Mubadalah.id – Pada Oktober 1949, Rahmah el-Yunusiyah meninggalkan Kota Padang untuk memenuhi undangan Kongres Pendidikan II Indonesia di Yogyakarta.
Di kota yang sama, ia menghadiri Kongres Muslimin Indonesia yang diselenggarakan pada 20-25 Desember 1949.
Setelah Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia berdasarkan hasil Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Rahmah kembali ke Padangpanjang pada Januari 1950 untuk memimpin Diniyah Putri setelah tiga belas bulan ditinggalnya.
Kemudian, Rahmah el-Yunusiyah bergabung dengan Partai Islam Masyumi. Dalam pemilu 1955, ia terpilih sebagai anggota DPR mewakili Sumatera Tengah. Melalui DPR, ia membawa aspirasinya tentang pendidikan dan pelajaran Islam.
Penghargaan sebagai Syekhah
Pada 1955, Imam Besar Al-Azhar, Abdurrahman Taj, berkunjung ke Indonesia dan atas ajakan Muhammad Natsir, untuk melihat keberadaan Madrasah Putri.
Abdurrahman Taj mengungkapkan kekagumannya pada Madrasah Putri. Sementara, saat itu, Al-Azhar belum memiliki bagian khusus perempuan.
Dua tahun kemudian, tepatnya tanggal Juni 1957, Rahmah berangkat ke Timur Tengah. Usai menunaikan ibadah haji, ia mengunjungi Mesir guna memenuhi undangan Imam Besar Al-Azhar.
Kemudian, dalam satu sidang senat luar biasa, Rahmah el-Yunusiyah mendapat gelar kehormatan “syekhah” dari Universitas Al-Azhar. Hal ini menandai pertama kalinya Al-Azhar memberikan gelar kehormatan syekh kepada perempuan.
Hamka, salah seorang ulama Indonesia, mencatat bahwa Madrasah Putri yang Rahmah el-Yunusiah pimpin dapat memengaruhi pimpinan Al-Azhar untuk membuka Kulliyatul Lil Banat, bagian Universitas Al-Azhar yang khusus untuk putri pada 1962. []