• Login
  • Register
Jumat, 4 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Khazanah Hikmah

Allahu A’lam: Antara Kebenaran dan Kepastian dalam Salam

Kenyelenehan Asad bin Wad’ah segaris lurus dengan kisah kenyelenehan Gus Dur yang ceramah di gereja Indonesia

Moh Soleh Shofier Moh Soleh Shofier
19/02/2024
in Hikmah
0
Salam

Salam

856
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Semangat “tujuan agama adalah kebenaran (Tuhan) bukan kepastian (manusia)” terselip dalam ungkapan Allahu A’lam (Tuhan yang lebih Tahu). Sebagaimana Imam Nawawi tiap kali menutupi kajian fikih dalam kitab Minhajut Thalibin. Pun closing statment Ibnu Katsir ketika mengomentari sikap “nyeleneh” Asad bin Wada’ah yang uluk salam ke non muslim tiap kali jumpa.

Kenyelenehan Asad bin Wad’ah segaris lurus dengan kisah kenyelenehan Gus Dur yang ceramah dalam gereja di Indonesia. Di saat sebagian besar tokoh NU “menyesali” perbuatan Gus Dur, justru tanggapan mengejutkan datang dari KH. Ali Maksum Krapyak. Beliau dengan santai mengomentari, “Lha kalau dia tidak berceramah di gereja, lalu kapan umat Nasrani akan mendapatkan pesan-pesan Al-Qur’an?”

Sementara sayup-sayup Kiai kampung tetap mengomentari kisah Gus Dur masuk ke gereja yang ia yakini haram. Pada akhirnya, Kiai itu menutupi Allahu A’lam kepada kami santri-santrinya. Yang mencerminkan semangat tujuan agama adalah kebenaran (Tuhan) bukan kepastian (manusia).

Ragam Pandangan Terkait Ucapan Salam Untuk Non Muslim.

Demikian ilustrasi tanggapan terhadap Asad bin Wad’ah ketika mengucapkan salam ke non Muslim. Pandangan yang mainstrem di kitab-kitab fikih yang kita atau saya pelajari adalah keharaman mengucapkan salam pada non muslim.

Dalam Zadal Ma’ad dan Ikmalul Muallim dijelaskan bahwa mayoritas ulama salaf dan khalaf mengharamkan salam pada non muslim . Tidak tanggung-tanggung, Imam Daud al-Dzahiri mengamini gurunya, Abdullah, juga mengharamkan bertegur sapa biasa semisal apa kapar? Selamat pagi, sore, malam? (al-Mugni Ibnu Qadamah, 363/9).

Adapun kelompok kecil lainnya membolehkan sebagaimana tercatat dalam kitab fikih Syafi’iyah, antara lain pendapat Imam Al-Mawardi. Pelopor pendapat ini adalah Ibnu Abbas, Abu Umamah, dan Ibnu Muhayriz.

Baca Juga:

Bisnis Mentoring Poligami: Menjual Narasi Patriarkis atas Nama Agama

Tafsir Sakinah

Islam Menolak Kekerasan, Mengajarkan Kasih Sayang

Menakar Ekoteologi Kemenag Sebagai Kritik Antroposentrisme

Sementara Ibrahim Al-Nakha’i dan Alaqamah, sebagai golongan ketiga, mengusulkan bahwa kebolehannya itu kalau sekiranya membawa kemaslahatan. Misalkan untuk menjaga relasi kekerabatan, keakuran tetangga, dan lain semacamnya, (Zadal Ma’ad, 2/388 dan Ikmalul Muallim, 7/52).

Dalil yang Mengharamkan dan Yang Membolehkan Salam untuk Non Muslim

Salah satu landasan yang melegitimasi kelompok yang mengharamkan yaitu hadis Nabi dari Abu Hurairah yang tampak meyakinkan. Imam Muslim mencatat,“ Janganlah memulai salam lebih dulu kepada non-muslim (Yahudi-Nasrani). Bila kau berjumpa mereka di jalan, pepet saja ke pinggir jalan” (Sahih Muslim).

Sementara kelompok yang membolehkan juga tak mau kalah. Mereka juga menyampaikan hadis Nabi sebagai pijakan sikapnya;

لَا تَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ حَتَّى تُؤْمِنُوا، وَلَا تُؤْمِنُوا حَتَّى تَحَابُّوا، أَوَلَا أَدُلُّكُمْ عَلَى شَيْءٍ إِذَا فَعَلْتُمُوهُ تَحَابَبْتُمْ؟ ‌أَفْشُوا ‌السَّلَامَ بَيْنَكُمْ

“Tidak akan masuk surga sampai beriman! Dan tidak beriman sampai saling mencintai! Maukah kalian aku tunjukkan sesuatu yang membuat kalian saling kenal dan cinta? Tebarkan salam antara kalian”. (Sahih Muslim).

Dari hadis tersebut para sahabat, yang membolehkan, memahami bahwa hadis itu memerintahkan dan mendorong untuk senantiasa menguluk salam. Baik pada muslim maupun non-muslim, kenal atau tidak. (Al-Muhith al-Burhani, 5/321).

Alasan Mengapa ada Larangan Bertegur Sapa (Salam) pada Non Muslim

Selain mengajukan dalil, kelompok ini mengajukan koreksi pada kelompok pertama dengan menceritakan situasi yang melatarbelakangi hadis pertama, yang melarang mengucapkan salam, itu muncul yang tak sempat diceritakan Abu Hurairah sebagai rawi.

