Mubadalah.id – Cinta merupakan suatu hal yang identik dengan perasaan, kasih sayang, dan juga timbul rasa suka. Kata cinta pun juga sudah tidak asing lagi, semua orang juga pasti pernah merasakan cinta. Begitu pula dengan Sayyidina Ali dan Siti Fatimah, kisah cinta yang sudah terpendam sejak lama, kisah cinta yang sangat terjaga kerahasiaannya dalam kata.
Bahkan sampai setan pun tidak dapat mengendus atau mengetahuinya. Mereka begitu rapi menjaga izzahnya hingga Allah telah menghalalkannya. Dari kisah inilah kita bisa meneladani sifat Sayyidina Ali dan Siti Fatimah sang putri Rasulullah.
Ali Bin Abi Thalib merupakan sepupu dan salah satu sahabat yang begitu istimewa di mata Rasulullah SAW. Sayyidina Ali tinggal langsung bersama Rasulullah, ia juga merupakan anak kecil pertama yang masuk Islam pada masa itu. Selain itu beliau juga seorang yang pemberani yang pernah menggantikan posisi tidur Rasulullah di saat hijrah. Bukan hanya itu saja Sayyidina Ali juga merupakan Mujahid perang yang gagah.
Sedangkan Fatimah merupakan putri Rasulullah yang begitu taat penyayang dan sangat peduli dengan Rasulullah. Fatimah juga merupakan seorang saksi dalam setiap kisah perjuangan sang ayah membumikan nilai-nilai Islam di tengah kafir Quraisy.
Sayyidina Ali sudah menyukai Fatimah sejak lama, kecantikan putri Rasulullah ini tak hanya jasmaninya saja. Bahkan kecantikan rohaninya juga melampaui batas. Namun yang menjadi penghalangnya di sini adalah perasaan rendah diri seorang Sayyidina Ali. Apakah kelak ia mampu untuk membahagiakan Putri kesayangan Rasulullah. Demikian perasaan yang berkecamuk pada Ali pada saat itu.
Lamaran untuk Fatimah
Pada suatu ketika ada sebuah kabar beredar bahwasanya Fatimah dilamar oleh laki-laki yang selalu dekat dengan Nabi. Bahkan kabarnya sudah mempertaruhkan kehidupannya, harta dan jiwanya untuk Islam. Dan beliau pun juga menemani perjuangan Rasulullah dari awal risalah ini. Dia adalah Abu Bakar As Siddiq.
Mendengar berita tersebut Ali terkejut dan tersentak jiwanya. Ia merasa menerima ujian, karena apalah diri dia jika dibanding dengan Abu Bakar As Siddiq yang kedudukannya lebih tinggi di sisi Nabi. Ali juga merasa belum ada apa-apanya bila dibandingkan dengan Abu Bakar dalam menyebarkan ajaran Islam.
Bukan hanya itu saja dari segi finansialnya pun Ali merasa minder terhadap Abu Bakar seorang saudagar yang kaya raya. Ali merasa bahwa Abu Bakar pasti mampu untuk membahagiakan Fatimah.
Setelah melihat dan memperhitungkan hal tersebut, Ali Mencoba untuk ikhlas dan bahagia jika Fatimah bersama dengan Abu Bakar. Meskipun ia tidak bisa membohongi rasa yang bergejolak di dalam hatinya. Namun ternyata lamaran Abu Bakar Fatimah tolak. Sehingga Ali menumbuhkan kembali harapannya mulai saat itu Ali mempersiapkan diri dan berharap masih memiliki kesempatan itu.
Tidak hanya sampai di sini saja ketulusan seorang Ali teruji setelah kemunduran Abu Bakar, datanglah seorang sahabat terbaik kedua Rasulullah, yang menerima gelar Al Faruq. Yaitu seorang laki-laki yang membuat setan berlari takut dan musuh Allah bertekuk lutut Ia adalah Umar Bin Khattab.
Namun kemudian Ali mendengar bahwasanya lamaran Umar pun Rasulullah tolak. Ali pun mulai merasa resah akan perasaannya sendiri.
Ketika Semua Lamaran Ditolak
Dan tak lama dari itu datanglah Abdurrahman bin Auf dengan begitu berani mendatangi Rasulullah untuk melamar putrinya dengan membawa 100 unta bermata biru dari Mesir, dan 10.000 Dinar. Tetapi akhirnya mengalami nasib serupa. Rasul menolak lamaran itu.
