Mubadalah.id – Kehadiran Rasulullah di muka bumi ini, memang sangat pantas menjadi rahmat bagi seluruh alam. Tutur katanya yang menenangkan, parasnya yang menyejukkan, akhlaknya yang mendamaikan, membuat orang yang cinta semakin cinta dan orang yang membenci, menjadi yang paling takut kehilangan dirinya.
Dalam kitab maulid simtudduror, al Habib Ali bin Muhammad bin Husein al Habsyi mencantumkan hadis yang diriwayatkan oleh Abdurrazaq dengan jalur sanad dari Jabir ibni Abdillah al Anshori, ia berkata: “aku bertanya, wahai Rasulullah demi ayahku dan ibuku, kabari aku tentang awal sesuatu yang Allah ciptakan sebelum sesuatu yang lain.”
“Beliau bersabda: wahai jabir, sesungguhnya Allah menciptakan cahaya Nabimu, Muhammad SAW sebelum yang lain dari cahaya-Nya.” Sahibul maulid melanjutkan dengan memberikan hadis riwayat dari Abu Hurairah Ra, bahwa ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Aku adalah awal para nabi dalam penciptaan dan akhir para nabi dalam utusan.”
Ajaran yang Rasulullah bawa, tidak mengkhususkan untuk kemashlahatan umatnya saja, melainkan juga untuk kemashlahatan seluruh ciptaan Tuhan. Beliau saw tidak hanya sekedar memberi, tapi juga benar-benar menjadi suri tauladan yang patut kita ikuti.
Meneladani Rasulullah bisa dengan cara kita melihat dan meniru dari bagaimana menjaga dan memegang erat-erat relasi beliau dengan Tuhan-Nya (Hablu minallah), sesama manusia (Hablu minannas), dan terhadap lingkungan alam (Hablu minal ‘alam).
Menjaga Relasi dengan Tuhan
Sebagai seseorang yang sudah Allah jamin kehidupannya di dunia maupun di akhirat, tidak menjadikan Rasulullah menjalani kehidupan di dunia dengan semena-mena tanpa menghamba kepada sang khalik.
Berbalik dari itu, justru tingkat penghambaan yang Rasulullah lakukan, tidak ada satupun dari umatnya yang mampu menandingi. Beliau melakukannya semata-mata karena rasa syukur yang besar terhadap Tuhan yang maha pengasih.
Suatu malam Rasulullah pernah melakukan salat sambil menangis. Seusai shalat, Sayyidah Aisyah RA yang kala itu sedang berada di sisinya bertanya kepada beliau: “Wahai Rasulullah apa yang membuatmu menangis? Padahal Allah telah mengampuni dosamu yang terdahulu dan yang akan datang”.
Rasulullah pun menjawabnya “Apakah aku tidak boleh menjadi hamba yang bersyukur dan mengapa aku tidak melakukannya.” Sungguh jawaban yang sangat mengajarkan kepada kita, bagaimana seharusnya sikap seorang makhluk yang diciptakan kepada khalik yang menciptakan.
Inilah wujud manusia namun tidak seperti manusia pada umumnya. Sebuah sya’ir melantuntan “Muhammadun basyarun laa kal basyari, fa huwa kal yaquti bainal Hajari”. Nabi Muhammad adalah manusia, tapi tidak seperti manusia kebanyakan. Beliau bagaikan batu Yaqut di antara batu-batu lainnya.
Menjaga Relasi dengan Sesama Manusia
Siapa yang melihatnya maka akan berbunga-bunga hatinya. Setiap rumah yang engkau singgahi, tak lagi butuh penerang. Dan orang sakit yang engkau kunjungi segera Allah beri kesembuhan.
Sudah banyak dan sering kita dengar, kehidupan Rasulullah yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai Humanisme. Tanpa memandang latar belakang apapun, ras, suku, budaya, agama, bahkan kepada orang yang berbuat jahat kepada beliau sekalipun.
Kisah dakwah nabi di tanah Thaif, menjadi salah satu bukti bahwa nabi sangat menyayangi umat manusia. Nabi tidak menginginkan mereka celaka, melainkan sebaliknya, beliau menginginkan umat manusia bisa selamat dari murkanya Allah Swt.
Dengan lembut dan santunnya beliau berkata kepada malaikat Jibril, yang siap melemparkan gunung-gunung kepada penduduk Thaif, tatkala mereka melempari nabi dengan batu hingga terluka dan berdarah pelipisnya, “fa innahum qoumun laa ya’lamun” (mereka adalah kaum yang belum mengetahui).
Kisah nabi ketika menjenguk orang yahudi yang sering meludahi beliau, ketika setiap ingin menuju ke masjid, juga menjadi bukti bahwa hidup bersosial tidak perlu ada batas apapun, bahkan dalam persoalan keyakinan. Ini membuktikan bagaimana nabi sangat menjaga dengan sangat baik, hubungannya dengan sesama manusia.
Menjaga Relasi dengan Lingkungan Alam
“Mungkin Tuhan mulai bosan, melihat tingkah kita, yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa. Atau alam mulai enggan, bersahabat dengan kita, coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang”.
Lirik lagu dari Ebit G. Ade ini mengajak kita untuk merenungkan dan mengintrospeksi diri, atas musibah-musibah alam yang terjadi. Pertanyaan sederhananya, bukankah itu semua ulah manusia? Manusia yang selalu tamak dan tidak pernah puas dengan apa yang telah mereka dapatkan. Manusia yang tidak bisa berbuat ramah, dengan lingkungan alam.
Nilai terbaik yang manusia miliki sebenarnya ialah dari sisi moral seseorang. Sebagaimana telah jamak kita tahu, bahwa kehadiran Nabi Muhammad Saw adalah sebagai penyempurna moralitas manusia.
Dalam buku Bi’ah Progresif, karya Tim Forum Kajian Ilmi’ah Ma’had ‘Aly Lirboyo menyebutkan, bahwa Rasulullah Saw melarang umatnya untuk berbuat sewenang-wenang terhadap lingkungan. Rasulullah melarang umat beliau untuk membakar sarang semut dan lebah. Beliau juga melarang untuk menebang pohon sebelum waktunya layak dikonsumsi.
Dalam kesempatan lain, Rasulullah pun melarang kepada bala tentaranya yang pada saat itu akan berangkat ke medan perang mut’ah, supaya tidak membunuh Wanita, anak-anak, tuna netra beserta anak-anaknya, serta melarang mereka untuk merusak rumah-rumah dan menebang pohon sembarangan. Sebagaimana ini tertera dalam jurnal yang berjudul etika dan hukum perang pada masa peperangan Nabi Muhammad saw, karya Misbakhul Khaer.
Dari sini bisa kita ambil pelajaran, dalam kehidupan ini, Rasulullah sangat mengajarkan kepada kita, agar selalu dapat menjaga relasi yang baik dengan Tuhan, sesama manusia dan juga lingkungan alam.
“wajahmu yang indah adalah harapan kami, di hari manusia didatangi bukti-bukti”. Selamat datang wahai nabi! Selamat datang wahai nabi, sebaik-baik manusia dari bangsa Arab.” []