi hadits dan ayat yang kita tafsirkan secara misoginis.
Dengan kondisi dan tantangan zaman yang berbeda. Semoga kita bisa terus merawat dan melanjutkan nafas perjuangan Gus Dur dan banyak pendahulu kita lainnya. []