Tak hanya berhenti begitu saja sahabat nabi yang satu ini juga ikut andil dalam memperoleh hati Sang Az-zahra. Beliau adalah Utsman bin Affan beliau memberanikan diri melamar putri Rasulullah dengan mahar yang sama dengan Abdurrahman bin Auf. Namun beliau lebih menegaskan bahwasanya kedudukan beliau lebih mulia daripada Abdurrahman bin Auf karena ia lebih dahulu masuk agama Islam.
Tidak ia sangka tidak terduga lamaran Utsman bin Affan pun juga ditolak oleh Rasulullah. 4 sahabat sudah memberanikan diri dan Rasulullah menolak mereka semua. Hal itu juga memicu tingkat keminderan seorang Sayyidina Ali.
Pada suatu ketika Sayyidina Ali bertemu dengan sahabatnya. Dan saat itu juga sahabatnya menyarankan Sayyidina Ali untuk mencoba melamar putri Rasulullah. Awalnya Ali tidak yakin atas saran dari para sahabatnya, namun dengan berbagai bujuk dan rayuan, Ali pun membulatkan tekad untuk memberanikan diri untuk melamar putri Rasulullah tersebut.
Sayyidina Ali Melamar Fatimah
Akhirnya Ali Bin Abi Thalib pun memberanikan diri menjumpai Rasulullah untuk menyampaikan maksud hatinya meminang Putri nabi untuk jadi istrinya. Ketika sudah menjumpai Rasulullah dan menyampaikan maksud hatinya, tidak Ali sangka akan mendapat respon baik dari Rasulullah.
Kemudian Rasulullah meninggalkan Ali dan bertanya kepada putrinya itu. Ketika menerima pertanyaan Fatimah hanya terdiam dan Rasulullah menyimpulkan bahwa diamnya Fatimah sebagai tanda persetujuan. Lalu Rasulullah menemui Ali dan Bertanya kepadanya,
“Apakah engkau memiliki sesuatu yang hendak engkau jadikan mahar wahai Ali?”
Ali pun menjawab,
“Orang tuaku yang menjadi penebusnya untukmu Ya Rasulullah, Tak ada yang aku sembunyikan darimu aku hanya memiliki seekor unta untuk membantuku menyiram tanaman, sebuah pedang dan sebuah baju zirah dari besi.”
Rasulullah yang mendengar jawaban itu pun tersenyum puas atas kejujuran Ali Kemudian beliau menyarankan untuk menjual baju zirah dari besi tersebut untuk ia jadikan mahar menikahi Fatimah putri Rasulullah. Ali pun menjual baju besi tersebut dengan harga 400 dirham dan menyerahkan uang tersebut kepada Rasulullah.
Setelah itu Rasul pun membagi uang ke dalam 3 bagian. Satu bagian untuk kebutuhan rumah tangga, satu bagian untuk wewangian dan satu bagian untuk biaya jamuan makan untuk para tamu yang menghadiri pesta.
Setelah mempersiapkan segala kebutuhannya dengan perasaan puas dan hati gembira dan disaksikan oleh para sahabat, Rasulullah mengucapkan kata ijab qabul atas pernikahan putrinya. Maka menikahlah Ali dengan Fatimah pernikahan yang penuh hikmah walau di tengah keterbatasan.
Saling Mencintai dalam Diam
Malam harinya setelah Allah SWT halalkan hubungan mereka, terjadilah dialog yang sangat menggetarkan. Dalam suatu riwayat dikisahkan bahwa suatu hari setelah keduanya menikah, Fatimah berkata kepada Ali.
“Maafkan aku, karena sebelum menikah denganmu, aku pernah satu kali merasakan jatuh cinta kepada seorang pemuda dan aku ingin menikah dengannya.”
Ali pun bertanya mengapa ia tak mau menikah dengannya, dan apakah Fatimah menyesal menikah dengannya.
Sambil tersenyum Fatimah menjawab,
“Pemuda itu adalah dirimu.”
Subhanallah, itu adalah pujian terbaik dari seorang istri yang bisa membahagiakan hati suaminya.
Ali dan Fatimah saling mencintai karena Allah mereka mencintai dalam diam, menjaga cintanya dan Allah satukan dalam ikatan suci pernikahan. Semoga kita dapat meneladani sifat Sayyina Ali dan Siti Fatimah ini, dalam relasi kita bersama pasangan atau keluarga tercinta. []