Mubadalah.id – Dalam Islam, persoalan poligami tidak hanya dipahami dari satu penggalan ayat saja. Karena penafsiran al-Qur’an memerlukan syarat-syarat dan kaedah-kaedahnya tersendiri. Yang jika digunakan tidak akan menghasilkan kesimpulan-kesimpulan yang simplistis tentang poligami.
Sungguh sulit menemukan pernyataan ulama klasik, dalam disiplin tafsir yang memandang poligami sebagai keutamaan dalam perkawinan, dan menjadi pilihan dibandingkan monogami.
Penelusuran sementara terhadap kitab-kitab tafsir, seperti kitab Jami’ al-Bayan karya Imam ath-Thabari (Abu Ja’far bin Jarir bin Yazid, 225H/839M-320H/922M).
Kemudian tafsir Bahr al-Ullim karya Imam as-Samarqandi (Abu al-Laith Nashr bin Muhammad bin Ahmad, w. 375H). Tafsir al-Kasysyaf karya Imam az-Zamakhsyari (Jarullah Mahmud bin Umar bin Muhammad, w. 538H).
Lalu, tafsir Ahkim al-Qur’an karya Ibn al-Arabi (Abu Bakr Muhammad bin Abdullah, w. 543H), at-Tafsir al-Kabir karya Imam ar-Razi (Fakhruddin Abu Abdillah Muhammad bin Umar bin al-Husain, w. 604H).
Tafsir al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an karya Imam al-Qurthubi (Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad alAnshari, w. 571H/1273M).
Tafsir Anwir at-Tanzil
Tafsir Anwir at-Tanzil karya Imam al-Baidhawi (Nashiruddin Abdullah bin Umar asy-Syirazi, w. 791H), menunjukkan bahwa sama sekali tidak ada indikasi yang mengarah pada pilihan keutamaan terhadap perkawinan poligami.
Dari uraian Imam Ibn Jarir ath-Thabari (w. 320H/922M) misalnya, pelopor disiplin ilmu tafsir, bisa dipastikan bahwa ayat 3 dari surat an-Nisa itu sama sekali tidak bisa dijadikan dasar anjuran al-Qur’an terhadap poligami.
Menurutnya, ayat tersebut terkait dengan perilaku wali yang sering tidak adil terhadap anak-anak yatim di bawah asuhannya. Al-Qur’an lalu turun mewasiatkan agar berlaku adil terhadap mereka.
Katanya, jika para wali merasa tidak mampu berlaku adil terhadap anakanak yatim, maka janganlah mengawini mereka. Lebih baik mengawini perempuanperempuan lain, bisa dua atau lebih.
Tetapi jika tidak mampu berlaku adil, maka yang Islam perkenankan hanya satu orang istri. Pilihan ini menjadi lebih baik, karena bisa membebaskan orang dari kemungkinan perilaku zalim dan aniaya.
Demikian halnya ketika menelusuri penafsiran dalam kitab al-Jam li Ahkim al-Jur’ain, karya Imam al-Qurthubi (w. 671H/1273M), pelopor tafsir hukum terhadap al-Qur’an. Juga tidak kita temukan satu indikasipun yang mengisyaratkan pengutamaan bentuk perkawinan poligami. []