Mubadalah.id – Ketika menjadi seorang ibu, perempuan mengalami serangkaian tekanan yang untuk berhasil di setiap tahapan prosesnya. Mulai dari hamil, melahirkan, hingga pengalaman menyusui yang tentu tidak sesederhana bayangan kita.
Menyusui bisa kita pahami sebagai tahapan pertama dalam proses membesarkan anak. Maka, bagiku proses ini mungkin tidak sesederhana itu jika aku bandingkan dengan hamil dan melahirkan.
Dahulu aku pikir menyusui adalah peristiwa biologis yang alamiah, Ibu yang melahirkan otomatis memproduksi Air Susu Ibu (ASI), sehingga bayi bisa makan dan dapat nutrisi.
Namun ternyata, menyusui tak semudah itu, tidak sesederhana ASI akan keluar dan ibu, lantas bisa langsung menyodorkan payudaranya ke mulut bayi.
Teman-temanku yang telah melewati proses pemberian ASI eksklusif mengaku bahwa proses ini adalah proses yang kompleks juga penuh tantangan.
Selain itu, mereka juga mengalami beberapa emosi yang membentuk pengalaman menyusui mereka. Begitu juga dengan yang aku alami saat ini.
Banyak Rintangan Terjadi Bahkan Sebelum ASI Masuk ke Perut Bayi
WHO menganjurkan pemberian ASI eksklusif selama enam bulan pertama, dan pemberian ASI tetap dilanjutkan hingga minimal anak berusia 2 tahun. Oleh karenanya aku selalu berharap kepada yang Maha Kuasa untuk bisa ikhtiar jadi ibu ASI eksklusif hingga minimal 2 tahun.
Nyatanya Allah memang baik, Ia menjawab doaku. Pada akhir trimester 3 menjelang persalinan, setetes demi tetes kolostrum keluar dari payudaraku.
Di balik munculnya tanda jadi Ibu ASI eksklusif, tantangan baru mulai bermunculan. Setelah melahirkan, aku terpisah dengan anakku karena ia harus menerima perawatan intensif di NICU, hal ini cukup menimbulkan banyak masalah pada payudara.
Payudara mulai bengkak karena kepenuhan ASI, sehingga mau bergerak saja rasanya sakit luar biasa. Dengan ketidaktahuan ku dalam pemberian ASI pertama, aku berusaha mengeluarkan ASI dan mengejar stok ASI untuk kuantar ke NICU agar bayiku bisa makan. Dan terjadilah, aku terkena milk blister (puting melepuh).
Keadaan puting yang masih lecet lalu terkena hisapan bayi rasanya luar biasa. Meskipun sakit, tapi tidak sebanding dengan betapa harunya aku mampu jadi ibu yang sedang menyusui anaknya sendiri.
Menyusui memang tidak sesederhana itu. Banyak rasa sakit yang bisa aku lewati dengan air mata, mulai dari luka jahitan yang belum kering, berpisah dengan anak, puting yang lecet, dan payudara yang membengkak.
Sampai saat ini pun, aku masih terus dihantui rasa khawatir dengan proses menyusui yang memang tidak sederhana. Misalnya sebagai ibu pekerja yang bayinya harus dbf juga pakai dot, pasti khawatir anak akan bingung puting, khawatir ASI tidak lancar jika terlambat pumping, khawatir ada sumbatan pada payudara, sedang dbf pun khawatir pelekatan tidak pas sehingga bayiku jadi kembung.
Jadi untuk calon ibu dan ayah, pastikan kalian tidak hanya sibuk dengan persiapan lahiran ya. Sering-seringlah mencari sebanyak-banyaknya informasi tentang laktasi. Karena ingin jadi ibu ASI eksklusif memang tidak sesederhana itu.
Suami adalah Kunci Keberhasilan Menyusui
Menyusui bukan hanya tentang kandungan nutrisi ASI dan dampaknya bagi kesehatan bayi, namun juga penuh dengan aspek sosial dan emosional dari Ibu. Maka sebagai pasangan mubadalah, kita wajib menempatkan proses menyusui sebagai bentuk kerja sosial yang bisa kita negosiasikan.
Suami memang tidak punya kelenjar air susu, tapi produksi ASI sangat bergantung terhadap peran suami, bahkan sebelum si kecil lahir. Suami harus selalu memberi support dan sugesti positif bahwa kelak istrinya akan jadi ibu yang pandai mengASIhi. Karena tubuh ibu jauh lebih penting bagi anak daripada segalanya.