Menurutnya, hadis itu lantaran situasinya sedang berkecamuk dengan perang antara muslim Madinah dan musyrik Makkah. Ternyata ada konspirasi antara musyrik Makkah dengan kaum Yahudi Madinah tepatnya adalah Bani Quraidah.

Oleh sebab itu, ketika para pasukan menderapkan langkahnya menuju Bani Quraidah untuk memberikan sanksi, maka logis bila Nabi berpesan bahwa tak usah uluk salam kalau ketemu di jalan, (Zadal Ma’ad, 2/388 dan Ikmalul Muallim, 7/52).

Dengan demikian, larangan salam (sebagai tradisi menanyakan kabar/bertegur sapa di Arab) bukan lantaran ke-Yahudi-annya atau Ke-Nasrani-annya. Melainkan ada pengkhiatan sosial-politik.

Sekilas Kecondongan Sykeh Ali Jum’ah

Inilah yang oleh Syekh Ali Jum’ah yakini. Dalam sebuah kesempatan yang berhasil didokumentasikan, beliau mengatakan berikut.

«”أما السلام بين المرأة المسلمة وبين المسيحية فنقول: لا نرى بأسًا في السلام على الأديان المختلفة، آخذين هذا من معنى السلام، فالسلام هو أصل دين الإسلام، والسلام اسم من أسماء الله تعالى، والسلام نتقبله من الغير،

“Adapun uluk salam antara muslimah dan perempuan non muslim, pendapat kami, boleh salam antara agama-agama yang berbeda. Karena berpegangan dengan makna salam yang mana menjadi pokok ajaran Islam, dan salah satu Nama Allah. Dan kami menerima salam dari orang lain”. (Doktor Ali Jum’ah Ila Aina, 136).

Sedangkan mengomentari hadis yang oleh Abu Hurairah riwayatkan, beliau berkomentar;

هذا عندما يكون هناك نزاع ظاهر وفتنة عمياء صماء، تستوجب الضغوط والسيطرة عليها، أما في الحالة المعتادة فنشر المسلمون الإسلام من الأندلس إلى الهند بتعايشهم مع الآخرين” مع أن هذا الحديث الذي ادعى أنه لحالة الفتنة العمياء، رواه أبو داود في باب السلام على أهل الذمة»

“(Hadis) Ini terjadi ketika ada konflik dan pertikaian buta dan tuli yang membutuhkan tekanan dan kontrol, namun dalam kasus yang normal (damai), umat Islam menyebarkan Islam dari Andalusia ke India dengan hidup berdampingan dengan orang lain (non muslim).” Meskipun hadis ini, yang diklaimnya hanya untuk kasus perselisihan buta, Abu Dawud mencatat dalam bab “Salam sejahtera bagi Kaum Dhimmah”.

Penutup

Namun demikian, perwakilan kelompok pertama juga mengajukan gugat untuk mengukuhkan pendapatnya dengan berbagai argumentasi sebagaimana Muhammad Ibrahim bin Sarkandi menuliskan dalam kitabnya “Al-Ahkam al-Fiqhiyah al-Lati Qila Fiha binNashki wa Atsaru Fi Ikhtilafil Fukaha”. Bahkan mengklaim bahwa hadis yang menjadi dalil kebolehan ucap salam ke non muslim, dianulir (nasakh).

Dari keduanya itu, hemat saya, lagi-lagi kembali pada ajaran Allahu A’lam: “tujuan agama adalah kebenaran (Tuhan) bukan kepastian (manusia)”. Dan dalam konteks sekarang yang berusaha menjalani tatanan dunia baru; dari al-harbu (kentestasi-kompetisi) ke al-salam (kolaborasi-duniawi), maka pendapat yang membolehkan, bahkan anjuran, amat relevan. Terimakasih. []

Tags: agamaislammanusianon muslimSalamTuhan
Moh Soleh Shofier

Moh Soleh Shofier

Dari Sampang Madura

Terkait Posts

Laki-laki dan Perempuan dalam fikih

Hak dan Kewajiban Laki-laki dan Perempuan dalam Fikih: Siapa yang Diuntungkan?

3 Juli 2025
Perceraian untuk

Mengapa Perceraian Begitu Mudah untuk Suami?

2 Juli 2025
Perceraian dalam

Perceraian dalam Fikih: Sah untuk Laki-Laki, Berat untuk Perempuan

1 Juli 2025
Fikih Perempuan

Fikih yang Kerap Merugikan Perempuan

1 Juli 2025
amar ma’ruf

Meninjau Ulang Amar Ma’ruf, Nahi Munkar: Agar Tidak Jadi Alat Kekerasan

1 Juli 2025
Fikih

Mewujudkan Fikih yang Memanusiakan

1 Juli 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Konten Kesedihan

    Fokus Potensi, Difabel Bukan Objek Konten Kesedihan!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ketika Istilah Marital Rape Masih Dianggap Tabu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengapa Perceraian Begitu Mudah untuk Suami?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Meninjau Ulang Cara Pandang terhadap Orang yang Berbeda Keyakinan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Bisnis Mentoring Poligami: Menjual Narasi Patriarkis atas Nama Agama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Komitmen Disabilitas untuk Isu Iklim
  • Merencanakan Anak, Merawat Kemanusiaan: KB sebagai Tanggung Jawab Bersama
  • Kisah Jun-hee dalam Serial Squid Game dan Realitas Perempuan dalam Relasi yang Tidak Setara
  • Bisnis Mentoring Poligami: Menjual Narasi Patriarkis atas Nama Agama
  • Laki-laki Juga Bisa Jadi Penjaga Ruang Aman di Dunia Digital

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID