Mubadalah.id – Asma al-Murabit menjadi salah satu perempuan ulama yang menuntut pembebasan kaum perempuan dari belenggu tafsir para ahli fiqh yang merendahkan kaum perempuan, untuk kembali kepada al-Qur’an dan visi Islam.
Sebab, menurutnya, kitab suci al-Qur’an tidaklah pernah mensubordinasi manusia atas dasar jenis kelamin, dan atas dasar identitas primordial apa pun.
Bahkan, Asma al-Murabit mendiskusikan cukup panjang lebar dua terma krusial sekaligus kata kunci yang menjadi pangkal dari problem ketimpangan relasi laki-laki dan perempuan tersebut, yaitu “qiwamah” dan “wilayah”.
Ia mengkritisi secara tajam pandangan-pandangan para penafsir klasik dan modern atas dua terma tersebut.
Menurut Asma al-Murabit, para penafsir tersebut masih terus mempertahankan pendapat mereka bahwa laki-laki harus menjadi kepala keluarga. Sebagaimana secara eksplisit disebutkan al-Qur’an, surah an-Nisaa’: 34.
Baginya, pandangan semacam ini justru bertentangan dengan teks-teks al-Qur’an yang lain tentang kesetaraan laki-laki dan perempuan. Hal ini sebagaimana dalam surah al-Hujuraat: 13, an-Nisaa: 1, al-A’raaf: 189, dan masih banyak lagi.
Di samping itu, menurutnya, hal tersebut amatlah bertentangan dengan prinsip tauhid dan keadilan.
Pandangan-pandangan Asma al-Murabit yang kritis, progresif, dan transformatif sebagaimana diungkap dalam buku-bukunya tentu telah memunculkan kontroversi di kalangan sejumlah ahli agama di negaranya.
Banyak pihak yang menentang pendapat-pendapatnya yang orang-orang beri stigma “liberal”. Ia banyak mendapat stigma peyoratif dan tekanan-tekanan psikologis.
Namun, dalam waktu yang sama, ia juga mendapatkan pujian dari sebagian orang. Bahkan, ia telah memperoleh penghargaan sebagai perempuan aktivis sosial Arab pada 2013. []