Mubadalah.id – Maraknya kasus bullying di sekolah ikut mewarnai pemberitaan di sosial media. Miris sekali, sebagai lembaga pendidikan yang memiliki otoritas dalam pendidikan karakter, justru menjadi sarang perilaku bullying. Sebenarnya apa yang salah dari lembaga pendidikan kita?
Apa itu bullying?
Sebelum terlalu jauh, apa arti bullying? Bullying bisa berarti perundungan. Mengutip dari KBBI, perundungan adalah proses, cara, dan perbuatan merundung. Sedangkan merundung artinya mengganggu, mengusik terus-menerus, dan menyusahkan. Urutan selanjutnya menjelaskan bahwa merundung adalah menyakiti orang lain, baik secara fisik maupun psikis, dalam bentuk kekerasan verbal, sosial, atau fisik berulang kali dan dari waktu ke waktu.
Misalnya dengan memanggil nama seseorang dengan julukan yang tidak disukai, memukul, mendorong, menyebarkan rumor, mengancam, atau merongrong.
Darurat bullying di sekolah!
Melansir dari info grafis KPAI, mencatat ada 2.355 bentuk pelanggaran terhadap perlindungan anak yang masuk ke KPAI per-Agustus 2023.
Rinciannya, korban bullying sebanyak 87 kasus, korban pemenuhan fasilitas pendidikan 27 kasus, korban kebijakan pendidikan 24 kasus, korban kekerasan fisik atau psikis 236 kasus, dan korban kekerasan seksual 487 kasus. Masih banyak lagi kasus lainnya yang belum sempat teradukan ke KPAI.
Belum lama ini, media sosial kita digegerkan dengan video perilaku bullying oleh siswa. Salah satunya di Cilacap oleh siswa SMP. Menurut penuturan Polres setempat, motif pelaku adalah merasa tidak terima jika korban mengaku tergabung dalam kelompok mereka.
Kondisi tersebut berlanjut hingga pada perilaku kekerasan terhadap korban. Media detik.com menyebutkan kondisi korban mengalami patah tulang rusuk dan membutuhkan perawatan yang intensif.
Bahkan masih banyak kasus bullying lainnya mulai dari level ringan hingga berat yang terjadi di lingkungan sekolah. Awalnya saling mengejek, kemudian berlanjut saling menyakiti fisik satu sama lain.
Apa yang salah dari pendidikan kita?
Mengutip pernyataan Ibu Puan Maharani selaku Ketua DPR RI, yang mengatakan bahwa pemerintah harus memetakan faktor penyebab bullying anak. Karena praktik bullying penyebabnya sangat kompleks. Maka penanganannya pun melibatkan berbagai irisan masyarakat. Mulai dari keluarga, sekolah, lingkungan, dan pemerintah. Tidak bisa jika kasus bullying hanya menyalahkan satu pihak semata, misalnya sekolah.
Anak di sekolah hanya berkisar 5 sampai 9 jam. Selebihnya, anak menghabiskan waktu di keluarga dan masyarakat. Artinya, harus ada sinergitas antara sekolah, keluarga, dan masyarakat dalam mencegah perilaku bullying.
Saya jadi teringat tulisan seorang Rektor di salah satu perguruan tinggi negeri. Menurutnya lingkungan masyarakat adalah laboratorium bagi setiap individu, khususnya anak. Sedihnya, lingkungan masyarakat kita justru menjadi laboratorium yang tidak sehat bagi keberlanjutan pendidikan anak yang sudah dibentuk dalam keluarga maupun sekolah.
Namun seringkali, orang tua masih menganggap bahwa pendidikan karakter adalah tanggung jawab penuh sekolah. Kalau dalam istilah jawanya adalah pasrah bongkok yaitu menyerahkan suatu pekerjaan secara total kepada pihak lain. Padahal, karakter anak adalah tanggung jawab bersama, khususnya orang tua.
Pada dasarnya, pendidikan bukan hanya tugas sekolah. Melainkan tugas semua lapisan masyarakat. Di mana lingkungan harus kita desain sedemikian rupa untuk mendukung proses pendidikan bagi setiap anak.
Bagaimana cara meminimalisir praktik bullying?
Tanpa kita sadari, perilaku bullying sering kita jumpai di mana saja. Bisa di sekolah, masyarakat, bahkan keluarga sekalipun. Setiap orang tua harus membekali anaknya dengan nilai-nilai karakter yang berbasis pada kemanusiaan. Yaitu rasa saling menghargai satu sama lain, saling menyayangi sesama, dan mengarahkan anak untuk menyadari bentuk, jenis, dan bahaya bullying bagi diri sendiri maupun orang lain.
Selain itu, penting sekali bagi orang tua untuk memberikan atau menciptakan lingkungan yang sehat dan jauh dari praktik kekerasan atau bullying. Memang tidak mudah, tapi paling tidak jadilah pionir dalam penciptaan kondisi lingkungan yang ramah bagi anak.
Perlu adanya kerja sama antara keluarga dengan sekolah. Sebagai orang tua di sekolah, guru juga harus memerhatikan pendidikan karakter setiap siswa. Ketika terjadi penyelewengan, guru berhak menegur siswa dengan cara yang baik.
Bahkan boleh memberi hukuman, namun alangkah bijaknya jika hukuman tersebut mengarah kepada pembenahan karakter. Bukan malah memberikan hukuman fisik agar jera. Karena secara tidak langsung justru mengajari anak untuk menyelesaikan sesuatu dengan perlakuan fisik yang berujung pada kekerasan. []