Sebagai ibu, kita juga wajib belajar soal pelekatan agar hormon prolaktin (hormon yang pemicunya dari hisapan mulut bayi) bekerja dengan baik. Namun satu hormon yang tak kalah penting adalah hormon oksitosin atau hormon cinta, suami harus bisa memanfaatkan hormon ini agar produksi ASI bisa keluar dengan lancar.
Hormon oksitosin sangat erat kaitannya dengan suasana hati ibu, suami bertanggung jawab atas kebahagiaan, kenyamanan, dan ketenangan hati ibu, jadi pastikan ibu harus selalu bahagia ya pak!
Banyak cara bisa dilakukan, misalnya dengan memuji istri, menemani istri begadang untuk menyusui di malam hari, memberikan makanan kesukaan istri, support istri melakukan hobinya, dan yang tidak boleh terlewati adalah pijat oksitosin.
Pak suami ingat ya menyusui itu tidak mudah pasti membutuhkan banyak waktu dan energi. Bahkan 24 jam saja rasanya tidak cukup bagi seorang ibu untuk mengurus semua pekerjaan sembari menyusui. Sebagai ibu, kita harus siaga dua jam sekali untuk memberikan ASI, tidur bagi ibu pun rasanya mustahil untuk nyenyak. Maka, seharusnya pekerjaan rumah jadi tanggung jawab suami.
Suami harus paham bahwa menyusui dapat meningkatkan gejala depresi, kecemasan, dan kesedihan selama periode pasca persalinan. Konflik pasutri pun tidak bisa kita hindari.
Di sini kesabaran, keikhlasan, dan ikhtiar untuk pertama kali belajar membesarkan anak akan sangat diuji. Jadi pastikan untuk saling membantu ya, jangan sampai suami atau istri mengalami masalah mental pasca persalinan yang serius
Harus sama-sama kita garis bawahi bahwa masalah mental yang terjadi pasca persalinan bisa mengganggu keberhasilan menyusui yang optimal.
Dukungan Emosional untuk Ibu yang Baru Menyusui
Seorang perempuan yang baru menjadi ibu pasti mengalami Interaksi kompleks antara menyusui yang tidak sederhana dan transisi menjadi ibu. Ia akan merasa terbatas dalam melakukan aktivitas seperti biasanya karena harus mendampingi bayi secara fisik.
Emosi-emosi negatif ini bisa memberikan dampak pada ketidakpastian kecukupan ASI. Maka penting kita harus berempati pada pengalaman ibu yang baru belajar menyusui dengan memberikan dukungan emosional.
Karena keberhasilan menyusui tidak hanya berpatok pada pengetahuan ibu akan keterampilan menyusui dan manfaat kesehatannya, tetapi juga pada aspek psikologis, budaya, dan emosional.
Untuk mengatasi dampak emosi negatif ini, sebagai pasangan yang akan menjadi orang tua baru, tidak ada salahnya untuk mencari ketersediaan layanan konseling untuk ibu yang baru pertama kali menyusui. Hal ini mungkin saja bisa meminimalisir terjadinya depresi pasca persalinan yang biasanya terjadi pada banyak ibu.
Untuk Ibu Baru
Untuk ibu baru, meski nyeri dan lelah, selalu ingat bahwa menyusui langsung adalah pengalaman unik dan menakjubkan. Saat menyusui lihatlah manusia kecil ini, reflesikan bahwa ternyata kita mampu memberikan kehidupan sekaligus menjalin ikatan batin dengannya.
Untuk ibu baru, kita mungkin akan berada pada pilihan yang sulit, memilih antara menjadi ibu pekerja atau ibu rumah tangga. Antara materi dan waktu keduanya sama-sama berharga, kita sama-sama terdorong untuk menafkahi anak kita dengan cara yang paling dibutuhkan oleh anak.
Untuk ibu baru, mungkin saja kita akan kehilangan jati diri kita dan hal ini menyakitkan bukan? Rasanya rindu sekali dengan diri kita yang dulu. Yang bisa dengan bebas memutuskan pilihan apapun untuk hidup kita.
Tapi, ini bukan perkara “bisakah kita kembali menjadi diri kita yang dulu.” Semuanya sudah berubah, setidaknya saat ini kita dapat kesempatan untuk terlahir kembali menjadi seorang ibu. []