Mubadalah.id – Cyberfeminism merupakan gambaran konsep yang jelas terkait relasi yang terjadi antara teknologi dengan pemberdayaan perempuan. Konsep Cyberfeminism ini cukup relevan kita gunakan pada setiap proses kegiatan organisasi perempuan untuk menunjang pemberdayaan perempuan yang responsif 5.0. Responsif 5.0 dalam hal ini mengikuti perubahan zaman yang saat ini sampai pada era Society 5.0.
Cyberfeminism merupakan salahsatu upaya memberontak pada budaya patriarki yang selama ini masih langgeng di dunia, khususnya pada masyarakat Indonesia. Serta menuntut adanya perubahan relasi antara perempuan dengan sesamanya juga perempuan dengan komputer.
Perempuan bisa mendapatkan kuasa dan keuntungan finansial dari teknologi maka perempuan perlu mengejar ketertinggalan dengan laki-laki. (Slide Plant)
Begitu pentingnya mengimplementasikan konsep Cyberfeminism. Dalam hal ini sebagai perempuan untuk bisa responsif dalam memainkan perannya di era Society 5.0.
Indonesia merupakan negara yang memiliki ketimpangan gender cukup tinggi daripada negara lain di dunia.
Ketimpangan gender di Indonesia berdasarkan empat bidang, yakni ekonomi, pendidikan, politik dan kesehatan. (World Economic Forum (WEF) dalam Global Gender Gep Report, Rabu 13 Juli 2022.)
Secara umum Indonesia mendapat skor indeks ketimpangan gender 0,697 yang berada dalam peringkat ke-92 dari 146 negara. Hal ini, tentu saja menjadi kabar cukup tidak baik atas keadaan Sumber Daya Manusia (SDM) di Indonesia. Tahun 2045 menjadi tahun emas dalam pemberdayaan Sumber Daya Manusia (SDM) khususnya pemberdayaan perempuan di Indonesia.
Budaya Patriarki
Budaya masyarakat patriarki di sekitar kita masih cukup langgeng. Patriarki membangun perspektif bahwa, tubuh perempuan merupakan ornamen indah yang bisa digunakan sebagai objektifitas digital untuk meraup keuntungan finansial. Yang selanjutnya dalam hal ini memposisikan perempuan sebagai the others. Budaya tersebut berpegang teguh pada norma yang di dominasi oleh pemikiran laki-laki.
Kemajuan teknologi tentu saja tidak hanya membawa dampak positif terhadap perubahan kehidupan, praktik konsumtif yang mengeksploitasi secara terus menerus pada tubuh perempuan adalah dampak negatif yang masyarakat dan bahkan kita sebagai perempuan tidak menyadarinya.
Artinya, budaya patriarki masih bergema di lingkungan kita. Sampai dengan saat ini perempuan belum bisa terlepas dari objektifitas secara global, baik dalam aspek teknologi maupun kehidupan sosial. Hal ini dapat di liihat dari berbagai media sosial maupun iklan yang menggaet konten kreator cantik.
Hubungan antara perempuan dan teknologi tidak mudah divalidasi. Hal ini karena pandangan tradisional atau konstruksi masyarakat yang menganggap bahwa kemajuan teknologi merupakan hasil dari pemikiran yang di dominasi laki-laki. Dengan menggunakan alat cukup berat dan rumit yang di percayai hanya bisa di lakukan oleh laki-laki.
Sebagaimana dikatakan Sarah Gamble dalam kebanyakan kasus, penggambaran teknologi menghasilkan stereotip yang menganggap bahwa perempuan itu bodoh dan tidak layak dalam bidang teknologi.
Era Transformasi digital menjadi dunia baru, dan membawa banyak perubahan pada kehidupan manusia. Sayangnya, keberadaan internet yang merupakan turunan dari transformasi digital ini masih sering disebut ranah laki-laki karena berhubungan dengan teknis. Sehingga perempuan di nilai kurang berdaya.
Saat ini kehidupan kita masih langgeng karena mayoritas laki-laki khususnya yang berpektif patriarki. Maka perlu adanya gebrakan dari perempuan agar tidak terus menerus berada pada posisi kedua. Pada faktanya perempuan banyak yang tidak sadar bahwa ia telah terjebak dalam konstruksi masyarakat tentang perempuan itu sendiri.
Konsep Cyberfeminism terbentuk dari adanya transformasi digital yang mengenalkan dengan sederhana aktivitas yang di lakukan oleh perempuan, dalam hal ini adalah perempuan di dunia maya. Dengan begitu, kita harus bisa menggunakan teknologi internet dengan bebas, tanpa adanya pembatasan antara laki-laki dan perempuan dengan tetap cermat dan hati-hati. []